Kompas, Bentara, Rabu, 06 April 2005
Robert W Hefner
SALAH satu karakteristik utama budaya Islam di Indonesia modern terletak pada kemampuannya melahirkan sarjana dan aktivis Muslim yang punya kapabilitas intelektual tinggi dalam menanggapi tantangan politik, ekonomi, dan budaya di dunia modern. Entah itu Kiai Haji Achmad Dahlan (1910-an), Kiai Hasyim Asy’ari (1920-an), entah Nurcholish Madjid, Harun Nasution, dan Abdurrahman Wahid (1990-an), para pemimpin Muslim Indonesia telah menunjukkan kemampuan luar biasa melihat tradisi Islam secara mendalam dan mengontekstualkan wawasan-wawasan keislaman yang relevan dalam menjawab tantangan dunia modern.
MEMANG sejumlah pengamat menilai bahwa kemampuan mengontekstualkan pesan Islam di dunia modern adalah suatu fenomena yang terjadi dalam sejarah Muslim di berbagai belahan dunia Islam. Para Muslim revivalis dan reformis benar-benar telah muncul di banyak negara. Meskipun demikian, ada semacam kekhasan tersendiri untuk model Indonesia. Ini bukan saja fakta bahwa Indonesia telah memunculkan para pemikir Muslim, tetapi juga ide-ide dan gagasan pemikiran yang mereka kembangkan mendapat perhatian hangat di dalam segmen masyarakat Indonesia yang luas. Hasilnya, sebagian ide dan gagasan pemikiran intelektual mereka diikuti oleh publik luas, bahkan dipakai sebagai peranti untuk meningkatkan dinamika intelektual masyarakat Muslim Indonesia.
Kita hanya perlu membandingkan penerimaan publik atas ide-ide pembaharuan keislaman seorang figur seperti Muhammad Abduh di Mesir dengan Achmad Dahlan di Indonesia untuk menyadari adanya kekhasan tersendiri model pembaharuan keislaman di Indonesia. Dengan segenap pertimbangan, Abduh adalah satu dari sekian pembaharu Muslim terbesar di dunia modern. Meskipun ditunjuk sebagai mufti besar di Mesir, Abduh sepanjang hidupnya menghadapi oposisi tak kenal henti atas ide-idenya dari institusi keagamaan, tak terkecuali institusi pendidikan Al-Azhar itu sendiri. Beberapa pembaharuan pendidikannya pada akhirnya memang dimasukkan ke dalam kurikulum Al-Azhar, tetapi tidak demikian halnya dengan ide-ide besarnya dalam pembaharuan keislaman.
Sama pentingnya, meskipun Abduh berharap mempersiapkan jalan bagi kepemimpinan baru dan organisasi kemasyarakatan bagi Muslim Mesir, oposisi dari para pemimpin keagamaan di negeri tersebut meyakinkan bahwa ia tidak akan pernah bisa melakukannya. Hingga sekarang pun bahkan tak ada yang mampu (di Mesir) menyamai pencapaian luar biasa Muhammadiyah yang digagas Achmad Dahlan. Organisasi massa Muslim terbesar di Mesir, Ikhwan al-Muslimun, yang dipelopori Hasan al-Banna pada mulanya memang mengikuti sedikit di antara ide-ide Abduh ini. Namun, sejak dasawarsa 1930-an, Ikhwan telah berpaling dari cita-cita ideal Abduh tentang pembaharuan keislaman dan sebaliknya justru mengambil komitmen merebut kekuasaan di Mesir. Sebaliknya di Indonesia, Achmad Dahlan relatif berhasil mengembangkan organisasi pembaharuan keislaman yang berspiritkan, meminjam ungkapan terkenal Amien Rais, "politik tingkat tinggi" di bidang pemikiran, pendidikan, dan kesejahteraan sosial. Hasilnya, organisasi keislaman yang skala dan visi besarnya tak ada bandingannya di Timur Tengah.
Perbedaan seperti ini tidak hanya terbatas di Mesir dan Indonesia. Meskipun ide-idenya masih termasuk kategori reformisme Sunni yang utama, pembaharu Muslim asal Pakistan, Fazlur Rahman, dipaksa meninggalkan Pakistan dan menghabiskan sisa hidupnya mengajar dan menulis di Universitas Chicago, Amerika Serikat. Sekarang ini ide-ide pembaharuan keislaman Rahman didiskusikan lebih luas dan bebas di Indonesia ketimbang di negerinya sendiri. Persis dengan kasus Rahman, ide-ide pembaharuan keislaman reformis besar asal Suriah, Muhammad Shahrour, juga lebih bebas didiskusikan di Indonesia. Namun, di negerinya sendiri pembaharuan Shahrour menghadapi tentangan yang begitu sengit dari segelintir kaum militan hingga pemikir yang berbahasa halus ini dipaksa menjauhi kegiatan-kegiatan publik dan harus ditemani pengawal saban bepergian ke luar.
Masyarakat Muslim di Indonesia modern tentu saja tak luput dari kontroversi, bahkan kekerasan. Namun, ketika melihat lanskap penuh abad XX, orang dikejutkan dengan fakta bahwa sekalipun disibukkan dengan kontroversi dan kekerasan, masyarakat Muslim Indonesia secara konsisten kembali berada di jalan lurus moderasi, pluralisme, dan debat berspirit kebebasan. Meskipun organisasi-organisasi keislaman seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama digoda oleh rayuan politik kekuasaan, faktanya mereka secara konsisten kembali pada garis moderat, pluralisme, dan nasionalisme keagamaan.
DALAM era keterbukaan masyarakat Muslim di Indonesia yang ditandai dengan suburnya ide-ide pembaharuan dan rekontekstualisasi wacana keislaman itulah esai Sukidi (Lembaran Bentara, Kompas, 2/3/2005) yang cemerlang tentang seruan pada pentingnya gagasan Protestanisme Islam membangkitkan butir-butir sangat penting untuk refleksi pembaharuan keagamaan ke depan. Beberapa butir penting sebaiknya ditekankan sejak awal.
Pertama, mutu esai Sukidi sendiri yang bagus dan fakta bahwa esai tersebut telah merangsang diskursus keislaman yang hangat dalam komunitas Muslim dengan sendirinya mengilustrasikan keterbukaan yang terus-menerus berlangsung di kalangan Muslim Indonesia.
Kedua, dan sedikit agak menyadarkan, sebagian alasan mengapa esai Sukidi mengundang debat adalah bahwa ada kekhawatiran yang terus berkembang di lingkaran intelektual Muslim bahwa sejak akhir rezim Orde Baru masyarakat Muslim telah kehilangan beberapa elemen keadaban dan energi intelektualnya sebagai akibat dari percekcokan publik dan tindakan intimidasi beberapa individu yang berpikiran radikal. Berdasarkan percakapan dengan kawan-kawan di Indonesia, saya percaya bahwa persepsi inilah yang menyebabkan para intelektual muda berpikir mengenai apakah Indonesia juga membutuhkan hal-hal yang didiskusikan oleh Sukidi dengan sangat baik dalam esainya: sebuah reformasi Protestan Islam yang mampu merangsang kehidupan intelektual dan organisasi sosial masyarakat Muslim secara keseluruhan.
Catatan Sukidi berhasil dengan cemerlang menggarisbawahi tuntutan gagasan Protestanisme Islam yang diserukan Jamal al-Din al-Afghani, Ali Shariati, dan Hashem Aghajari. Ketiga pemikir Muslim ini tentu saja orang-orang Iran. Ketiganya, seperti ditunjukkan Sukidi, menyerukan pentingnya Protestanisme Islam sebagai usaha meneguhkan komitmen masyarakat Muslim terhadap kemajuan, rasionalitas keagamaan, dan di atas semua itu adalah suatu keyakinan bahwa setiap Muslim menjadi "Imam bagi dirinya sendiri". Ide-ide pembaharuan seperti itu telah muncul dan muncul kembali di dunia Islam modern. Dengan makna demikian, Protestanisme Islam benar-benar memiliki beberapa karakteristik terjadinya suatu "pengembaraan gagasan".
Bagaimanapun juga sangat bermanfaat untuk diingat, sesungguhnya ide Protestanisme Islam telah menjadi subyek diskusi yang lebih hangat di Iran dewasa ini ketimbang di dunia Muslim Sunni. Mengapa hal ini terjadi? Mungkin pertanyaan ini akan sedikit terbantu dengan cara menambahkan travelling theory Edrward Said dengan beberapa isu dari sejarah sosial Islam di Iran.
Pada abad XVIII dan XIX Islam Shi’ah Iran mengalami transformasi doktrin dan organisasi yang tak ada bandingannya dengan yang terjadi di dunia Sunni. Secara lebih khusus, setelah konflik antara mazhab Akhbari dan Ushuli, sebuah konsensus baru lahir di antara para intelektual agama yang berpusat pada kewajiban semua mukmin untuk menaati doktrin tentang marja’. Menurut konsep ini, setiap Muslim saleh diwajibkan tunduk kepada seorang mujtahid yang berfungsi sebagai marja’ taklidnya, rujukan keagamaannya. Beberapa dekade setelah doktrin marja’ disebarluaskan, otoritas keagamaan di Iran Shi’ah mengalami evolusi lebih jauh. Perubahan itu berpusat pada ide bahwa tidak hanya setiap orang awam yang harus memiliki sebuah marja’, tetapi juga harus ada sebuah marja’ tunggal tempat para intelektual Muslim bersandar. Yang paling terhormat adalah seseorang yang disebut sebagai Ayatullah, secara literal berarti ’tanda Tuhan’.
Dalam konteks ini Shi’ah abad XIX mengembangkan beberapa karakteristik yang hierarkis dan sentralistik yang secara umum lebih dekat diasosiasikan dengan Kristen di Barat ketimbang Islam. Namun, tak dapat disangkal pula bahwa struktur hierarkis Shi’ah Iran tak sekental dan sehierarkis Gereja Katolik Roma. Seorang intelektual menjadi seorang Ayatullah bukan karena dipilih atau diangkat oleh ulama, melainkan melalui sebuah proses intelektual informal dan pendapat publik. Namun, dalam 200 tahun terakhir, Islam Shi’ah telah mengembangkan tingkat hierarki intelektual dan sentralisasi yang jauh lebih kompleks ketimbang tipikal Islam Sunni. Fakta inilah, ketimbang faktor lain, yang membantu menjelaskan mengapa di saat-saat krisis sosial-politik beberapa orang di Iran menjadi tidak sabar dengan status quo Shi’ah dan seperti Afghani, Shariati, dan Aghajari, mereka mulai mengimpikan Shi’ah yang mirip dengan Reformasi Protestan.
Tak ada satu negara pun di kalangan Islam Sunni yang mengambil jalan sebagaimana ditempuh kaum Shi’ah Iran dengan mandat hierarki marja’ dan kepatuhan buta. Kecenderungan utama dalam otoritas keagamaan abad XIX dan XX di dunia Sunni ternyata bukanlah hierarki mandat keagamaan, tetapi lebih perjuangan kelompok-kelompok Muslim tentang hubungan yang sebaiknya dimiliki antara ulama dan umat dalam kaitannya dengan negara. Tentu saja ada sejarah panjang atas perdebatan-perdebatan seperti itu di Islam Sunni. Selama apa yang dikenal sebagai "inkuisisi" atau mihna di masa kekuasaan Khalifah Abasiyah al-Ma’mun (813-833) dan diteruskan pada Khalifah al-Wathiq (842-847), para pejabat kekhalifahan mencoba memaksa kehendaknya kepada para ulama. Konflik terutama terpusat pada masalah keterciptaan Alquran. Namun, yang menyedot pusat perhatian dalam konflik mihna adalah pertanyaan tentang siapa yang memiliki otoritas terakhir untuk membicarakan masalah-masalah keislaman: ulama atau khalifah (penguasa). Kegagalan khalifah memenangi misi perjuangannya menandai suatu kemenangan definitif bagi ulama dan menobatkan ulama sebagai pemegang otoritas prinsipiil dalam masalah teologi Islam dan hukum.
Kegagalan mihna juga meniscayakan bahwa tradisi sentral di Islam Sunni tetap menjadi sebuah pola "multipusat" otoritas keagamaan, tidak terpusat pada satu otoritas keagamaan. Yang saya maksudkan dengan hal ini adalah komunitas intelektual dan orang beriman secara lebih luas, ketimbang hanya seorang pendeta, khalifah, atau seorang Ayatullah yang bertanggung jawab dalam masalah-masalah keagamaan. Di awal Kekhalifahan Utsmani, beberapa negara Muslim modern telah berusaha menolak pendahulu Sunni ini dan menghubungkan komunitas ulama lebih dekat kepada gerbong kekuasaan. Beberapa Islamis sekarang juga berpendapat adanya kemiripan etatisasi otoritas keagamaan. Meskipun ada upaya-upaya demikian, titik sentral otoritas keagamaan di Islam Sunni masih bersifat multipusat dan komunitarian, tidak tersentralisasi, otoritarian, ataupun hierarkis.
Inilah perbedaan mendasar antara Sunni dan Shi’ah yang membantu menjelaskan mengapa ide Protestanisme Islam menjadi sedemikian populer di Shi’ah Iran dan kurang bergema di dunia Sunni. Kristen prareformasi diorganisasikan di atas struktur Imam gereja yang hierarkis dan terkontrol secara terpusat, yang status dan otoritas keimamannya telah ditentukan bukan berdasarkan konsensus intelektual dan komunitas yang bersifat informal, melainkan melalui struktur formal institusi dan komando. Karena otoritas keagamaan di Kristen Roma diatur melalui cara yang korporatis seperti ini, maka Luther dan para pendukungnya merasa terpanggil memisahkan diri secara keseluruhan dari Gereja Katolik Roma dan mendirikan Gereja tersendiri yang sepenuhnya terpisah. Islam Sunni kurang rentan terhadap perpecahan sektarian seperti ini karena, ketimbang hierarkis eklesiastikal, Islam Sunni memiliki sebuah pola pusat yang beragam dari otoritas keagamaan.
ARTIKEL Sukidi mengangkat satu isu terpenting lain mengenai relevansi ide Protestanisme untuk perkembangan Islam kontemporer. Sukidi dengan benar menunjukkan bahwa Afghani, Shariati, dan Aghajari menekankan bahwa Reformasi Protestan sangat penting bagi modernisasi Eropa. Afghani melihat konservatisme ulama sebagai penyebab utama jatuhnya peradaban Islam setelah masa keemasan Nabi Muhammad dan masa kekhalifahan empat (khulafaurrasyidin). Dijiwai oleh keyakinan demikian, cukup mudah bagi Afghani menyimpulkan bahwa Islam akan meraih manfaat positif jika Ia juga mengalami reformasi sebagai alternatif pembaharuan atas konservatisme ulama. Aghajari telah memberikan kritik selangkah lebih maju dengan menegaskan bahwa ulama tidak harus diperlakukan sebagai komunitas yang sakral dan setiap Muslim seharusnya menjadi imam bagi dirinya sendiri.
Pandangan Afghani tentang Reformasi Protestan, seperti diungkapkan Sukidi, dipengaruhi oleh sejarawan Perancis, Francois Guizot (1787-1874), yang juga berasal dari keluarga Protestan. Jika kita menilai relevansi Reformasi Protestan terhadap Muslim modern bagaimanapun juga kita perlu bertanya apakah pernyataan-pernyataan Guizot mengenai reformasi pada kenyataannya akurat secara historis. Apakah Reformasi menjadi batu loncatan penting bagi pembaharuan intelektual dan politik Eropa? Jika jawaban atas pertanyaan itu adalah ya, maka Guizot dan Afghani benar dan Protestanisme barangkali benar-benar menawarkan pelajaran yang berharga bagi Muslim Modern. Namun sebaliknya, jika jawabannya adalah tidak, relevansi Protestanisme barangkali lebih terbatas.
Terhadap pertanyaan tentang sumbangan Reformasi Protestan terhadap peradaban Eropa, para sejarawan Barat telah menuliskan catatan yang lebih teliti ketimbang yang dilakukan Guizot, bahkan sekalipun dibandingkan dengan yang dilakukan sosiolog besar Jerman, Max Weber. Reformasi Protestan bukan sekadar pencapaian intelektual yang mendorong para penganut agama untuk lebih bertanggung jawab terhadap iman mereka masing-masing. Reformasi Protestan juga merupakan peristiwa politik yang kompleks, yang memicu krisis politik dan kultural yang besar. Pendukung tulen toleransi dalam usia mudanya, seperti terekam dalam On Secular Authority (1523), Martin Luther menjadi kurang toleran pada tahun-tahun belakangan. Pecahnya the Peasants War di Jerman tahun 1524 dan meningkatnya popularitas Protestanisme radikal menginspirasi Luther mengambil kesimpulan bahwa otoritas negara memiliki kewajiban bertindak atau menghukum secara tegas para penghujat dan pemberontak agama. Eropa sendiri menyaksikan pecahnya kekerasan massal yang dahsyat dan pembersihan etnik-keagamaan beberapa dekade setelah Reformasi.
Disetujui di wilayah Jerman pada tahun 1555, Perjanjian Augsburg berupaya mengakhiri perang Katolik-Protestan dengan mewajibkan setiap orang dalam setiap teritori mengikuti agama dari raja yang berkuasa di daerahnya. Sambil mengakomodasi pluralisme agama yang sedang tumbuh di Eropa, perjanjian itu juga memperkuat hubungan antara Gereja dan negara, dan mempertebal komitmen para pejabat negara untuk menegakkan ortodoksi keagamaan. Di kedua belah pihak, baik Katolik maupun Protestan Eropa, ribuan pemikir yang (dianggap) menyimpang dikutuk sebagai "orang-orang bidah" dan dieksekusi. Seabad setelah Reformasi juga ditandai dengan serangan yang mengerikan kapada orang Yahudi, juga para pemikir yang menyimpang dan orang-orang eksentrik dari berbagai agama yang secara umum dikenal sebagai "para penyihir". Serangan terhadap orang-orang yang secara sosial dikategorikan eksentrik ini berlangsung dari tahun 1560 hingga tahun 1660 dan mengakibatkan korban jiwa yang lebih parah dari kampanye antibidah. Perkiraan yang konservatif memperkirakan korban jiwa 30.000 orang di Eropa Barat. Namun, perkiraan lain menyatakan jumlahnya tiga hingga empat kali lebih besar dari angka tersebut.
Dari akibat kekerasan Reformasi inilah beberapa penguasa di Republik Belanda, Prusia, Inggris, dan Wales menyimpulkan bahwa di tangan kepentingan politik mereka terletak kekuasaan meminimalkan rangsangan Reformasi menuju purifikasi agama dan untuk mengizinkan para penganut berbagai sekte keagamaan dalam wilayah kekuasaan mereka. Argumen-argumen untuk hal demikian sering kali bersifat pragmatis. Di Prusia, misalnya, raja yang berkuasa mempromosikan multikonfesionalisme (multiekspresi keberagamaan) sebagai metode untuk memikat daya tarik orang-orang kaya dan industri. Di Belanda dan Inggris toleransi terhadap agama minoritas ditegakkan dengan adanya kesadaran yang semakin tumbuh bahwa upaya-upaya negara menegakkan konformitas agama telah mengakibatkan korban jiwa yang dahsyat. Berkat tumbuhnya toleransi pasca-Reformasi dan hilangnya program purifikasi agama yang dipaksakan oleh negara, maka hal itu memungkinkan ilmu pengetahuan Eropa maju dengan pesat, bisnis berkembang, dan orang dari berbagai latar agama dan etnis hidup berdampingan secara damai.
Karena itu, ada sejumlah dasar untuk lebih berhati-hati mengambil secara literal seruan Protestanisme Islam Afghani, Shariati, dan Aghajari. Sudah pasti, seseorang dapat memahami daya tarik gagasan Protestanisme Islam, sebagaimana terjadi di Iran modern, tempat tradisi marja' dipakai untuk membungkam para sarjana kritis dan pendukung pembaharuan keagamaan. Dalam masyarakat Sunni, ajakan reformasi model Protestan barangkali kurang terkait dengan hierarki otoritas keagamaan per se, tetapi lebih karena rasa frustasi pada konservatisme ulama tertentu dalam Islam. Sebab itu, cukup dapat dipahami bahwa beberapa intelektual Muslim dan ulama menyerukan Reformasi Protestan dalam Islam karena mereka merasakan kolaborasi yang terlampau dekat antara ulama dan penguasa justru mendiskreditkan agama Islam itu sendiri.
Kendatipun permasalahan terakhir ini barangkali cukup serius di sejumlah negara, dalam pengertian literal, Reformasi Protestan tampaknya tidak akan menyelesaikan masalah itu. Reformasi Protestan memang berhasil membersihkan Kristen Barat dari beberapa inovasi (bidah) abad pertengahan, dan mendorong individu beriman untuk bertanggung jawab atas imannya masing-masing. Namun, semangat melakukan purifikasi skripturalis juga meningkatkan tekanan akan adanya konformitas keagamaan dan menghilangkan gelombang persekusi dan pembersihan etnik-keagamaan. Tentu ini bukanlah Protestanisme yang terekam dalam pemikiran Afghani, Shariati, dan Aghajari. Namun, sejarah yang lebih luas tentang Reformasi Protestan mengingatkan kita bahwa pembaharuan agama yang dilakukan dengan niat mulia pun dapat memudarkan semangat irreligius ketika otoritas keagamaan bercampur baur atau di bawah kekuasaan negara. Bagi pengikut Islam Sunni, upaya pertahanan terbaik melawan ancaman ini barangkali kurang terletak pada pembaharuan iman seperti pada Reformasi Protestan, melainkan lebih pada pendalaman iman tentang pluralisme dan pemikiran yang menjadi ciri utama kaum Islam Sunni sejak dahulu kala, tetapi justru telah dirusak oleh mereka yang mengingkari warisan besar tradisi Islam Sunni.
Robert W Hefner Profesor Antropologi Agama di Universitas Boston, Amerika Serikat; Penulis Buku Civil Islam, [Princeton, 2000]; dan Editor Tamu pada New Cambridge History of Islam, Volume VI
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment