Jumat, 8 Februari 2002
Oleh Abd Rohim Ghazali
POLITIK mengatakan: Si A adalah kawan, si B adalah lawan. Dakwah mengoreksi: Si A adalah kawan, si B adalah sahabat. Politik cenderung berpecah dan memecah, dakwah merangkul dan mempersatukan," demikian antara lain kutipan pidato iftitah yang disampaikan Ketua PP Muhammadiyah, Prof Dr Ahmad Syafii Ma'arif pada Tanwir-semacam Rakernas-Muhammadiyah di Bali, 24-27 Januari lalu.
Muhammadiyah adalah organisasi dakwah, bukan politik. Dan, Syafii Ma'arif tampaknya ingin menegaskan betapa kontrasnya perbedaan antara dunia politik dan dakwah. Yang satu "cenderung berpecah dan memecah," yang lain "merangkul dan mempersatukan."
Persolannya, baik dakwah maupun politik, bukan entitas otonom yang bisa berdiri sendiri. Dakwah baru bisa konstruktif ketika diimplementasikan dalam realitas kehidupan sehari-hari. Demikian juga politik. Lalu, sebagai organisasi dakwah yang tentu akan bergumul dengan realitas, bisakah Muhammadiyah hanya berurusan dengan (tugas-tugas) dakwah dan tidak dengan (urusan) politik? Tampaknya tidak bisa. Karena (1) KH Ahmad Dahlan melahirkan Muhammadiyah pada 18 November 1912, motivasinya antara lain sebagai manifestasi perjuangan politik pergerakan nasional; (2) dalam sejarahnya, Muhammadiyah pernah bersentuhan langsung dengan politik (antara lain sebagai anggota istimewa partai Masyumi); dan (3) sebagian besar anggota dan aktivis Muhammadiyah dari masa ke masa juga (merangkap) sebagai anggota dan aktivis partai politik.
Karena ketiga sebab itulah, Tanwir yang bertema nonpolitis (Dakwah Kultural untuk Pencerahan Bangsa) akhirnya melahirkan salah satu butir keputusan untuk "memperjuangkan kader terbaiknya untuk menjadi pemimpin nasional" (Kompas, 28/1). Di antara para pengamat dan pers bahkan ada yang secara tegas mempersonifikasi "kader terbaik" itu dengan Amien Rais, dan memaknai pemimpin nasional sebagai "kursi kepresidenan". Maka, koran Tempo (28/1) pun menulis judul headline (berita utama) yang amat mencolok: "Muhammadiyah Incar Kursi Presiden". Suatu pesan yang amat politis.
Pada tataran historis, tampaknya mustahil memisahkan Muhammadiyah dari hiruk-pikuk kepentingan politik. Inilah persoalan krusial yang senantiasa dihadapi Muhammadiyah dari sejak berdirinya hingga kini. Pasalnya, meski senantiasa mengalami perubahan kata dan kalimat, sejak awal, tujuan utama gerakan Muhammadiyah adalah "terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya". Bagaimana cara mewujudkan masyarakat Islam itu? Dalam sejarah Muhammadiyah, secara garis besar terbagi dalam dua mazhab. Pertama, mazhab struktural, yaitu mereka yang menginginkan melalui jalur politik. Kedua, mazhab kultural, yang menginginkannya melalui jalur nonpolitik seperti pendidikan, kesehatan masyarakat, dan program pemberdayaan fakir miskin melalui panti asuhan.
Memang, antara kedua mazhab itu, pada faktanya sulit dipisahkan, tetapi dengan menyimak pandangan dan langkah-langkahnya, kiranya bisa dilihat jelas, tokoh-tokoh Muhammadiyah seperti Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Kahar Muzakkir, Kasman Singodimedjo, dan (tentu saja) Amien Rais, adalah di antara tokoh-tokoh Muhammadiyah yang amat menonjolkan mazhab struktural. Sedangkan Ahmad Badawi, AR Fachruddin, Ahmad Azhar Basyir, dan Ahmad Syafii Ma'arif, adalah di antara tokoh-tokoh yang lebih menonjolkan mazhab kultural.
PERTANYAANNYA kini, mengapa Muhammadiyah justru lebih menampilkan wajah strukturalnya saat dipimpin Syafii Ma'arif yang berorientasi kultural? Ini bisa dipahami karena pertama, pembaruan dan rasionalisasi faham keagamaan yang diusung Muhammadiyah telah membuat pola hubungan patron-client yang tidak begitu kuat. Dalam mekanisme kerja Muhammadiyah, pendapat seorang ketua misalnya, tidak harus diikuti bawahannya.
Kedua, sejak berdirinya Partai Amanat Nasional (PAN), 23 Agustus 1998, telah terjadi eksodus besar-besaran aktivis dan kader Muhammadiyah ke PAN. Bahkan, banyak di antaranya yang merangkap jabatan, sehingga wajar bila ternyata peserta Tanwir Muhammadiyah di Bali itu agak mirip dengan peserta Rakernas PAN yang berlangsung-juga di Bali-April tahun lalu. Karena itu, amat wajar bila umumnya peserta Tanwir menginginkan Muhammadiyah (ikut) memperjuangkan Amien Rais menjadi presiden.
Berimpitnya keanggotaan (konstituen) antara Muhammadiyah dan PAN inilah kiranya yang menjadi penyebab utama (akan) menguatnya peran mazhab gerakan struktural dalam Muhammadiyah-minimal hingga tahun 2004. Dengan demikian, akankah berarti Muhammadiyah "cenderung berpecah dan memecah," daripada "merangkul dan mempersatukan?" Memang, ketika Muhammadiyah memperjuangkan kadernya untuk duduk di kursi kepresidenan, tentu akan ada hambatan bagi Muhammadiyah untuk merangkul komponen bangsa yang lain, manakala komponen bangsa itu memiliki kadernya sendiri yang juga diperjuangkan untuk menduduki kursi kepresidenan.
Namun, hal itu tentu bukan berarti menutup sama sekali kemungkinan Muhammadiyah untuk tetap "merangkul dan mempersatukan". Peluang itu tetap terbuka lebar sepanjang Muhammadiyah mampu menghambat dominasi gerakan strukturalnya dengan cara-cara: Pertama, membuka diri seluas-luasnya. Dalam berdakwah misalnya, Muhammadiyah harus bisa menyantuni semua kalangan tanpa membedakan suku, agama, dan identitas primordial lain.
Gerakan moral kebersamaan untuk membangun masa depan bangsa yang telah dirintis Syafii Ma'arif dengan merangkul Ketua Umum Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (NU), Hasyim Muzadi, dan tokoh-tokoh agama yang lain (termasuk non-Muslim) merupakan langkah konstruktif yang perlu diimplementasikan dalam langkah-langkah yang lebih strategis dan praktis.
Kedua, perlu disadari, sejak lengsernya rezim otoritarian di bawah Soeharto, kekuatan-kekuatan politik sudah mencair: tidak lagi terpusat pada negara (baca: presiden), tetapi (lebih) pada komponen-komponen masyarakat yang mampu mengadvokasi kepentingan publik. Karena itu, mengincar kursi kepresidenan bukan jalan terpenting untuk "mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya". Yang paling penting adalah bagaimana Muhammadiyah mampu memberdayakan rakyat yang senantiasa menjadi korban dalam setiap dinamika sosial politik, terutama dalam proses pertarungan merebut kekuasaan.
Ketiga, bila dicermati, inti dari gerakan "pengislaman" adalah pembebasan manusia dari setiap kekuatan yang menistakannya. Karena itu, gerakan advokasi dan pemberdayaan rakyat kiranya harus senantiasa dijadikan prioritas dalam gerakan dakwah Muhammadiyah.
* Abd Rohim Ghazali, aktivis Lembaga Hikmah PP Muhammadiyah, mahasiswa pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment