Islamlib.com, 24/07/2005
Sidang Pleno II Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dibawah kepemimpinan Dien Syamsuddin pada 17 Juli 2005 akhirnya memutuskan bahwa tidak ada satu perempuan pun dalam susunan kepengurusan periode 2005-2010. Ada banyak asumsi, tentu saja, mengapa wakil perempuan tidak ikut serta dalam Muktamar. Kondisi ini bagi Muhammadiyah tentu saja merupakan satu kemunduran besar.
****
Sidang Pleno II Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dibawah kepemimpinan Dien Syamsuddin pada 17 Juli 2005 akhirnya memutuskan bahwa tidak ada satu perempuan pun dalam susunan kepengurusan periode 2005-2010. Keputusan ini sama sekali tidak mengejutkan dan hanya menjadi potret mini dari apa yang terjadi dalam Muktamar Muhammadiyah ke-45 di UMM (Universitas Muhammadiyah Malang), 3-8 Juli 2005. Selama berlangsungnya Muktamar, resistensi warga Muhammadiyah, baik di tingkat pusat maupun daerah, terhadap perempuan memang terasa cukup kuat.
Menurut catatan seorang peserta dari Jawa Tengah, M. Abduh Hisyam, dari 35 PDM (Pimpinan Daerah Muhammadiyah), hanya 8 PDM saja yang mengikutsertakan perempuan dalam Muktamar di Malang itu. Padahal, organisasi Islam modernis ini sudah mewajibkan kepada masing-masing PDM untuk mengikutsertakan satu orang perempuan sebagai peserta Muktamar. Bagi Hisyam, kondisi ini merupakan cermin keengganan kaum bapak di Muhammadiyah untuk duduk setara dengan perempuan.
Penentangan warga Muhammadiyah terhadap gender equality terlihat lebih nyata ketika dalam pemilihan 39 calon Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah periode 2005-2010, tak ada satu pun nama perempuan yang terpilih. Siti Chamamah Suratno, mantan Ketua Umum Aisyiyah (organisasi ibu-ibu Muhammadiyah) yang sekarang kembali terpilih untuk memimpin organisasi tersebut, nyaris masuk 39 besar. Ia menempati urutan ke-40 dan hanya berselisih satu suara dari Prof Syafri Sairin dari Yogayakarta yang menempati urutan ke-39. Terpentalnya nama Chamamah ini, mungkin, merupakan konsekuensi logis dari minimnya utusan perempuan dalam Muktamar.
Ada banyak asumsi, tentu saja, mengapa wakil perempuan tidak ikut serta dalam Muktamar. Misalnya, tidak ada atau tidak bersedianya perempuan yang hendak diutus untuk berpartisipasi dalam Muktamar. Namun yang paling menarik bagi saya bukanlah jumlah perempuan yang hadir atau ada dan tidak adanya perempuan yang menjadi perwakilan dari PDM dalam Muktamar, tapi sikap dan keputusan yang diambil oleh orang-orang Muhammadiyah terhadap kaum hawa ini.
Pada tanwir-tanwir (forum tertinggi kedua) Muhammadiyah semasa kepemimpinan Ahmad Syafii Maarif, 2000-2005, peluang perempuan untuk duduk menjadi salah satu pimpinan Muhammadiyah dibuka lebar-lebar. Bahkan, mereka mendapat kuota khusus jika ternyata tidak ada satu nama perempuan pun yang masuk dalam daftar 13 pimpinan eksekutif organisasi terbesar kedua di Indonesia ini. Sayangnya, dalam sidang di Komisi C (AD/ART Muhammadiyah), gagasan untuk memasukkan perempuan menjadi salah satu pimpinan Muhammadiyah periode mendatang mendapat penolakan sangat keras dari para peserta sidang. Bahkan dalam sidang pleno ada peserta yang berteriak, “Jika perempuan sekarang ini diberi kuota untuk masuk pimpinan saat ini meski tak ada yang memilih, maka nantinya mereka akan meminta jatah menjadi ketua umum.” Akhirnya, dalam Muktamar ini, keputusan tanwir yang memberikan peluang kepada perempuan untuk duduk setara dengan laki-laki dalam pimpinan pusat Muhammadiyah ditunda.
Kondisi ini bagi Muhammadiyah tentu saja merupakan satu kemunduran besar. Seusai sidang Komisi, Amin Abdullah, mantan ketua Muhammadiyah yang juga rektor UIN (Universitas Islam Negeri) Yogyakarta, menyebutkan bahwa keputusan-keputusan Muhammadiyah pada tahun 1960-1970-an sudah memberi kesempatan kepada perempuan untuk menduduki jabatan ketua. Amin melanjutkan bahwa dirinya bahkan sudah menunjukkan buku hasil Muktamar tahun-tahun lampau itu kepada orang-orang yang menentang perempuan menjadi ketua. Namun tetap saja pandangan mereka tak berubah.
Tidak adanya perempuan dalam pimpinan Muhammadiyah adalah satu kasus. Kasus lain yang lebih menyedihkan adalah sikap-sikap para peserta terhadap orang-orang perempuan yang mencoba menyampaikan pendapat-pendapatnya. Teriakan “huuu,” teror kata-kata atau ungkapan tidak sopan seringkali muncul ketika seorang perempuan mencoba menyampaikan pandangannnya dalam beberapa sidang pleno. Memang, banyak diduga bahwa orang-orang yang tidak santun itu adalah para penyusup yang sengaja hadir untuk mengacau dan menciptakan citra buruk bagi Muhammadiyah. Namun dugaan ini agak sulit dibuktikan karena keanggotaan organisasi ini sangat lentur. Orang bisa aktif atau berpartisipasi lebih dari dua organisasi kemasyarakatan, menjadi aktivis Muhammadiyah sekaligus aktivis organisasi garis keras.
Akar-akar Ketimpangan Gender
Pemisahan antara Muhammadiyah dan Aisyiah, antara Pemuda Muhammadiyah (PM) dan Nasyiatul Aisyiyah (NA) --juga antara Pemuda Anshor dan Fatayat NU, adalah bagian dari segregasi laki-laki dan perempuan yang mengokohkan dominasi laki-laki atas perempuan. Pembedaan organisasi itu juga merupakan bukti kuat adanya keyakinan bahwa tugas laki-laki dan perempuan adalah berbeda, perempuan berada dalam sektor domestik dan pendidikan, sementara laki-laki memiliki kawasan yang lebih luas. Segregasi organisasi ini merupakan satu dari akar-akar tempat berpijak dan tumbuh-berkembangnya paradigma lama tentang gender inequality, bahwa wilayah laki-laki dan perempuan tidaklah sama dalam segala hal dan karena itu harus dipisahkan. Segregasi organisasi ini lantas berimbas pada pembagian lapangan kerja, pendidikan, jabatan dan sebagainya.
Langkah awal untuk mendobrak segregasi ini adalah dengan meleburkan kedua organisasi itu menjadi satu. Laki-laki tidak hanya mengurus laki-laki dan perempuan tidak hanya mengurus perempuan. Jika kedua organisasi yang segregatif itu hendak dipertahankan, paling tidak landasan keberadaannya harus diubah sehingga sejalan dengan kesadaran kesetaraan gender. Konsekuensinya, harus dibuka peluang bagi laki-laki untuk masuk dalam organisasi perempuan dan sebaliknya, perempuan masuk dalam organisasi laki-laki.
Bagi kelompok konservatif Muhammadiyah, adanya Aisyiah, sebagai sister organization dari Muhammadiyah, adalah menjadi satu dari beberapa alasan penolakan mereka terhadap pemberian kuota perempuan dalam kepemimpinan Muhammadiyah. Mereka berargumen bahwa jika perempuan ingin menjadi pimpinan Muhammadiyah, maka langkah pertama yang harus mereka ambil adalah membubarkan dulu organisasi Aisyiah-nya, baru setelah itu bersama-sama berkompetisi dalam perebutan kepemimpinan.
Kekalahan Kubu Liberal
Batalnya kuota perempuan dalam Muktamar ke-45 ini merupakan satu dari sekian tanda-tanda dari kekalahan kelompok atau gagasan liberal dalam organisasi modernis ini. Kekalahan ini akan semakin komplit jika nanti Muhammadiyah betul-betul mendukung penerapan syariat Islam di Indonesia. Jika hal itu terjadi, maka harapan perempuan untuk duduk setara dengan laki-laki dalam pimpinan Muhammadiyah akan sangat mungkin menjadi terkubur dalam-dalam di dalam mimpi. Seperti banyak terjadi dalam kasus penerapan syariat Islam, perempuan lebih sering menjadi korban daripada mendapatkan manfaat dari gerakan ini.
Memang sudah lama diduga bahwa kubu konservatif dan fundamental merupakan suara mayoritas dalam gerakan Muhammadiyah. Fenomana Muktamar ini benar-benar menjadi semacam gong atau loudspeaker bahwa dugaan itu nyata adanya. Selain masalah perempuan, Muktamar kali ini juga melahirkan keputusan-keputasan yang berseberangan dengan gagasan-gagasan liberalisme.
Komisi A (Umum) mengusulkan sesuatu yang mengejutkan. Majlis Tarjih yang ketika dipimpin oleh Amin Abdullah ditambah dengan kata-kata “dan Pengembangan Pemikiran Islam” pun kini digugat. Tambahan 4 (empat) kata tersebut dituntut untuk dibuang. Selanjutnya, Majlis ini dikembalikan kepada nama lamanya, yaitu “Majlis Tarjih” saja. Seirama dengan itu, Komisi D juga memunculkan gejala-gejala pemangkasan terhadap gagasan-gagasan liberalisme. Salah satu peserta di Komisi ini menginginkan agar PP Muhammadiyah membubarkan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), atau paling tidak menghilangkan huruf M (Muhammadiyah) dari namanya.
Kini Muhammadiyah sudah berubah. Bila dulu ia dianggap sebagai negara bagi kaum konservatif-radikal, kini ia bisa menjadi surga atau rumah yang nyaman bagi orang-orang garis keras. Mungkin benar apa yang pernah “diramalkan” oleh M.C. Ricklefs (profesor dari Universitas Melbourne), bahwa menjelang umurnya yang seabad ini, Muhammadiyah sepertinya akan mengalami the real split. Kini para pengamat dan peneliti tentang Indonesia harus lebih hati-hati dalam membaca Islam di negeri ini, apakah Muhammadiyah masih bisa dikategorikan sebagai Islam yang menyejukkan atau tidak. Masih terlalu dini, memang, untuk menilai nasib Muhammadiyah periode 2005-2010. Namun setidaknya fenomena Muktamar ke-45 bisa digunakan sebagai langkah awal untuk membaca era baru Muhammadiyah. Wallahu a’lam.[]
Ahmad Najib Burhani, Peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), aktivis Pemuda Muhammadiyah
Retrieved from: http://islamlib.com/id/artikel/perempuan-dan-liberalisme-di-muhammadiyah/
Sidang Pleno II Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dibawah kepemimpinan Dien Syamsuddin pada 17 Juli 2005 akhirnya memutuskan bahwa tidak ada satu perempuan pun dalam susunan kepengurusan periode 2005-2010. Ada banyak asumsi, tentu saja, mengapa wakil perempuan tidak ikut serta dalam Muktamar. Kondisi ini bagi Muhammadiyah tentu saja merupakan satu kemunduran besar.
****
Sidang Pleno II Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dibawah kepemimpinan Dien Syamsuddin pada 17 Juli 2005 akhirnya memutuskan bahwa tidak ada satu perempuan pun dalam susunan kepengurusan periode 2005-2010. Keputusan ini sama sekali tidak mengejutkan dan hanya menjadi potret mini dari apa yang terjadi dalam Muktamar Muhammadiyah ke-45 di UMM (Universitas Muhammadiyah Malang), 3-8 Juli 2005. Selama berlangsungnya Muktamar, resistensi warga Muhammadiyah, baik di tingkat pusat maupun daerah, terhadap perempuan memang terasa cukup kuat.
Menurut catatan seorang peserta dari Jawa Tengah, M. Abduh Hisyam, dari 35 PDM (Pimpinan Daerah Muhammadiyah), hanya 8 PDM saja yang mengikutsertakan perempuan dalam Muktamar di Malang itu. Padahal, organisasi Islam modernis ini sudah mewajibkan kepada masing-masing PDM untuk mengikutsertakan satu orang perempuan sebagai peserta Muktamar. Bagi Hisyam, kondisi ini merupakan cermin keengganan kaum bapak di Muhammadiyah untuk duduk setara dengan perempuan.
Penentangan warga Muhammadiyah terhadap gender equality terlihat lebih nyata ketika dalam pemilihan 39 calon Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah periode 2005-2010, tak ada satu pun nama perempuan yang terpilih. Siti Chamamah Suratno, mantan Ketua Umum Aisyiyah (organisasi ibu-ibu Muhammadiyah) yang sekarang kembali terpilih untuk memimpin organisasi tersebut, nyaris masuk 39 besar. Ia menempati urutan ke-40 dan hanya berselisih satu suara dari Prof Syafri Sairin dari Yogayakarta yang menempati urutan ke-39. Terpentalnya nama Chamamah ini, mungkin, merupakan konsekuensi logis dari minimnya utusan perempuan dalam Muktamar.
Ada banyak asumsi, tentu saja, mengapa wakil perempuan tidak ikut serta dalam Muktamar. Misalnya, tidak ada atau tidak bersedianya perempuan yang hendak diutus untuk berpartisipasi dalam Muktamar. Namun yang paling menarik bagi saya bukanlah jumlah perempuan yang hadir atau ada dan tidak adanya perempuan yang menjadi perwakilan dari PDM dalam Muktamar, tapi sikap dan keputusan yang diambil oleh orang-orang Muhammadiyah terhadap kaum hawa ini.
Pada tanwir-tanwir (forum tertinggi kedua) Muhammadiyah semasa kepemimpinan Ahmad Syafii Maarif, 2000-2005, peluang perempuan untuk duduk menjadi salah satu pimpinan Muhammadiyah dibuka lebar-lebar. Bahkan, mereka mendapat kuota khusus jika ternyata tidak ada satu nama perempuan pun yang masuk dalam daftar 13 pimpinan eksekutif organisasi terbesar kedua di Indonesia ini. Sayangnya, dalam sidang di Komisi C (AD/ART Muhammadiyah), gagasan untuk memasukkan perempuan menjadi salah satu pimpinan Muhammadiyah periode mendatang mendapat penolakan sangat keras dari para peserta sidang. Bahkan dalam sidang pleno ada peserta yang berteriak, “Jika perempuan sekarang ini diberi kuota untuk masuk pimpinan saat ini meski tak ada yang memilih, maka nantinya mereka akan meminta jatah menjadi ketua umum.” Akhirnya, dalam Muktamar ini, keputusan tanwir yang memberikan peluang kepada perempuan untuk duduk setara dengan laki-laki dalam pimpinan pusat Muhammadiyah ditunda.
Kondisi ini bagi Muhammadiyah tentu saja merupakan satu kemunduran besar. Seusai sidang Komisi, Amin Abdullah, mantan ketua Muhammadiyah yang juga rektor UIN (Universitas Islam Negeri) Yogyakarta, menyebutkan bahwa keputusan-keputusan Muhammadiyah pada tahun 1960-1970-an sudah memberi kesempatan kepada perempuan untuk menduduki jabatan ketua. Amin melanjutkan bahwa dirinya bahkan sudah menunjukkan buku hasil Muktamar tahun-tahun lampau itu kepada orang-orang yang menentang perempuan menjadi ketua. Namun tetap saja pandangan mereka tak berubah.
Tidak adanya perempuan dalam pimpinan Muhammadiyah adalah satu kasus. Kasus lain yang lebih menyedihkan adalah sikap-sikap para peserta terhadap orang-orang perempuan yang mencoba menyampaikan pendapat-pendapatnya. Teriakan “huuu,” teror kata-kata atau ungkapan tidak sopan seringkali muncul ketika seorang perempuan mencoba menyampaikan pandangannnya dalam beberapa sidang pleno. Memang, banyak diduga bahwa orang-orang yang tidak santun itu adalah para penyusup yang sengaja hadir untuk mengacau dan menciptakan citra buruk bagi Muhammadiyah. Namun dugaan ini agak sulit dibuktikan karena keanggotaan organisasi ini sangat lentur. Orang bisa aktif atau berpartisipasi lebih dari dua organisasi kemasyarakatan, menjadi aktivis Muhammadiyah sekaligus aktivis organisasi garis keras.
Akar-akar Ketimpangan Gender
Pemisahan antara Muhammadiyah dan Aisyiah, antara Pemuda Muhammadiyah (PM) dan Nasyiatul Aisyiyah (NA) --juga antara Pemuda Anshor dan Fatayat NU, adalah bagian dari segregasi laki-laki dan perempuan yang mengokohkan dominasi laki-laki atas perempuan. Pembedaan organisasi itu juga merupakan bukti kuat adanya keyakinan bahwa tugas laki-laki dan perempuan adalah berbeda, perempuan berada dalam sektor domestik dan pendidikan, sementara laki-laki memiliki kawasan yang lebih luas. Segregasi organisasi ini merupakan satu dari akar-akar tempat berpijak dan tumbuh-berkembangnya paradigma lama tentang gender inequality, bahwa wilayah laki-laki dan perempuan tidaklah sama dalam segala hal dan karena itu harus dipisahkan. Segregasi organisasi ini lantas berimbas pada pembagian lapangan kerja, pendidikan, jabatan dan sebagainya.
Langkah awal untuk mendobrak segregasi ini adalah dengan meleburkan kedua organisasi itu menjadi satu. Laki-laki tidak hanya mengurus laki-laki dan perempuan tidak hanya mengurus perempuan. Jika kedua organisasi yang segregatif itu hendak dipertahankan, paling tidak landasan keberadaannya harus diubah sehingga sejalan dengan kesadaran kesetaraan gender. Konsekuensinya, harus dibuka peluang bagi laki-laki untuk masuk dalam organisasi perempuan dan sebaliknya, perempuan masuk dalam organisasi laki-laki.
Bagi kelompok konservatif Muhammadiyah, adanya Aisyiah, sebagai sister organization dari Muhammadiyah, adalah menjadi satu dari beberapa alasan penolakan mereka terhadap pemberian kuota perempuan dalam kepemimpinan Muhammadiyah. Mereka berargumen bahwa jika perempuan ingin menjadi pimpinan Muhammadiyah, maka langkah pertama yang harus mereka ambil adalah membubarkan dulu organisasi Aisyiah-nya, baru setelah itu bersama-sama berkompetisi dalam perebutan kepemimpinan.
Kekalahan Kubu Liberal
Batalnya kuota perempuan dalam Muktamar ke-45 ini merupakan satu dari sekian tanda-tanda dari kekalahan kelompok atau gagasan liberal dalam organisasi modernis ini. Kekalahan ini akan semakin komplit jika nanti Muhammadiyah betul-betul mendukung penerapan syariat Islam di Indonesia. Jika hal itu terjadi, maka harapan perempuan untuk duduk setara dengan laki-laki dalam pimpinan Muhammadiyah akan sangat mungkin menjadi terkubur dalam-dalam di dalam mimpi. Seperti banyak terjadi dalam kasus penerapan syariat Islam, perempuan lebih sering menjadi korban daripada mendapatkan manfaat dari gerakan ini.
Memang sudah lama diduga bahwa kubu konservatif dan fundamental merupakan suara mayoritas dalam gerakan Muhammadiyah. Fenomana Muktamar ini benar-benar menjadi semacam gong atau loudspeaker bahwa dugaan itu nyata adanya. Selain masalah perempuan, Muktamar kali ini juga melahirkan keputusan-keputasan yang berseberangan dengan gagasan-gagasan liberalisme.
Komisi A (Umum) mengusulkan sesuatu yang mengejutkan. Majlis Tarjih yang ketika dipimpin oleh Amin Abdullah ditambah dengan kata-kata “dan Pengembangan Pemikiran Islam” pun kini digugat. Tambahan 4 (empat) kata tersebut dituntut untuk dibuang. Selanjutnya, Majlis ini dikembalikan kepada nama lamanya, yaitu “Majlis Tarjih” saja. Seirama dengan itu, Komisi D juga memunculkan gejala-gejala pemangkasan terhadap gagasan-gagasan liberalisme. Salah satu peserta di Komisi ini menginginkan agar PP Muhammadiyah membubarkan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), atau paling tidak menghilangkan huruf M (Muhammadiyah) dari namanya.
Kini Muhammadiyah sudah berubah. Bila dulu ia dianggap sebagai negara bagi kaum konservatif-radikal, kini ia bisa menjadi surga atau rumah yang nyaman bagi orang-orang garis keras. Mungkin benar apa yang pernah “diramalkan” oleh M.C. Ricklefs (profesor dari Universitas Melbourne), bahwa menjelang umurnya yang seabad ini, Muhammadiyah sepertinya akan mengalami the real split. Kini para pengamat dan peneliti tentang Indonesia harus lebih hati-hati dalam membaca Islam di negeri ini, apakah Muhammadiyah masih bisa dikategorikan sebagai Islam yang menyejukkan atau tidak. Masih terlalu dini, memang, untuk menilai nasib Muhammadiyah periode 2005-2010. Namun setidaknya fenomena Muktamar ke-45 bisa digunakan sebagai langkah awal untuk membaca era baru Muhammadiyah. Wallahu a’lam.[]
Ahmad Najib Burhani, Peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), aktivis Pemuda Muhammadiyah
Retrieved from: http://islamlib.com/id/artikel/perempuan-dan-liberalisme-di-muhammadiyah/
Menurut saya yang namanya persamaan hak dalam gender itu bukan berarti mendapat jumlah yang sama antara lelaki dan perempuan.
ReplyDeleteKesamaan itu bukan pada jumlah, namun pada kesempatan.
Pria dan wanita sama sama punya kesempatan, namun siapa yang terpilih harus adil.
Ketika kita memaksakan dalam suatu forum, misalnya dalam sebuah kepengurusan jumlah wanita ditentukan jumlahnya. Justru itu sama saja membeda bedakan gender. Ketika kita memaksakan wanita dengan jumlah minimal tertentu untuk berada pada kepengurusan. Hal ini seolah olah kita sudah menganggap remeh wanita dengan menganggap bila kita tidak memberikan kuota khusus pada wanita, wanita tidak akan mendapat posisi di suatu kepengurusan.
Posted by Helmy on 11/22 at 03:48 PM
Saya hanyalah keturunan bapak saya yang Muhammadiyah. Sayapun sempat bersekolah dasar di Muhammadiyah. Saya tidak aktif di berbagai kegiatan Muhammadiyah. Tapi saya mempunyai ketertarikan tersendiri terhadap Islam, termasuk Muhammadiyah. Saya memang mempunyai kecurigaan tersendiri mengenai Muhamadiyah dan kerap berkata bahwa Muhammadiyah memang bukan ‘Islam Ramah’. ‘Penolong’ Muhammadiyah sehingga banyak orang berpikir Muhammadiyah toleran adalah Ahmad Syafii Maarif. Saya memprediksi bahwa wajah Muhammadiyah selama kepemimpinan Din Syamsuddin adalah ‘wajah tegas tak bertoleransi’. Diakui atau tidak oleh orang lain, wajah seperti ini memang bukannya tak tampak selama kepemimpinan A. Syafii M. dan yang saya khawatirkan telah terjadi. Bibit fundamentalisme bersemi di kepemimpinan Din. Din hanya akan membawa Muhammadiyah ke tepi toleransi. Belum lagi kekhawatiran koran2, termasuk bapak saya dan saya, Din akan membawa Muhammadiyah ke gelaggang politik Indonesia.
——-
Posted by Ziggy Stardust on 08/01 at 02:09 PM
Pertarungan arus pemikiran di Muktamar Muhammadiyyah kemarin sangat kontras antara kubu neo konservatif dengan arus baru Liberal. Kekalahan kubu liberal memang sudah diprediksikan karena mainstream pemikiran Muhammadiyyah baik kalangan elit maupun grassroot masih dikuasai pemikiran yang literalis alias konservatif.
ReplyDeletePermasalahn Gender dan segregasi perempuan dalam muktamar kemarin merupakan salah satu “cermin” masih kuatnya konservatisme di Muhammadiyyah. Kubu Konservatif ini merasa gerah dengan tindak-tanduk orang-orang liberal di Muhammadiyyah terutama generasi mudanya dan status sosial mereka merasa terancam.
Jadi wajar mereka melakukan mengcounter dan mensweeping “virus liberal” dalam tubuh Muhammadiyyah. Saya kira umat Muhamadiyyah butuh waktu saja untuk menerima “pembaruan pemikiran” yang dibawa Amin Abdullah Cs, jadi kekalahan kubu liberal kemarin bukan kekalahan telak, hanya batu sanjungan kecil dan soal waktu.
Posted by ginanjar nugraha on 07/27 at 05:08 PM
Saya sangat mendukung tulisan Anda, tetapi ada beberapa ganjalan terutama tentang isu liberalisme di Muhammadiyah. Yang namanya liberal sebenarnya boleh-boleh saja, tetapi yang namanya liberal tidak boleh bebas 100 %. Kalau liberalisme kebablasan (seperti yang diusung oleh anda-dan JIL tentunya) diterapkan di negeri ini otomatis negara kita akan hancur (maaf kalau mengambil contohnya terlalu makro).
Semua rakyat Indonesia bisa menafsirkan semua peraturan sesuai dengan kepentingan mereka masing2. Tentu anda semua tidak menutup mata tentang bobroknya sistem peradilan di negara kita. Hal itu salah satunya adalah disebabkan terlalu bebas(liberalnya) para aparat hukum dalam menafsirkan suatu peraturan. Dan itu pasti juga akan terjadi dalam kehidupan beragama kita (terutama Islam) pada saat ini. Anda mungkin bisa menciptakan penafsiran-penafsiran terhadap hukum2 agama secara modern (setidaknya menurut anda)dan anda juga menghina2 “kawan/lawan” anda (gak tau anda menganggap yang mana)sebagai penganut Islam garis keras, fanatik atau apalah….(padahal anda juga sama seperti mereka)berdasarkan penafsiran2 liberal anda tersebut.
Alkhamdulillah Muhammadiyah menjauhkan diri dari sikap sekuler. Kalau Anda ingin membuat suatu tatanan melalui organisasi yang sekuler kenapa harus memakai nama Islam? (bukankan Islam bukan sekuler?) Masukan : Ganti aja JIL dengan JPL (Jaringan Pemikir Liberal) pasti akan lebih pas dengan jiwa organisasi anda (jadi jangan mendompleng pada nama Islam)
Posted by E. Mariya on 07/27 at 07:07 AM
ReplyDeleteMembaca artikel Sdr. AN Burhani, berjudul Perempuan dan Liberalisme di Muhammadiyah membuat saya sangat kecewa. Saya pikir, selama ini Muhammadiyah adalah suatu organisasi Islam yang terbuka akan perkembangan jaman, melihat begitu banyak kaum intelektual yang terlibat di dalamnya. Namun saya lihat, semakin bertambahnya umur dan berkembangnya organisasi ini malah semakin mundur cara berpikir para anggotanya. Saya sendiri bukanlah orang yang betul-betul hafal dengan isi Al Qur’an, tetapi bukankah Islam menyediakan tempat tersendiri untuk kaum perempuan untuk berkembang bebas, menjadi pintar dan diberikan peluang untuk membawa pembaharuan dalam hidup umat manusia?
Mungkin seharusnya kita manusia mendengarkan nurani dan menjadi lebih peka. Allah menciptakan perempuan utuk mengemban tugas yang sangat mulia di dunia fana ini. Perempuan diberikan begitu banyak kelebihan dari laki-laki; kemampuan untuk melahirkan manusia baru adalah contoh yang paling hakiki. Kemampuan tersebut adalah suatu anugerah Allah untuk membuktikan bahwa perempuan diberikan kesempatan yang sangat besar untuk menunjukkan pengorbanan tertulusnya sebagai seorang umat dengan taruhan nyawa. Saya pikir semua itu terjadi untuk satu alasan yang saya yakin juga positif. Dengan Allah memberikan kepercayaan sebesar itu pada kaum perempuan, bukankah logis bahwa Allah juga pastinya memberikan kapabilitas pada perempuan untuk menjadi seorang pemimpin?
Saya pernah membaca bahwa suatu survey membuktikan bahwa seorang perempuan ternyata lebih mampu untuk menjalankan dua tugas dengan lebih baik di saat yang yang bersamaan dibandingkan dengan laki-laki, yaitu mencari nafkah dan mengurus tugas domestik rumah tangga. Apakah Bapak-Bapak yang tergabung dalam organisasi Muhammadiyah tidak pernah berpikir akan hal itu?
Allah menciptakan segala sesuatu di dunia ini dengan menyertakannya kelebihan-kelebihan agar dapat berbagi dengan umat lainnya, bukan? Namun mengapa kesempatan-kesempatan itu tidak pernah datang secara terbuka pada perempuan? Saya sebagai manusia (perempuan) Indonesia hanya bisa menyuarakan pandangan ini, dan sangat berharap agar keterpurukan berpikir di negeri ini, dalam konteks Islam tentunya, dapat berubah. Marilah kita memulai belajar untuk menggunakan nurani sebagai radar dalam membuat keputusan.
Posted by Chiara Prayitno Silalahi on 07/27 at 12:07 AM