Oleh AHMAD FUAD FANANI
FATWA resmi Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah yang mendukung pencalonan Amien Rais hingga sekarang masih terus menjadi perdebatan. Banyak kalangan menganggap, bahwa fatwa itu merupakan bentuk politisasi Muhammadiyah. Dengan begitu, Muhammadiyah kehilangan independensi dan elan vitalnya sebagai gerakan kultural dan tenda bangsa. Sebab, dukungan terhadap Amien Rais, secara implisit juga menyerukan secara moral untuk mengantarkan suksesnya syarat administrasi pencalonan itu. Artinya, PAN sebagai partai yang resmi mencalonkan Amien Rais, sudah seharusnya mencapai kuota perolehan suara 3% atau lebih dalam pemilu legislatif.
Namun, sebagian besar pengurus Muhammadiyah tetap berteguh pada keputusan resmi itu. Menurut mereka, dukungan itu merupakan bentuk pembelajaran politik kepada masyarakat agar memilih pemimpin yang tidak punya beban masa lalu, tidak terlibat KKN, serta punya visi ke depan. Dan sosok itu, menurut mereka ada pada diri seorang Amien Rais. Amien juga dianggap sebagai tokoh yang mampu memperjuangkan kelanjutan reformasi dan penyelamatan transisi bangsa ini. Oleh karenanya, Amien Rais yang pernah menjadi Ketua PP Muhammadiyah dan dianggap sebagai salah satu kader terbaiknya, sudah sepantasnya untuk didukung.
Sebetulnya, dorongan kepada Muhammadiyah untuk memberikan dukungan resmi pada Amien Rais, sudah bergulir sejak Tanwir Januari 2002 di Bali. Selanjutnya, dukungan itu didesakkan kembali pada Tanwir di Makassar pada Juni 2003. Akan tetapi, pada kedua momen penting itu, tarik- menarik antara dua kubu masih terjadi dan belum diketahui siapa pemenangnya. Maka, keluarnya putusan resmi itu pada Sidang Pleno Diperluas pada 9-11 Februari kemarin, dianggap sebagai kemenangan "mazhab politik" di Muhammadiyah. Tidak bisa dipungkiri, bahwa sebagian besar pengurus wilayah dan daerah Muhammadiyah, banyak yang merangkap menjadi pengurus PAN. Oleh karenanya, wajar jika upaya memberikan dukungan resmi itu terus mereka perjuangkan dan akhirnya mencapai kemenangan.
Pergeseran "khittah"
Pada dasarnya, kemenangan "mazhab politik" di Muhammadiyah itu, sangat memberikan implikasi tidak bagus pada persyarikatan ini. Sebab, dukungan itu secara tidak langsung menganggap bahwa kader Muhammadiyah selain Amien Rais tidak mempunyai track record dan visi sebagus dia. Artinya, bila ada kader Muhammadiyah lain yang juga mencalonkan presiden, akan dianggap sebagai figur sempalan saja.
Juga tidak bisa dipungkiri pasti berdampak pada penganaktirian kader Muhammadiyah yang aktif di partai politik lain (baca- selain PAN). Padahal, khittah politik Muhammadiyah sudah diputuskan Tanwir Makassar 1971 (forum tertinggi setelah Muktamar) dan berlaku hingga sekarang. Pada Tanwir itu ditegaskan bahwa menjaga jarak dari semua partai politik membebaskan warganya untuk menyalurkan aspirasi politiknya sesuai pilihan masing-masing. Latar belakang khittah itu bukan tanpa latar belakang sejarah.
Khittah itu lahir setelah Muhammadiyah yang turut serta mendirikan Parmusi (Partai Muslim Indonesia) yang pada awalnya diniatkan sebagai rehabilitasi politik Masyumi, mengalami kekecewaan. Kekecewaan itu disebabkan intervensi pemerintah yang sangat besar dan terjadinya konflik antarkader Muhammadiyah sendiri. Konflik antara Djarnawi Hadikusumo-Lukman Harun dan H.M.S. Mintaredja, tentu tidak bisa dilupakan begitu saja. Pengalaman Muhammadiyah ketika menjadi anggota istimewa Masyumi, juga menyebabkan kader-kader lainnya seperti Supeni dan Roeslan Abdulgani yang aktif di PNI, menjadi teranaktirikan. Maka, sangat ironis jika forum yang lebih rendah dari Tanwir (Sidang Pleno diperluas), justru digunakan untuk menganulir keputusan resmi itu.
Selain pengingkaran terhadap keputusan Tanwir 1971, dukungan resmi Muhammadiyah itu juga tidak sesuai dengan dasar-dasar politik Muhammadiyah yang telah diletakkan oleh Mas Mansyur pada Tanwir 1939. Isi rumusan itu adalah bahwa meski politik itu penting, bidang itu tidak menjadi garapan Muhammadiyah; Maka, jika kader Muhammadiyah ingin berjuang di bidang itu harus menyalurkan lewat wadah lain yang tidak punya hubungan kelembagaan dengan Muhammadiyah; Dan perjuangan itu hendaknya juga bekerja sama denga kekuatan umat yang lainnya. Jadi, meski setelah gencar mendapat kritikan dari berbagai kalangan akhir-akhir ini para pengurus Muhammadiyah menganggap bahwa dukungan itu hanya sebatas dukungan moral atau semacam kearifan lokal, namun kejelasan teks putusan itu sangat menyuratkan (menampakkan secara vulgar) langkah politik Muhammadiyah.
Terlebih lagi, Din Syamsuddin sebagai Wakil Ketua PP Muhammadiyah, pernah mengatakan bahwa setelah menyatakan dukungan kepada Amien Rais, Muhammadiyah mengundang organisasi keagamaan Islam dan yang lain, untuk memberikan dukungan. Din juga menambahkan, masyarakat yang lain juga diserukan untuk mendukung pencalonan itu (Republika, 11 Februari 2004). Secara implisit, dengan undangan dan seruan itu, Muhammadiyah sekarang ini seakan menjadi tim sukses Amien Rais dan Buya Syafi'i menjadi manajer kampanye yang mengomandani tim tersebut. Padahal, dengan menjadi tim sukses itu, Muhammadiyah hanya akan menjadi bonsai politik dari partai tertentu yang sebetulnya lebih kecil peran dan sumbangannya terhadap bangsa dibanding Muhammadiyah.
Ketika Muhammadiyah pada Tanwir Bali 2002 dan Makassar 2003 berhasil membendung aspirasi sebagian warga untuk menyebutkan dukungan nama kadernya sebagai kandidat presiden, hal itu telah melegakan dan membahagiakan banyak kader dam pihak lain. Saat itu, kepercayaan masyarakat pada Muhammadiyah yang independen dan sebagai tenda bangsa bertambah besar. Dan figur Buya Syafi'i Ma'arif sebagai Ketua PP Muhammadiyah dan guru bangsa yang tidak tergoda pada politik praktis pun, menjulang dan harum di mana-mana. Namun, dengan akibat kegagapan dan syahwat politik sebagian pengurusnya itu, Muhammadiyah menjadi tidak berbeda dengan NU yang gencar mendukung PKB. Lantas kepada siapa lagi kita mencari ormas yang independen secara politik?
Konsistensi perjuangan
Muhammadiyah pada dasarnya adalah gerakan dakwah keagamaan dan sosial yang ditujukan pada semua manusia. Latar belakang kelahirannya pun, lebih banyak didasarkan pada faktor keagamaan, pendidikan, dan sosial. Meskipun faktor politik untuk mengusir kolonial ada, tapi hal itu tidaklah dalam porsi yang besar. Sejak awal, para tokoh Muhammadiyah seperti Kiai Ahmad Dahlan, lebih memercayakan aspirasi politiknya kepada Syarikat Islam dan Boedi Oetomo. Dari situ tampak jelas, bahwa fokus Muhammadiyah bukanlah pada politik kekuasaan, tapi lebih pada dakwah sosial, keagamaan, dan pendidikan (Deliar Noer, 1982).
Maka, dukungan resmi Muhammadiyah yang telanjur dikeluarkan itu seharusnya ditinjau ulang. Atau, paling tidak Muhammadiyah mengundang kadernya, baik yang pro maupun kontra untuk mecari solusi alternatif agar tidak terjadi kebuntuan politik dan organisatoris. Bila pada waktu sebelumnya Muhammadiyah mampu menjalankan perannya sebagai tenda bangsa, kenapa terjadi konflik intern di kalangan warganya, mestinya peran tersebut dimunculkan kembali. Dengan begitu, Muhammadiyah bisa memberikan penjelasan yang tidak sepihak kepada publik akan dukungannya tersebut. Dan kader yang aktif di partai lain, setidaknya sedikit terobati kekecewaannya.
Bila hal itu tidak dilakukan, Muhammadiyah hanya akan menjadi kekuatan hegemoni baru yang menindas aspirasi para kadernya yang tidak sepakat. Wajah politik Muhammadiyah akan mengental dan wajah kulturalnya lambat laun akan dilupakan orang. Harus disadari, bahwa orang yang paling ber-Muhammadiyah bukan hanya mereka yang menjadi pengurus resmi organisasi ini. Sebab, banyak juga orang-orang di luar struktur yang mempunyai komitmen yang tidak diragukan terhadap Muhammadiyah. Yang diperlukan saat ini adalah bukan hanya merasa "memiliki" Muhammadiyah, tapi bagaimana "menjadi" Muhammadiyah dan menyumbang peran terhadap proses demokrasi dan penegakan keadilan sosial.
Sebagai organisasi sosial dan keagamaan, Muhammadiyah seharusnya lebih peka dan aktif memajukan konsep dan paradigma gerakan yang selama ini ditekuninya. Jangan sampai, godaan Pemilu 2004 yang kadang banyak menggiurkan orang itu, agenda utama Muhammadiyah menjadi terbengkalai. Politik harus tetap menjadi perhatian Muhammadiyah, tapi tentunya bukan politik praktis dan dukung mendukung dengan partai tertentu. Perhatian utama harus tetap lebih diarahkan ke persoalan dakwah, pendidikan, dan pengembangan masyarakat. Wallahu A'lam.***
Penulis, aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM).
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment