M. Dawam Rahardjo
Dalam Sidang Tanwirnya di Bali beberapa waktu yang lalu, organisasi Islam terbesar kedua sesudah NU, Muhammadiyah, mengeluarkan suatu konsep baru yang disebut “Dakwah Kultural”. Agaknya, dakwah kultural tersebut dimaksudkan untuk memecahkan masalah trikotomi yang diungkapkan oleh antropolog Amerika, Clifford Geertz. Geertz mengajukan tesis tentang tiga varian budaya umat Islam, yaitu budaya priyayi, santri dan abangan, yang juga mencerminkan stratifikasi sosial lapisan atas, menengah dan bawah, atau lebih khusus lagi dikotomi, antara apa yang disebut sebagai “Islam santri” dan “Islam abangan”, yang walaupun disebut oleh Geertz berlaku untuk Jawa, lebih khusus lagi Jawa Timur, dengan sampel desa Mojokuto, dekat Kediri, namun gejala itu berlaku juga untuk daerah-daerah lain di Indonesia. Di Aceh umpamanya, golongan priyayi disebut ulubelang.
Persoalan itu adalah, bagaimana menghilangkan trikotomi atau dikotomi itu? Jawab yang umum adalah dengan dakwah. Cuma ada strategi dakwah kultural dan ada pula dakwah politik yang pernah disebut oleh tokoh NU, Saifuddin Zuhri. Mana yang lebih efektif dari keduanya? Dengan konsep dakwah kultural itu, maka Muhammadiyah agaknya ingin memecahkan masalah itu dengan suatu integrasi budaya berdasarkan ajaran Islam yang otentik tapi sekaligus mengakomodasi unsur-ubsur budaya tradisional. Tapi sebenarnya banyak yang berpendapat bahwa yang lebih efektif adalah dakwah politik. Dalam menjawab pertanyaan sarjana Amerika, Marshal Hodgon, pengarang buku “The Venture of Islam” mengapa proses Islamisasi di Jawa begitu berhasil sempurna. Mark Woodward, dalam bukunya “Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Yogyakarta” menjawab bahwa Islam oleh para penyebarnya, khususnya Wali Songo, telah berhasil dipeluk oleh kraton Jawa, sehingga seluruh rakyat mengikutinya.
Tapi dipeluknya Islam oleh kalangan kraton itu tidak terjadi melalui peperangan. Tidak seperti halnya penyebaran Islam di Asia Selatan. Di Asia Selatan pula, penyebaran Islam mengalami hambatan karena faktor politik, yaitu karena Islam membawa faham egalitarian yang bertentangan dengan sistem kasta yang telah ditanamkan oleh Hindu dalam masyarakat. Hanya saja, agama Hindu di Jawa maupun Bali tidak melahirkan sistem kasta. Jikapun ada pembagian kasta, maka sistem itu berlaku secara samar-samar dan tidak rigid. Karena itu maka faktor sistem kasta yang merupakan hambatan bagi elit untuk menerima egalitarianisme Islam tidak dijumpai.
Namun kesuksesan Islamisasi atas Jawa itu mengandung masalah. Islam berkembang ke Indonesia memang melalui cara-cara damai. Tapi cara damai itu dilakukan dengan melalui mistisisme atau tasauf. Islam mistik pada umumnya dipertentangkan dengan Islam syari’ah. Jadi yang masuk ke Jawa itu adalah Islam mistik dan bukan hanya Islam syari’ah. Padahal Islam mistik ini dianggap sebagai sumber kelemahan Islam. Islam mistik ini pula yang telah menimbulkan sekularisasi di Turki yang secara habis-habisan memberantas mistisisme. Maka di Indonesia pun timbul paham yang menentang Islam mistik. Pertama dari aliran modernisme. Kedua dari aliran puritanisme yang berasal dari ajaran Ibn Taimiyah dan Muhammad Abdul Wahab yang melahirkan paham Wahabi itu. Atau kombinasi dari keduanya.
Pada awal '50-an, Clifford Geertz mengeluarkan istilah "Agama Jawa" (the religion of Java) yang pada dasarnya membagi kepercayaan orang Jawa menjadi tiga varian. Hasil penelitian Geertz inilah yang melahirkan persepsi tentang trikotomi dan dikotomi. Dalam konsep itu, yang disebut Islam yang otentik adalah Islam santri. Sedangkan Islam priyayi dan Islam abangan mengandung unsur-unsur sinkretisme dan ajaran heterodoks yang mengarah kepada syirik yang paling dilarang. Inilah agaknya yang melatar-belakangi timbulnya gerakan untuk menegakkan syari'ah Islam dalam arena politik.
Tapi Woorward mempunyai pandangan lain. Ia mengeluarkan istilah "Islam Jawa". Menurut pendapatnya, Islam Jawa ini punya keunikan tersendiri dan merupakan tradisi intelektual dan spiritual yang paling dinamis dan kreatif yang memberikan sumbangan yang besar terhadap pemikiran Islam. Tapi Islam Jawa ini adalah salah satu varian dari tradisi mistik Islam, yaitu sufisme atau tasauf. Walaupun demikian, Islam Jawa juga telah mengakomodasi aliran Islam fiqih. Islam Jawa adalah hasil penaklukan Islam terhadap agama dan budaya sebelumnya, termasuk Budha, Hindu dan kepercayaan tradisional yang pada pokoknya adalah animisme dan dinamisme.
Dengan terbentuknya Islam Jawa ini, Woorward seolah-olah meniadakan keperyaan Jawa yang lain. Tapi pendapat ini ditentang oleh ahli kebudayaan Jawa, Kuntjaraningrat. Ia berpendapat bahwa disamping ada Islam Jawa, masih ada paham atau kepercayaan "Islam Jawi" yang mempunyai ciri-ciri tersendiri yang otentik Jawa dan membedakan dirinya dari Islam Jawa. Dengan demikian, disamping tiga varian Islam Jawa menurut Geertz, masih ada kepercayaan lain yaitu "Agama Jawi".
Dalam kaitannya dengan dakwah kultural, timbul pertanyaan, bagaimana sikap organisasi semacam Muhammadiyah terhadap "Agama Jawa" seperti yang dilukiskan oleh Woorward. Jika konsep Woorward diterima, maka sudah selesai masalahnya. Karena Islam Jawa adalah sebuah paham yang "selesai" dan merupakan kompromi, baik antara Islam tasauf dan Islam fiqih atau Islam puritan, maupun antara Islam secara keseluruhan dengan agama-agama dan kepercayaaan lain. Dan Islam Jawa masih merupakan suatu paham yang terbuka, yaitu terbuka terhadap pengaruh-pengaruh lain. Islam Jawa mengandaikan dialog-dialog antar agama di masa depan.
Jika Islam Jawa diakui sebagai sebuah varian Islam yang syah model orang Jawa atau orang Indonesia (mengingat 70% penduduk Indonesia adalah penduduk Jawa), maka tokoh tokoh seperti Yasadipura, Ronggowarsito atau Mangkunegoro IV dapat digolongan sebagai ulama-ulama. Buku-buku yang mereka tulis seperti Serat Wulang Reh, Serat Wirid Hidayat Jati, Serat Wedhatama atau Serat Centini, tentunya dapat dikategorikan sebagai "Kitab Kuning" yang dipelajari, diajarkan, setidak-tidaknya dibaca di pesantren-pesantren.
Tentu banyak faham Islam Jawa yang dilukiskan oleh Woorward, khususnya tentang faham Islam Jawa Kraton, masih dan akan tetep sulit diterima oleh kalangan Islam puritan ataupun Islam modernis. Bahkan mereka akan setuju dengan penilaian Rendra, bahwa kebudayaan Kraton Mataram adalah sebuah kebudayaan "Kasur Tua". Rendra juga pernah menulis bahwa sistem pemerintahan Islam yang benar hanyalah masa Demak, dimana penguasa tunduk kepada hukum (syari'ah), sedangkan di masa Mataram, hukum telah diletakkan di bawah penguasa.
Tapi sungguhpun begitu, jika organisasi semacam Muhammadiyah memang ingin melakukan dakwah kultural, paling tidak mereka harus bersedia membaca dan mempelajari apa yang disebut "Islam Jawa" itu.
Prof. M. Dawam Rahardjo, President of International Institute of Islamic Thought Indonesia
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment