Sunday, November 22, 2009

Muhammadiyah Liberal dan Anti-Liberal

MAJALAH TEMPO, Edisi. 20/XXXIV/11 - 17 Juli 2005
Kolom

Sukidi Mulyadi
Mahasiswa Teologi di Harvard University,Cambridge, AS.

Wacana anti-liberalisme mewarnai suasana Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang, Jawa Timur. Liberalisme Islam dinilai sebagai "virus" baru di organisasi itu. Di luar sidang, kita dapat melihat "pojok anti-liberal" di salah satu stan penjualan buku bazar muktamar. Di sana dijual, misalnya, majalah Tabligh Muhammadiyah dan puluhan buku non-akademis bersemangat anti-liberalisme. Di ruang muktamar sendiri, kita dapat mendengarkan salah satu pandangan umum yang memohon pimpinan pusat supaya "menertibkan" pemikiran liberalisme Islam dalam Muhammadiyah.

Terpentalnya sayap pemikir muslim liberal seperti Munir Mulkhan dan Amin Abdullah dari formatur 13 juga dapat dibaca sebagai kemenangan anti-liberalisme dalam muktamar. Secara akademis, kita dapat bertanya: mengapa Muhammadiyah, pada awalnya lahir sebagai gerakan modernis-reformis, justru melahirkan dua sayap: liberal dan anti-liberal? Bagaimana nasib kedua sayap ini setelah Din Syamsuddin terpilih sebagai ketua umum.

Pertama, lahirnya sayap liberal dan anti-liberal dalam Muhammadiyah dapat dilihat sebagai unintended consequence di balik pendekatan "kembali pada Al-Quran dan Sunnah". Manifesto pembaruan Islam yang diserukan Ahmad Dahlan ini lalu ditafsirkan aktivis Muhammadiyah ke arah dua spektrum pemikiran yang berlawanan. Di satu sisi, ada yang menafsirkan dan menarik secara kuat ke arah purifikasi iman dan Islam dari unsur-unsur luar, apalagi liberalisme. Hal ini semakin membenarkan temuan riset antropolog James L. Peacock tahun 1970-an ketika menyimpulkan Muhammadiyah sebagai gerakan puritanisme Islam yang dihuni muslim puritan.

Di sisi lain, tak sedikit aktivis Muhammadiyah yang cenderung menafsirkan "kembali pada Al-Quran dan Sunnah" ke arah dinamisasi dan bahkan liberalisasi penafsiran Islam. Sayap ini, terutama dimotori Munir Mulkhan, yang justru memperlakukan Ahmad Dahlan sebagai prototipe muslim liberal par excellence.

Pandangan keislaman Dahlan terbukti sangat relativis, rasional, dan liberal. Dahlan, misalnya, melarang monopoli klaim-klaim kebenaran, karena hal itu hanyalah manifestasi peneguhan identitas satu kelompok atas kelompok lain. Dahlan justru melihat pentingnya belajar dari kelompok lain karena kebenaran itu sendiri terfragmentasi di mana-mana. Karena itu, kebenaran harus terus dicari tiada henti.

Dahlan juga ditarik sayap liberal sebagai prototipe muslim yang terbuka mengadopsi pola berpikir rasional dan sistem Barat sebagai metode untuk memajukan umat Islam. Ingat, misalnya, ketika Kristen mendirikan Holland Inlandse School met de Bijbel, Dahlan meresponsnya dengan mendirikan HIS met de Qur'an. Hal ini merupakan usaha yang rasional dan liberal untuk zamannya: suatu zaman yang masih ditandai dengan semangat anti-Barat.

Kedua, kontestasi intelektual antara Muhammadiyah liberal dan anti-liberal tak dapat dipisahkan dari konteks sejarah kelahiran Majelis Tarjih. Lembaga ini terbentuk pertama kali tahun 1928 atas rekomendasi KH Mas Mansur pada muktamar di Pekalongan tahun 1927.

Arah awal ideologisasi Muhammadiyah ke arah anti-liberal mulai bersemi melalui Majelis Tarjih, yang kemudian menjelma menjadi "otoritas keagamaan" yang intervensionis terhadap kebebasan asasi manusia. Perempuan, misalnya, tak diperkenankan ke luar rumah selama sehari atau lebih, kecuali ditemani oleh muhrimnya. Inilah, antara lain, produk keputusan Majelis Tarjih tahun 1932. Begitu pula soal kerudung, aurat, baju, dan seterusnya, diatur sepenuhnya melalui keputusan Majelis yang berorientasi pada fikih dan syariat Islam. Padahal setiap bentuk intervensi terhadap kebebasan individu, dengan sendirinya, melawan semangat liberalisme.

Pergeseran Muhammadiyah ke arah dinamisasi dan liberalisasi pemikiran Islam terjadi pada periode Amien Rais melalui Muktamar Aceh 1995. Namun, Amin Abdullah-lah yang sebenarnya menjadi ideolog liberalisasi pemikiran Islam. Ia ditetapkan sebagai Ketua Majelis Tarjih, yang sejak saat itu lembaga ini diperlebar sayapnya menjadi "Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam". Ideologi Muhammadiyah liberal mulai berkibar.

Fondasinya pun dikukuhkan: bahwa penafsiran Islam harus disesuaikan dengan semangat perubahan zaman. Ulama perempuan mulai terlibat dalam Majelis. Yang terpenting adalah lahirnya produk Majelis Tarjih yang progresif dan liberal, yakni Tafsir Tematik Hubungan Antar-Agama. Inilah untuk pertama kalinya dalam sejarah Muhammadiyah dirumuskan secara resmi tafsir Al-Quran yang selaras dengan prinsip toleransi, pluralisme, kerja sama antarumat beragama, dan ahl al-Kitab.

Kejayaan Muhammadiyah liberal makin bersinar terang di bawah kepemimpinan Syafi'i Ma'arif—murid pemikir muslim liberal asal Pakistan, Fazlur Rahman, di Universitas Chicago. Kader-kader mudanya diberi ruang gerak yang sebebas-bebasnya untuk menafsirkan Islam secara progresif dan liberal. Kontestasi terbuka antara sayap liberal dan anti-liberal terjadi di tubuh Muhammadiyah sendiri, tidak melalui fisik tentu saja, tetapi melalui wacana dan kontra-wacana.

Sebagai nakhoda baru Muhammadiyah, Din Syamsuddin seyogianya bersikap bijaksana dalam mengelola sayap liberal dan anti-liberal ini. Jangan sampai terjadi pemanjaan dan represi satu kelompok atas kelompok lain. Kedua sayap itu justru menandakan terjadinya dinamika pluralisme internal dalam tubuh Muhammadiyah. Jika Din sukses mengelola pluralisme internal ini, Muhammadiyah akan menjadi kekuatan luar biasa sebagai "laboratorium pemikiran" yang mencerahkan umat dan bangsa.

No comments:

Post a Comment