PIKIRAN RAKYAT, Jumat, 05 Maret 2004
Oleh BUDI ASYHARI AFWAN
SALAH satu poin penting yang dihasilkan Rapat Pleno Diperluas PP Muhammadiyah 9-10 Februari di Yogyakarta lalu adalah mendukung kader terbaik bangsa yaitu Amien Rais sebagai presiden pada Pemilu 2004. Diakui atau tidak, keputusan ini sama maknanya dengan sebuah fatwa bagi warga Muhammadiyah, agar pada pesta demokrasi yang berlangsung April-September nanti memilih Amien Rais sebagai presiden keenam Republik Indonesia. Dengan demikian, selesai pulalah perdebatan panjang tentang kader terbaik bangsa yang pernah menjadi polemik beberapa waktu lalu.
Pernyataan sikap Muhammadiyah ini bukan saja memiliki makna secara moral tapi juga makna politis bagi Muhammadiyah. Satu sisi, pernyataan ini memang seiring dengan gerakan antikorupsi yang dalam rentang 3-4 bulan ini Muhammadiyah bekerja sama dengan NU, juga bukan tidak sengaja keputusan ini diambil atau karena Amien Rais mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah. Sisi lain, masa depan Indonesia memang sedang membutuhkan figur yang bersih dari tindak korupsi, atau yang akhir-akhir ini ramai, republik ini harus benar-benar bersih dari para politisi busuk.
Di samping itu, secara politis keputusan ini memiliki dampak amat signifikan dan masif bukan hanya pada kalangan elite politik tapi bahkan pada jaringan akar rumput Muhammadiyah. Kapasitas Muhammadiyah bagaimanapun tetap diperhitungkan dan tidak bisa dikecilkan pengaruhnya dalam percaturan politik nasional, sehingga keputusan ini tetap menjadi "catatan penting" bagi calon presiden lain.
Lebih dari itu, sebagaimana hasil poling yang dilakukan Kompas beberapa bulan lalu yang menyatakan, bahwa track record dan kinerja Amien Rais sebagai Ketua MPR menunjukkan nilai yang amat positif dan berhasil. Hal ini berbeda dengan hasil poling terhadap ketua DPR, Presiden dan Wakil Presiden yang kinerjanya dinilai kurang berhasil.
Ini pun merupakan nilai tambah yang menjadi pertimbangan mengapa keputusan ini lahir. Dengan kata lain, dukungan Muhammadiyah terhadap Amien Rais bukan melulu sebagai mantan orang nomor satu di Muhammadiyah an sich, tapi lebih pada track record dan kapabilitas Amien Rais par excellence. Bukan pertimbangan emosional dan organisasi, melainkan lebih pada dedikasi, kapabilitas, dan kualitas kepemimpinan.
Politik praktis
Namun, persoalannya menjadi lain ketika pernyataan tersebut dibenturkan dengan khittah Muhammadiyah yang dicetuskan pada Muktamar Makasar 1971, yang menyatakan menarik diri dari politik praktis. Penarikan diri Muhammadiyah dari Parmusi pada waktu itu sangat berdampak besar secara positif bagi gerak organisasi. Ia bebas memerankan posisinya sebagai gerakan dakwah dan kemasyarakatan. Muhammadiyah, dengan leluasa, bisa memerankan sebagai penggerak civil society di negara ini.
Pada masa kepemimpinan Mas Mansur ini pula Muhammadiyah menjadi kekuatan sosial yang diperhitungkan, baik sebagai gerakan dakwah sosial-kemasyarakatan maupun politik sekalipun. Keteguhan menjaga jarak dari politik ini bertahan sangat lama di mana berdampak pada makin tangguhnya kekuatan Muhammadiyah di pentas nasional.
Namun, bermula dari Tanwir di Semarang 1999 yang "memberi lampu hijau" kepada Amien Rais (Ketua Umum PP Muhammadiyah) terjun di politik praktis dengan membidani lahirnya PAN, gejala ambiguitas Muhammadiyah sudah tampak. Hal ini terlihat dari banyaknya kader yang "mesti" membagi konsentrasinya antara kepentingan organisasi dengan kepentingan partai (PAN).
Keputusan Tanwir ini memang belum disadari dampak politisnya. Karena memang hanya sebatas memberi izin Amien Rais mendirikan partai dan sekaligus memimpinnya. Baru pada Tanwir Bali (2002) dan Tanwir Makasar (2003), tampaklah benih ketertarikan Muhammadiyah pada politik praktis. Terlihat pula kepentingan Muhammadiyah pada posisi-posisi dalam pemerintahan. Meskipun hasil kedua tanwir tersebut hanya pendefinisian kader terbaik bangsa dan kriteria presiden, namun tetap saja semua mafhum dan tidak bisa mengelak siapa yang dimaksud kader terbaik tersebut.
Kedua tanwir di atas memang masih memperlihatkan aura Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah sosial-kemasyarakatan yang memiliki kepedulian terhadap kondisi republik ini. Muhammadiyah tetaplah sebagai kekuatan civil society yang diperhitungkan sebagai "tenda bangsa". Ia adalah payung yang mengayomi seluruh rakyat Indonesia.
Pada Rapat Pleno Diperluas PP Muhammadiyah di Yogyakarta itulah rentetan ambiguitas Muhammadiyah mengalami benturan yang dahsyat, dengan saling silang banyaknya kepentingan yang ada dalam Muhammadiyah. Dan akumulasi benturan itu pun terjadi, yang akhirnya menghasilkan sebuah pernyataan sikap (yang oleh Denny J.A. disebut sebagai blunder politik) Muhammadiyah tentang dukungan terhadap langkah Amien Rais dalam memperjuangkan kelanjutan reformasi dan penyelamatan bangsa dalam pemilihan Presiden pada Pemilu 2004.
Pernyataan sikap ini, bukan hanya telah menyeret Muhammadiyah pada kepentingan di ranah politik praktis, namun juga sekaligus mempersempit langkah dan geraknya sebagai penggerak civil society di Indonesia. Ringkasnya, justru karena pernyataan ini Muhammadiyah menjadi sebuah organisasi besar yang semakin sulit dibaca antara identitasnya sebagai gerakan sosial-kemasyarakatan dan gerakan politiknya.
Pilihan langkah pada sisi moral politik dengan jargon high politics, sebagaimana pada masa kepemimpinan Amien Rais begitu menggema, pun menjadi sulit ditemukan korelasi dan konsistensinya ketika menilik pernyataan sikap tersebut. High politics yang mengandaikan moralitas sebagai polisi lalu lintas politik justru "secara tidak sadar" telah bergeser pada target dan kepentingan sesaat. Muhammadiyah sudah memasuki area low politics. Dan ini bukan saja menjadi preseden buruk bagi Muhammadiyah tapi bahkan juga mempersempit gerak calon presiden yang didukungnya untuk memperlebar raupan dukungannya dari banyak kalangan.
Padahal mestinya Muhammadiyah lebih elegan bila memainkan perannya sebagai tenda bangsa yang mengayomi bukan saja warganya melainkan seluruh elemen republik ini. Peran inilah sebenarnya yang diidamkan oleh masyarakat, bahwa Muhammadiyah diharapkan mampu menjadi pintu yang sangat menentukan dalam menyelesaikan kompleksitas persoalan bangsa, baik politik, ekonomi, terorisme, maupun persoalan sosial dan budaya.
Barangkali inilah yang patut diperhatikan seluruh warga Muhammadiyah ketika berkeinginan masuk ranah politik praktis. Hal ini pula yang mestinya menjadi agenda besar Muhammadiyah agar lebih jauh dan dalam lagi dalam melihat persoalan sosial-politik bangsa hubungannya dengan kepentingan jangka panjang Muhammadiyah dan Indonesia. Secara bijaksana bisa dikatakan, Muhammadiyah harus segera memulihkan identitasnya sebagai tenda bangsa, atau tepatnya tenda kultural bangsa. Bahwa Muhammadiyah bukan hanya mengayomi warganya tapi telah menjadi "rumah besar" bangsa Indonesia yang sangat diharapkan mampu berperan besar dengan visi jauh ke depan yang mampu mencerahkan masa depan bangsa.***
Penulis aktivis Pemuda Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment