Kompas, Sabtu, 26 Januari 2002
Oleh Pramono U Tanthowi
Mungkin betul kata sebagian pengamat, perkembangan wacana Islam liberal, civil society, dan demokrasi dalam Muhammadiyah relatif terlambat, terutama jika dibanding dengan Nahdlatul Ulama (NU). Padahal, pada awal abad ke-20, menurut Kurzman, Muhammadiyah merupakan representasi organisasi-organisasi Islam liberal di dunia Islam, selain Ittifaq al-Muslimin di Rusia dan Aligarh di India (2001, h.xxv). Pada masa itu, aktivisme Islam liberal mengambil bentuk reformasi pendidikan. Meski banyak pemikir liberal pada periode ini merupakan produk pendidikan keagamaan tradisional, mereka memandang institusi-institusi ini tidak lagi memadai untuk memenuhi tuntutan zaman dan berusaha memperbaruinya atau bahkan menciptakan institusi baru yang menggabungkan pendekatan modern dan pendekatan tradisional.
Pada periode ini, ciri khas gerakan Islam liberal adalah pengenalan pelajaran-pelajaran Barat dan tema-tema yang khas Barat terhadap kurikulum tradisional; sesuatu yang merefleksikan sumbangan intelektual dari kaum liberal, yakni penghargaan terhadap "modernitas". Karena itu, Islam liberal pada periode ini secara umum dikenal sebagai "modernisme Islam". Dalam konteks demikian, sekolah-sekolah yang didirikan Muhammadiyah pada zaman Belanda tidak menggunakan istilah khas Islam, namun menggunakan istilah kurikulum dan metodologi pengajaran Belanda, meski tetap mengajarkan ilmu-ilmu keislaman, seperti HIS, MULO, dan HIK met de Qur'an.
***
MESKI demikian, liberalisme Muhammadiyah ini ternyata-menurut beberapa pengamat-tidak mampu bertahan lama. Modernisme Muhammadiyah setidaknya, mengidap kelemahan mendasar.
Pertama, modernisme Islam dituduh terlalu sekuler dan westernized, seolah mengambil begitu saja pemikiran Barat, serta terlalu mengabaikan, dan karena itu tidak menguasai tradisi; baik tradisi keilmuan Islam klasik maupun tradisi dan budaya lokal.
Kedua, modernisme Islam pada akhirnya memiliki kecenderungan konservatif (dalam pemahaman keagamaan) dan fundamentalis (dalam sikap politik). Kecenderungan inilah yang dianggap menyebabkan Muhammadiyah tidak responsif terhadap perkembangan wacana Islam liberal di Indonesia dewasa ini. Hal itu tentu saja menimbulkan tanda tanya besar di lingkungan Muhammadiyah.
Persoalan pertama, berangkat dari kesalahpahaman warga dan pimpinan Muhammadiyah memahami doktrin al-ruju' ila 'l-Qur'an wa 'l-Sunnah (kembali kepada Al Quran dan Sunnah). Doktrin ini sering dipahami secara verbal dan formal, dan diaktualisasi dengan menyerukan keutamaan Islam periode awal serta menegaskan ketidaksahan penafsiran dan praktik-praktik keagamaan masa kini.
Dengan menekankan pentingnya ijtihad (upaya legislasi kreatif dan serius), penafsiran para juris dan teolog masa-masa kemudian yang terkodifikasi dalam kitab kuning, oleh Muhammadiyah dianggap hanya memiliki kebenaran relatif, karena itu boleh diabaikan. Sementara, dengan menegaskan otentisitas praktik Islam periode awal, praktik-praktik keagamaan periode sesudahnya seperti tercermin dalam konsep Muhammadiyah tentang TBC (takhayul, bid'ah, dan churafat), oleh Muhammadiyah sering dianggap sebagai penyimpangan terhadap "Islam murni", karena itu harus diberantas. Padahal, dengan mengabaikan dua hal ini, pemikiran Islam dalam Muhammadiyah mengalami diskontinuitas dalam proses panjang perkembangan pemikiran Islam sejak zaman klasik hingga masa modern sekarang ini.
Persoalan kedua, setidaknya disebabkan karena ada dua alasan mendasar. Pertama, dalam sejarahnya di Indonesia selama abad ke-20, pembicaraan mengenai Islam sering lebih kental warna politiknya, melebihi manifestasi-manifestasi dalam bentuk lain. Hal ini, secara faktual, karena Islam di Indonesia tidak saja menghadapi dominasi politik Barat melalui kolonialisme Belanda, tetapi juga terlibat persaingan sengit ideologis dengan kekuatan-kekuatan politik lain. Tahun 1920-an, Soekarno menyatakan, ada tiga aliran ideologi yang mendasari gerakan-gerakan kemerdekaan Indonesia: Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme. Pada masa itu, polemik-polemik ideologis bukan melibatkan antara Islam dan Barat, tetapi justru dengan sesama pejuang kemerdekaan sendiri. Dalam konteks inilah kita menyaksikan polemik Agus Salim-Soekarno, Natsir-Soekarno, Tjokroaminoto-Semaun, dan lain-lain.
Persaingan ini terus berlangsung dan menguat pada dasawarsa 1950-an. Hal ini dapat dimengerti mengingat Islam menghadapi persaingan amat kuat dengan kekuatan ideologis lain yang muncul dalam format politik. Nasionalisme, Sosialisme, Komunisme, bahkan Kristen dan Katolik, saat itu juga muncul dalam wajah politik dengan partai-partai sebagai manifestasi paling konkret. Dalam kondisi seperti ini, kekuatan politik Islam juga menampilkan wajah Islam yang lebih politis dan ideologis, dan karena itu bersifat eksklusif dan konfrontatif. Sementara itu, Muhammadiyah sebagai anggota istimewa Masyumi, tentu saja terlibat langsung persaingan politis-ideologis itu.
Kedua, kecenderungan konservatif dan fundamentalis ini dapat dilacak dari gerakan pembaruan Muhammadiyah, yang menurut Amin Abdullah lebih bercorak a faith in action (1994). Dengan begitu, gerakan pembaruan Muhammadiyah tidak sekadar mengembangkan wacana pemikiran, tetapi menggabungkan dimensi teologis-filosofis sekaligus menekankan dimensi sosial-praksis. Maka dalam sejarah, ayat-ayat Al Quran tentang kemanusiaan yang diajarkan Ahmad Dahlan kepada murid-muridnya, selalu tidak terhenti pada hafalan dan pemahaman, tetapi dituntut untuk dilaksanakan. Ketika mengajarkan beberapa ayat tentang pentingnya ilmu pengetahuan (QS. 96:1-5), penyembuhan penyakit (QS. 26:80), serta penyantunan orang miskin dan yatim piatu (QS. 107:1-7), Ahmad Dahlan menuntut muridnya melaksanakan ayat-ayat itu dalam amalan nyata. Dari landasan seperti ini, Muhammadiyah melahirkan lembaga-lembaga pendidikan, kesehatan, dan sosial dalam jumlah massif. Pendekatan Ahmad Dahlan ini, dapat disejajarkan dengan tafsir liberatifnya Farid Essack (2000).
Sayang, generasi-generasi penerus tidak lagi sanggup menangkap semangat dari ide pembaruan itu. Akibatnya, yang dapat ditangkap dari gerakan pembaruan Muhammadiyah hanya (dan semata-mata) aspek sosial-praksis. Misalnya, warga dan pimpinan Muhammadiyah sering menganggap, pembangunan sekolah atau perguruan tinggi merupakan amal usaha yang berkonotasi sosial-praksis semata. Padahal, ia memerlukan sebuah strategi intelektual dan kultural jangka panjang. Selain itu, Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) juga terjebak untuk mengambil alih teknologi modern pada aspek ilmu dan teknologinya saja, yakni terbatas pada applied science. Padahal, di balik ilmu dan teknologi, ada bangunan filosofis yang melatarbelakangi bangunan teknologi itu. Sementara bangunan epistimologis dan filosofis yang mela-tarbelakangi iptek belum dijajaki Muhammadiyah secara serius. Ini terbukti belum ada kajian filsafat dan ilmu-ilmu sosial serta studi agama yang bersifat empiris dalam lingkungan PTM.
***
AKUMULASI berbagai faktor itu, menyebabkan wacana pemikiran Islam dalam Muhammadiyah seperti mengalami stagnasi, untuk tidak mengatakan melangkah mundur. Dengan demikian, persoalan ini harus segera dicarikan jalan keluar. Jika tidak, Muhammadiyah yang selama ini dianggap sebagai organisasi Islam modernis, dalam bidang pemikiran Islam akan berwajah sangat konservatif.
Jika menyadari berbagai kelemahan ini, Muhammadiyah harus segera mengambil langkah strategis dengan membentuk pusat-pusat studi keislaman, baik melalui jaringan PTM, maupun melalui berbagai LSM. Kelompok-kelompok seperti ini harus didorong, dimotivasi, dan diberi kesempatan mengembangkan gagasan dan pemikiran Islam secara bebas. Kesempatan dan kebebasan ini menjadi penting, karena selama ini wacana pemikiran Islam dalam Muhammadiyah, seolah-olah hanya didominasi generasi tua dan elite saja.
Agar tidak ketinggalan dalam wacana pemikiran Islam, Muhammadiyah tidak perlu meninggalkan doktrin a faith in action-nya. Yang perlu dilakukan bukan meninggalkan orientasinya pada bidang sosial-praksis, tetapi menambah tekanan pada bidang teologis-filosofis, agar mampu menangkap ide dan semangat pembaruan yang dikembangkan generasi awal Muhammadiyah. Doktrin yang diambil Muhammadiyah dengan menggabungkan aspek teologis-filosofis dan sosial-praksis merupakan eksperimen umat Islam Indonesia untuk keluar dari pusaran diskursus teologis sejak zaman klasik-yang notabene hanya bercorak rasional-intelektual an sich-ke arah wilayah yang bersifat historis-empiris-praksis.
Berbagai persoalan yang dikemukakan itu, tentu bukan dimaksudkan untuk mengungkap kelemahan-kelemahan Muhammadiyah, namun lebih sebagai kesadaran dan otokritik agar Muhammadiyah tidak terlena dengan berbagai keberhasilan yang telah dicapai. Dan, hal ini sama sekali bukan untuk mengecilkan peranan Muhammadiyah dalam proses pengembangan pemikiran Islam di Indonesia. Dalam situasi seperti ini, kritik terhadap bentuk pemahaman keislaman Muhammadiyah yang sudah mapan dan baku sangatlah perlu. Agar Muhammadiyah dapat menampung dan mencari pemecahan berbagai keluhan dan ketidakpuasan yang muncul di kalangan masyarakat luas, sekaligus dapat mengantar Muhamadiyah mengantisipasi persoalan umat dan zaman yang sedang terus bergulir-berubah.
Jika dilihat lebih jauh, berangkat dari doktrin a faith in action, membuat gagasan-gagasan mengenai Islam liberal, demokrasi, pluralisme, dan civil society, dalam Muhammadiyah dianggap penting, namun tidak terlalu banyak diperbincangkan. Bagi Muhammadiyah, lebih baik langsung berperilaku liberal, demokratis, dan pluralis, daripada banyak bicara liberalisme, demokrasi dan pluralisme, tetapi sebaliknya berperilaku antiliberal, antidemokrasi dan antipluralisme. Dengan begitu, betul kata Robert W Hefner, suara-suara pembaruan politik dan demokratisasi dalam masyarakat Islam di Indonesia selalu mencakup sejumlah orang yang lebih luas ketimbang kalangan terbatas para teolog liberal dan neomodernis (1999). Penting untuk menekankan persoalan ini, karena beberapa pengamat Barat berpandangan, Muslim Indonesia yang secara serius memiliki komitmen terhadap pembaruan demokratis hanyalah para teolog liberal, dalam jumlah sedikit. Namun, harus dipahami juga, komitmen terhadap demokrasi sebenarnya mencakup kalangan lebih luas.
Akibatnya, (sekadar untuk tidak berkecil hati) kalangan Islam modernis sebenarnya bisa menjadi pihak pertama dalam mendukung dan mendorong perubahan demokratis di Indonesia, sebab sumber daya politik mereka akhirnya jauh melebihi yang lain.
* Pramono U Tanthowi, Ketua (bidang politik dan kebijakan) DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
Sunday, November 22, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment