Republika, Sabtu, 28 Februari 2004
Ahmad Fuad Fanani
Anggota Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), Koordinator Studi dan Riset al-Maun Foundation
Menjelang Pemilu 2004 yang tinggal dalam hitungan hari, gerakan politik yang digalang oleh tokoh-tokoh partai Islam berlangsung dengan semarak. Berbagai pertemuan politik dan informal mereka lakukan dengan berbagai agenda. Sedangkan agenda inti yang ingin mereka capai adalah bagaimana kekuatan Islam bersatu dan bisa memenangkan pertarungan politik, baik di tingkat legislatif maupun eksekutif. Hingga saat ini, memang belum ada satu kesepakatan formal yang berhasil dilakukan. Namun, umumnya mereka menuju kesepakatan untuk mendukung salah satu calon presiden yang dicalonkan oleh partai Islam. Tentu saja, hal itu menunggu hasil dari Pemilu legislatif pada 5 April nanti. Bila kita lihat secara formal, memang partai-partai yang resmi berasaskan Islam mengalami penurunan drastis dibanding Pemilu 1999 lalu. Sekarang tinggal 5 partai, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bintang Reformasi (PBR), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Nahdhatul Ummat Indonesia (PNUI), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sedangkan PAN dan PKB meski tidak berasaskan Islam, namun berbasis utama umat Islam, yaitu NU dan Muhammadiyah.
Selain melakukan gerakan koalisi politik Islam, para tokoh Islam sebagian juga ada yang menggalang kekuatan kultural untuk memperbaiki bangsa ini secara lebih fundamental. Hal itu tampak dari gerakan anti-korupsi yang akhir-akhir ini dilakukan oleh NU-Muhammadiyah bersama Yayasan Kemitraan. Hingga hari ini, gerakan anti-korupsi juga banyak menyokong aksi serupa semisal gerakan anti-politisi busuk maupun political tracking terhadap calon anggota legislatif. Berbagai forum seminar, diskusi, dan koalisi antaragama pun telah digelar untuk mengkampanyekan good governance bagi Indonesia masa depan. Tema-tema khutbah di berbagai penjuru masjid dan pelosok daerah pun, banyak yang mengangkat anti korupsi.
Namun, dua gerakan yang mestinya saling bersinergi itu, akhir-akhir tampak terjadi intervensi satu terhadap lainnya. Maksudnya, kedua ormas Islam yang awalnya banyak diharapkan orang untuk konsisten bergerak di jalur kultural untuk pencerdasan bangsa dan penciptaan pemerintahan yang bersih, akhirnya juga terseret pada politik praktis. Hal ini secara jelas terlihat pada Muhammadiyah yang membuat keputusan resmi mendukung pencalonan Amien Rais di satu sisi, dan NU yang getol mendukung PKB serta KH Hasyim Muzadi yang tampak bermain mata dengan Megawati (PDIP). Muhammadiyah tentu bisa saja membantah bahwa itu sekadar dukungan moral saja, NU dan pihak Hasyim pun bisa mengungkapkan hal yang serupa. Namun, meski kebenaran penafsiran hal ini tentu berdasarkan latar belakang dan kepentingan, secara formal tidak bisa dipungkiri bahwa sudah terjadi upaya penarikan kedua ormas tersebut ke kancah politik praktis.
Tujuan jangka pendek
Sebetulnya, upaya kedua ormas Islam dan parta-partai Islam untuk terjun ke dunia politik praktis adalah sah-sah saja dilakukan. Mungkin saja, tujuan mereka bukanlah untuk menjerumuskan umat dalam urusan politik harian yang sering hanya berujung pada kekuasaan, namun lebih pada usaha untuk memajukan dan mewujudkan aspirasi umat. Mereka mungkin tidak ingin melewatkan kesempatan yang terbuka di depan mata akan segala kemungkinan terjadi sirkulasi kekuasaan. Terlebih lagi, dalam pemilihan presiden secara langsung, potensi suara umat Islam akan sangat sia-sia bila diserahkan begitu saja kekuatan politik lain yang belum jelas komitmennya. Alasan lainnya, marjinalisasi Islam di era Orde Baru akibat depolitisasi yang dilakukan pemerintah, tidak ingin mereka rasakan kembali di masa kini dan mendatang. Seribu macam alasan tentu bisa diungkapkan, bila sudah ada kemauan dan keinginan untuk mencapai sesuatu.
Namun, saya kurang yakin bahwa aliansi dan pengerahan energi umat ke bidang politik itu dapat mencapai tujuan yang maksimal. Sebab, pada dasarnya politik hanya memikirkan masalah dan tujuan yang berjangka pendek. Selain itu, politik hanya akan memecah belah umat berdasarkan kepentingan dan ideologi yang mereka anut. Jadi, meminjam bahasa Buya Syafii Maarif -- politik hanya memecah belah dan menciptakan lawan, sedangkan dakwah berkeinginan merangkul dan memperbanyak kawan. Tentu hal itu itu tidak bisa dipungkiri begitu saja, sebab dengan berpolitik umat menjadi miopis, hanya mampu melihat realitas-realitas jangka pendek.
Orintentasi bahwa kekuasaan akan menghasilkan banyak perubahan dan menyelesaikan banyak hal, nyatanya hanya menjadi utopia yang sulit terbukti. Misalnya, kemesraan "kemenangan" politik santri pada tahun 1999, dengan Presiden Abdurrahman Wahid (NU), Ketua MPR Amien Rais (Muhammadiyah), dan Ketua DPR Akbar Tandjung (HMI), nyatanya hanya mampu bertahan beberapa bulan. Dan klimaksnya adalah penurunan Gus Dur pada Juli 2001. Akhirnya, keinginan semisal untuk menyatukan pesantren dengan sistem pendidikan nasional dan dapatnya para santri bersekolah umum hanya baik di permukaan. Permukaan "kemenangan" itu hanya menimbulkan ketergantungan umat pada negara, cita-cita para pemuda Islam jadi PNS, serta mengikisnya semangat wiraswasta pada umat (Muslim Tanpa Masjid, 2001).
Selain itu, bahwa kekuasaan tidak menjamin penyebaran agama dan terwujudnya aspirasi umat, menurut Kuntowijoyo terbukti dalam banyak kasus. Kekuasaan Islam di Spanyol yang berlangung tujuh abad (VII-XV) ternyata tidak ada bekasnya, jika tidak ada arsitektur, filsafat, iptek, dan kesustraan. Demikian pula kekuasaan Islam di India yang tujuh abad (XII-XIX), ternyata raja-raja Kesultanan Delhi tidak bisa mengislamkan orang-orang India. Malahan, di Indonesia pada masa lampau terbukti, bahwa para wali yang bukan raja-lah yang berhasil mengislamkan pedalaman Jawa. Hal itu sangat mungkin terjadi, karena tujuan politik adalah kekuasaan, jadi bukan mengagamakan manusia.
Semasa Masyumi masih jaya di zaman Orde Lama, terbukti juga bahwa penyatuan umat lewat jalur politik tidaklah berhasil. Malahan, yang terjadi adalah pergesekan perebutan jabatan Menteri Agama yang berlangsung sangat seru antara NU dan Muhammadiyah hingga sekarang. Pergesekan itu, akhirnya membuat NU mengubah ormasnya menjadi partai baru guna lebih memuluskan tujuan politiknya. Terjadinya penumpukan perhatian dan energi umat pada politik, pada dasarnya membuat "politisasi agama" dan "sakralisasi politik Islam". Akibatnya, orang yang tidak memilih partai Islam, dianggap bukan bagian dari umat Islam. Sebaliknya, orang yang masuk partai Islam, seakan dijamin ke-Islam-annya dan bisa merasa paling Islam dibanding lainnya. Maka, ide sekularisasi politik yang digulirkkan Cak Nur pada tahun 1970-an dengan slogan "Islam Yes, Partai Islam No?" dianggap sebagai darah segar untuk mendinamiskan ajaran Islam dan mengubah strategi perjuangan umat. Dengan begitu, Islam akan lebih mudah tersebar ke segala lini dan energi umat tidak tersedot semuanya ke bidang politik. Meski, sangat disayangkan bahwa akhirnya Cak Nur sendiri tergoda juga ke politik praktis dengan mencalonkan diri sebagai presiden.
Peran jangka panjang
Berdasarkan ulasan di atas, maka sebaiknya gerakan Islam kultural haruslah diselamatkan di tengah tarikan-tarikan politik praktis yang demikian kuat menggoda. Dengan Islam kultural, maka energi umat akan lebih dimanfaatkan untuk kepentingan jangka panjang seperti mengurusi soal pendidikan, ekonomi, dakwah, serta pengembangan masyarakat. Harus disadari bahwa di saat partai-partai Islam belum banyak yang menampakkan diri sebagai suri tauladan karena mengalami konflik internal dan problem inklusivitas, maka sangat sulit diharapkan muncul perubahan lewat reformasi politik saja. Begitu juga, dengan kondisi yang hampir mirip, partai-partai yang "sekuler" para pengurusnya banyak yang bermasalah dan tidak memberikan contoh yang baik dalam pengelolaan negara. Reformasi politik harus didukung oleh reformasi kultural yang secara konsisten harus dilakukan pada kehidupan umat dan bangsa Indonesia. Maka, sangat sayang bila Muhammadiyah yang seharusnya menjadi tenda bangsa dengan prestasi amal usaha dan lembaga pendidikannya, ikut dikorbankan dalam politik praktis. Begitu juga, NU dengan potensi civil Islam yang dilakukan oleh para aktivis mudanya, kembali menjadi subordinat politik seperti saat Gus Dur berkuasa.
Dengan penyelamatan gerakan Islam kultural, sesungguhnya secara tidak langsung juga sebagai upaya untuk mempromosikan wajah Islam yang ramah pada dunia. Menurut Robert W Hefner (2001), kebangkitan Islam kultural adalah harga tak terhingga yang dicapai oleh umat Islam Indonesia. Inilah yang membedakan kita dengan umat Islam di Timur Tengah atau negeri-negeri yang mengklaim sebagai negara Islam. Islam kultural-lah yang berhasil menciptakan trade image bahwa Islam Indonesia berwajah inklusif, toleran, menghargai hak asasi manusia (HAM), serta menjunjung tinggi demokrasi. Seharusnya, pencitraan yang positif itu dilanjutkan dengan aksi nyata yang betul-betul tertransformasi ke masyarakat bawah dengan memihak pada orang-orang yang terpinggirkan. Jadi bukan malah mengalihkannya ke upaya pencapaian jangka pendek lewat gagasan koalisi partai Islam atau aksi dukung-mendukung dan tausyiah politik.
Maka, bila sekarang ini para tokoh Islam banyak yang berpaling ke politik praktis, seharusnya umat di bawah dan di tengah tidak ikut larut di dalamnya. Energi umat jangan hanya diserahkan dan dipercayakan begitu saja pada para pemimpin yang bisa saja tergoda untuk menikmati perahu kekuasaan. Justru, sebisa mungkin mereka harus diingatkan dan dikritisi kebijakannya agar tidak terjerumus pada pengulangan kesalahan yang bisa berakibat fatal. Gerakan kultural untuk pencerahan bangsa, demokratisasi Indonesia, dan pemajuan kepentingan umat Islam, harus terus secara konsisten dijalankan oleh umat dan ormas-ormas Islam. Umat Islam harus tetap konsisten untuk menata barisan demi masa depan, melakukan reformasi kultural dalam kehidupan keagamaan dan kemasyarakatan, serta giat berdakwah untuk menegakkan keadilan sosial. Karena, musuh besar Islam yang sebenarnya harus dihadapi dan dilawan terus menerus adalah kekuatan kapitalisme global yang menghegemoni rakyat miskin di semua penjuru dunia.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment