Suara Muhammadiyah, 12 February, 2009, 3:06 am
Pradana Boy ZTF
Dosen FAI UMM, Aktivis PDPM Kota Malang dan
alumnus Australian National University, Canberra, Australia
–
SAYA mengikuti dengan seksama diskusi artikel yang sangat menarik antara Ahmad Norma Permata dan Ahmad Najib Burhani di majalah ini tentang Muhammadiyah dalam kaitannya dengan civil society. Kedua intelektual muda Muhammadiyah itu memiliki pandangan yang kurang lebih sama menyangkut beberapa persoalan. Namun demikian, nuansa pemikiran keduanya tidak bisa disembunyikan. Norma, misalnya, memaknai ketakterlibatan Muhammadiyah dalam berbagai aktivitas politik adalah salah satu prasyarat mutlak yang harus dipenuhi agar Muhammadiyah benar-benar menjadi pilar civil Islam.
Sementara, Najib menilai Muhammadiyah harus melakukan reposisi berkaitan dengan perubahan yang belakangan ini terjadi menyangkut perebutan wilayah antara negara dan agama. Sehingga tidak seperti Norma yang mengajukan absennya Muhammadiyah dari dunia politik sebagai prasyarat bagi Muhammadiyah untuk bisa menjadi pilar civil Islam; Najib melihat Muhammadiyah tidak harus secara sempurna menarik diri dari peran kepolitikan untuk bisa memainkan peran yang lebih luas.
Kedua penulis ini memang mendasarkan pikirannya pada argumentasi, baik teoretis maupun praktis, yang sangat memadai dan masing-masing memberikan kontribusi penting bagi perkembangan wacana Muhammadiyah dan civil Islam. Maka tulisan ini tidak hendak memberikan kritik teoretis terhadap kedua tulisan tersebut. Sebaliknya, yang ingin dilakukan tulisan ini adalah memberikan pandangan lain atas persoalan yang tengah menjadi bahan diskusi ini; dengan harapan akan mampu memperkaya spektrum tentang Muhammadiyah dan civil society.
Sebagai sebuah istilah, civil society memang masih merupakan perdebatan. Setiap ilmuwan sosial cenderung memiliki pandangan yang berbeda tentang istilah ini. Namun demikian, terdapat kesepakatan umum tentang apa yang menjadi ciri-ciri dasar civil society. Craig Calhoun, misalnya, mendefinisikan civil society sebagai ruang sipil di mana orang bisa mengorganisasikan kehidupan sehari-hari mereka tanpa intervensi negara. Definisi seperti ini rupanya cukup mewakili sejumlah definisi lain civil society. Nakamura Mitsuo juga memiliki pandangan yang kurang lebih sama ketika dia menyatakan bahwa di luar ragam perbedaan teoretis dalam mendefinisikan civil society, ada dua aspek penting yang mencirikan civil society yang disepakati oleh para ilmuwan sosial, yaitu kehidupan berserikat yang sifatnya suka rela dan keadaban atau nilai-nilai keadaban dalam masyarakat.
Tak bisa dimungkiri, memang, bahwa teori civil society awalnya berkembang di Barat; dan karena itu menerapkan kerangka teoretis itu begitu saja dalam konteks masyarakat Islam menjadi tidak bijaksana. Kesalahan menerapkan satu ukuran teoretis pada kondisi-kondisi masyarakat yang berbeda inilah, antara lain, yang telah mengarahkan teoretisi Barat untuk melabel masyarakat Islam sebagai tidak sejalan dengan civil society. Ernest Gellner, misalnya, menilai dalam kerangka teoretis Barat tentang masyarakat, keberadaan civil society di kalangan masyarakat muslim adalah sesuatu yang sangat tidak mungkin. Pandangan negatif tentang ketidakmungkinan Islam bersanding dengan civil society ini dikritik oleh Masoud Kamali, bahwa para pemikir Barat ini gagal memahami dua dimensi Islam, yaitu Islam sebagai agama dan sekaligus sebagai teori politik dan sumber legitimasi kekuasaan. Kenyataan kedua ini merupakan fakta yang berlangsung sepanjang sejarah Islam. Menurut Kamali, peran menentukan agama dalam melegitimasi kekuasaan telah menjadikan kelompok ulama sangat berpengaruh dalam masyarakat. Secara historis, ulama memainkan peran yang sangat penting dalam banyak lembaga sosial, seperti pendidikan, perkawinan, penguburan, pengumpulan dan pembagian pajak, pendataan kekayaan, dan sebagainya. Maka, peran-peran yang dimainkan oleh para ulama inilah yang menjadikan status mereka dalam masyarakat semakin kuat.
Tetapi, Kamali juga menambahkan bahwa peran penting ulama itu bukanlah sebuah peran yang bebas dari ketergantungan kepada kelompok lain. Kelompok itu adalah apa yang ia sebut sebagai kelompok bazaris. Bazaris adalah kelompok-kelompok pedagang, penghasil barang dan jasa, atau pendek kata, para pelaku ekonomi dalam masyarakat. Dalam kaitannya dengan kehidupan bernegara, kelompok bazaris dan ulama ini ternyata membangun sebuah hubungan yang saling menguntungkan. Ketika kelompok bazaris memerlukan dukungan ulama dalam melangsungkan usaha-usaha ekonominya, pada saat yang sama, ulama juga memerlukan dukungan kaum bazaris dalam kerangka memertahankan aktivitas keagamaannya. Di sinilah lalu Kamali menyimpulkan bahwa, hubungan mutual antara ulama dan bazaris merupakan cikal bakal tradisional civil society dalam Islam.
Maka, menjadi relevan di sini untuk menghadirkan teori civil society Eisenstadt yang menggarisbawahi tiga prasyarat penting bagi pembentukan civil society; yaitu otonomi relatif suatu ruang masyarakat, otonomi akses yang relatif dari aktor-aktor masyarakat terhadap negara atau elit-elitnya, dan eksistensi ruang publik yang relatif independen. Jika kita percaya pada teori ini, maka Muhammadiyah sebenarnya lebih dari cukup untuk dianggap sebagai pilar civil Islam. Dalam banyak hal, Muhammadiyah memiliki ruang-ruang kemasyarakatan yang relatif otonom dan steril dari intervensi negara. Demikian pula akses otonom yang independen terhadap negara atau elit-elit negara merupakan sesuatu yang juga dilakukan dan dimiliki oleh Muhammadiyah. Tak hanya akses sebenarnya, bahkan dalam banyak hal Muhammadiyah juga mampu melakukan counter balance terhadap kebijakan negara.
Berkaitan dengan pendapat Najib tentang terjadinya perebutan ruang publik antara negara dan agama, saya melihat justru seharusnya Muhammadiyah tidak terlibat dalam arus itu. Din Syamsuddin, misalnya, pernah memberikan komentar tentang intervensi negara terhadap persoalan-persoalan keagamaan. Penentuan hari raya misalnya. Menurut Din, seharusnya pemerintah menyerahkan saja urusan penentuan awal puasa dan hari raya kepada ormas-ormas Islam. Keterlibatan negara dalam aktivitas-aktivitas serupa justru bisa menimbulkan persoalan di kalangan masyarakat; terlebih jika keputusan negara memihak salah satu ormas Islam yang merupakan pilar civil Islam ini, disengaja atau tidak.
Jika dikontekstualisasikan untuk kondisi Muhammadiyah, organisasi ini tidak hanya mampu menciptakan ruang publik yang relatif independen dari negara; tetapi bahkan Muhammadiyah juga melakukan peran-peran yang mungkin tidak dijamah oleh negara. Atau bidang-bidang yang telah digarap oleh negara, tetapi karena keterbatasan kapasitas sehingga tidak semua lapisan masyarakat terjamah oleh tangan negara. Apa yang dilakukan oleh Muhammadiyah selama ini adalah justru membantu negara melakukan peran-peran dan fungsinya dalam menciptakan kemakmuran bagi masyarakat. Karena itu, sebenarnya terasa sangat aneh, bagi saya, ketika Muhammadiyah harus bergantung terlalu kuat kepada negara. Dalam konteks pelayanan publik, misalnya, maka Muhammadiyah sebenarnya sudah menampakkan kemandirian itu. Hak rakyat adalah memeroleh pelayanan kesehatan, pendidikan dan pelayanan sosial. Tetapi, kita tidak bisa menutup mata bahwa kemampuan negara menyediakan layanan-layanan itu sangat terbatas. Maka partisipasi Muhammadiyah dalam penyediaan fasilitas pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial bagi masyarakat merupakan peran-peran keadaban yang dilakukan oleh Muhammadiyah di luar negara.
Terlebih jika dikaitkan dengan peran transformasi sosial yang dijalankan oleh Muhammadiyah, maka akan menjadi semakin nyata betapa Muhammadiyah adalah sebuah entitas sosial yang amat mandiri dan memandirikan. Almarhum Kuntowijoyo pernah memberikan kesaksian penting berkaitan dengan hal ini. Menurut Kunto, lahirnya kelas menengah baru dalam struktur sosial masyarakat Indonesia modern mustahil berjalan dengan mulus dan seperti yang kita lihat sekarang ini jika tidak ada pendidikan-pendidikan Muhammadiyah. Ini mengonfirmasi betapa bahwa Muhammadiyah adalah kekuatan sosial yang justru harus dipertimbangkan oleh negara.
Di majalah ini pula saya pernah menulis sebuah artikel berjudul Seandainya Muhammadiyah Adalah Sebuah Negara. Tentu saja saya tidak sedang melakukan provokasi agar Muhammadiyah berubah menjadi negara karena fungsi-fungsi yang dimainkan oleh Muhammadiyah adalah juga fungsi-fungsi kenegaraan. Tetapi tulisan itu hanya ingin menegaskan betapa peran civilitas yang selama ini dilakukan oleh Muhammadiyah adalah sebuah bentuk kemandirian luar biasa yang tumbuh dari masyarakat dan bukan dari negara. Sehingga Muhammadiyah punya alasan dan sumber daya yang lebih dari memadai untuk tidak bergantung kepada negara.
Tesis yang disampaikan oleh Masoud Kamali tentang posisi kaum bazaris bisa pula dikontekstualisasikan dalam kasus Muhammadiyah. Sejarah awal kelahiran Muhammadiyah menunjukkan bahwa, mayoritas aktivis Muhammadiyah adalah pedagang batik. Karena itu, banyak analisis yang membenarkan bahwa penopang awal gerakan Muhammadiyah adalah kelompok pedagang ini. Peran yang dimainkan oleh para pedagang batik ini adalah apa yang disebut oleh Kamali sebagai kelompok bazaris tersebut. Di sisi lain, sebagai ormas Islam, aktivitas keagamaan menjadi ciri mendasar gerakan Muhammadiyah, dan adalah wajar bahwa Muhammadiyah dipenuhi dengan tokoh keagamaan atau ulama. Di sinilah hubungan mutual antara kelompok bazaris dan ulama dalam Muhammadiyah berlangsung. Kamali meyakini bahwa perpaduan antara kedua lapisan dalam masyarakat inilah yang mampu menciptakan kemandirian masyarakat dari negara.
Hampir senada dengan hal ini, dalam sebuah diskusi kecil dengan seorang aktivis Muhammadiyah di Yogyakarta, terungkap sebuah gagasan yang cukup menarik. Aktivis tersebut menceritakan kepada saya tentang pemikirannya untuk mengadopsi mentalitas ekonomi Cina ke dalam Muhammadiyah. Apa yang ia maksudkan adalah ternyata bagi komunitas Tionghoa di Indonesia yang perlu dilakukan adalah memperkuat basis ekonomi kelompoknya. Penguatan basis ekonomi inilah yang sebenarnya menjadi kunci bagi keberlangsungan peran di masa-masa yang akan datang. Jika fondasi dan kemampuan ekonomi suatu kelompok masyarakat menguat, maka perubahan iklim politik dan penguasa pada tingkatan negara menjadi tidak perlu dipersoalkan. Ini berarti dua hal sekaligus. Di satu sisi, kemandirian akan menjadikan nilai tawar Muhammadiyah di hadapan negara menjadi semakin besar; dan pada saat yang bersamaan, upaya untuk menjaga jarak dengan negara menjadi semakin mudah dilakukan, di sisi yang lain.
Karena itu, yang perlu dikembangkan oleh Muhammadiyah dalam upayanya untuk mempertahankan diri sebagai pilar civil Islam adalah kemandirian dalam berbagai aspek kehidupan; dari kemandirian ekonomi, kemandirian sikap dan prinsip hingga kemandirian dalam melakukan peran-peran penyejahteraan masyarakat. Kemandirian inilah yang pada gilirannya akan mempermudah menjaga jarak dengan negara, menciptakan ruang masyarakat yang bebas dari intervensi negara; dan inilah sebenarnya inti dari civil society.l
No comments:
Post a Comment