Kompas, Bentara, Rabu, 01 Juni 2005
Sukidi
LEBIH pendek dan berserakan. Itulah komentar akademikus Barat atas catatan Max Weber (1864-1920) tentang Islam. Studi Weber tentang agama-agama dunia, mulai dari Yahudi kuno, Kristen, Hindu, sampai Buddha jauh lebih sempurna dan sistematis. Weber keburu meninggal dunia. Padahal, menurut Talcott Parsons, (1964), ia merencanakan studi perbandingan antara Islam, Kristen periode awal, dan Katolik abad pertengahan.
ITU sebabnya, riset akademis tema ini masih relatif langka. Bryan S Turner adalah sarjana Barat pertama yang studi sistematis. Dalam karyanya, Weber and Islam, (1974:2), Turner berargumen bahwa bagi Weber "ini adalah sifat alami institusi politik Muslim yang patrimonial, yang menghalangi munculnya prakondisi kapitalisme, yakni hukum rasional, pasar kerja bebas, kota yang otonom, 'ekonomi uang', dan kelas borjuis." Semua prakondisi kapitalisme rasional-modern di Barat ini, faktanya, tidaklah muncul di masyarakat Islam Timur Tengah.
Tahun 1987, Wolfgang Schluchter di Universitas Heidelberg, Jerman menyunting buku Max Webers Sicht des Islams. Interpretation und Kritik. Buku ini hasil konferensi tahun 1984 tentang sosiologi Islam Weber, yang kini tersedia dalam edisi Inggris, Max Weber & Islam, (1999). Schluchter merekonstruksi catatan Weber tentang Islam yang berserakan melalui empat model perbandingan: model etika agama-penguasaan dunia sebagai penaklukan dan penyesuaian dunia; model dominasi politik-feudalisme prebendel dunia Timur; model kota-anarki urban dunia Timur; model hukum-hakim teokratik dan patrimonial; dan keterkaitan antara tatanan-tatanan itu dengan kekuasan-sentralisme.
Sejumlah sarjana keislaman--mulai Lapidus, Levtzion, Eaton, Hardy, Peters, Metcalf, Robinson, Crone, Cook, dan SN Eisenstadt-- diundang mempresentasikan tafsiran dan kritik mereka terhadap Weber dan Islam. Namun, tak satu pun di antara mereka yang fokus pada dua hal berikut, yang sekaligus menjadi fokus tulisan ini: Pertama, catatan Weber tentang Islam dibandingkan langsung dengan Calvinisme. Kedua, tulisan ini menguji sejauh mana muncul Muslim Puritan Muhammadiyah mirip dengan Protestan asketis, terutama Calvinis.
Calvinisme dan Islam dalam Pemikiran Weber
Catatan Weber tentang Islam akan dibandingkan dengan Calvinisme melalui empat kerangka pemikiran: doktrin predestinasi, pencarian keselamatan, asketisisme dunia-sini, dan konsep rasionalisasi.
Doktrin Predestinasi
Dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (selanjutnya disingkat The Protestant Ethic), Weber melihat doktrin predestinasi sebagai argumen utama dalam menjelaskan keterkaitan antara suatu bentuk etika agama dan spirit kapiralisme di Barat. Calvinisme dan Islam menjadi perumpamaan predestinasi yang berlawanan.
Dalam The Protestant Ethic (2005:56), Weber menekankan betapa penting predestinasi dalam keyakinan Calvinis. Ide utamanya terletak pada: bagaimana para Calvinis yakin bahwa mereka termasuk di antara orang-orang terpilih? Dalam teologi Calvinis, terdapat predestinasi ganda yang membuat para Calvinis tidak tahu secara pasti apakah mereka termasuk orang terpilih atau terkutuk? Karena Tuhan Calvinis adalah begitu transenden, maka mereka menghadapi masalah serius tentang ketidakpastian keagamaan. Situasi ini memaksa para Calvinis mencari certitudo salutis, yang didefinisikan Weber (1978:1198-99) sebagai suatu indikasi bahwa mereka termasuk orang terpilih yang selamat ke surga. Karena itu, sukses di dunia bisnis dan pengumpulan harta kekayaan demi pemuliaan Tuhan diyakini sebagai "tanda" atau "konfirmasi" bahwa mereka termasuk di antara orang-orang terpilih, atau dalam istilah Weber "suatu tanda keberkahan Tuhan".
Islam, menurut Weber, berlawanan dengan Calvinisme. Tidak ada predestinasi ganda dalam Islam. Malahan, menurut Weber (2005:185), Islam memiliki keyakinan pada predeterminasi, bukan predestinasi, dan berlaku pada nasib seorang Muslim di dunia ini, bukan di akhirat kelak. Jika doktrin predestinasi diyakini Calvinis untuk memotivasi etos kerja keras, hal demikian tidak terjadi pada Muslim. Malahan, lanjut Weber, doktrin predestinasi tidak memainkan peran dalam Islam. Akibatnya, Muslim bersikap kurang positif terhadap aktivitas di dunia-sini dan pada akhirnya terjatuh pada sikap fatalistik.
Pencarian Keselamatan
Ada sejumlah agama yang dikategorikan Weber sebagai agama keselamatan, mulai dari Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, dan seterusnya. Agama-agama ini punya cara pandang yang berbeda terhadap dunia. Namun, semuanya dipakai sebagai jalan pembebas dari penderitaan dan sebagai respons terhadap ketegangan yang terus berlangsung antara dunia dan agama (Weber, 1978:527). Ketertarikan Weber lebih terletak pada sejauh mana usaha manusia mencari keselamatan itu berdampak langsung terhadap suatu perilaku hidup tertentu di dunia ini. Dalam Economy and Society (1978) Weber berpendapat "perhatian kita pada dasarnya adalah pada usaha pencarian keselamatan, apa pun bentuknya, sejauh hal itu menciptakan konsekuensi tertentu pada perilaku praktis di dunia". Pencarian individu pada keselamatan inilah, menurutnya, yang menjadi karakteristik utama Calvinis. Bagi para Calvinis, perilaku asketis dan kerja etos kerja keras dipandang sebagai sebuah tanda keselamatan di dunia kelak.
Islam, menurut Weber, berlawanan dengan Calvinisme. Usaha pencarian keselamatan benar-benar asing dalam Islam. Malahan, menurut Weber (1965:263), "Islam sesungguhnya tidak pernah menjadi agama keselamatan; etika konsep keselamatan benar-benar tak dikenal dalam Islam. Islam tidak pernah menjadikan akumulasi harta kekayaan sebagai tanda keselamatan. Absennya upaya pencarian keselamatan di kalangan Muslim ini berpengaruh terhadap metode dan perilaku hidup yang sistematis di dunia ini."
Asketisisme Dunia-Sini
Asketisisme, menurut Weber (2005:140), terbagi dua: asketisisme dunia-sini (innerweltliche Askese) dan asketisisme dunia-sana (ausserweltliche Askese). Asketisisme dunia-sini menjadi karakteristik Calvinis, yang memakai metode asketik untuk mengubah dunia. Sementara asketisisme dunia-sana menjadi karakteristik utama kehidupan monastik dan meditasi Yoga India, yang sama-sama memakai cara asketik, tapi tidak untuk mengubah dunia. Parsons menerjemahkan innerweltliche Askese sebagai asketisisme yang dipraktikkan dalam dunia ini, sebagai lawan terhadap ausserweltliche Askese, yang menarik diri dari kehidupan dunia.
Dengan asketisisme dunia-sini, Calvinis berperan penting dalam asal-mula munculnya kapitalisme modern sejak akhir abad ke-16 dan sesudahnya. Kata Weber, terdapat "afinitas elektif" antara asketisisme dan sikap disiplin-diri. Karena itu, sikap asketisisme dunia-sini secara kuat memotivasi Calvinis untuk bekerja keras, mencari uang, menabung apa yang diperoleh dan menginvestasikan lagi nilai keuntungannya untuk keuntungan yang lebih besar.
Islam, lagi-lagi, berlawanan dengan Calvinisme. Tidak terdapat asketisisme dunia-sini dalam Islam. Pada periode Mekah, menurut Weber (1978:624), "Islam berkembang ke orientasi untuk memisahkan diri dari dunia. Namun, Islam segera menjadi agama penakluk dan agama pejuang nasional Arab pada periode Madinah. Karena itu, Islam mendukung etika prajurit dan pejuang di dunia-sini di bawah panji jihâd melalui pembagian klasik antara 'wilayah Islam' (dâr al-Islâm) dan 'wilayah yang diperangi' (dâr al-Harb)."
Sebagaimana sekte-sekte dalam Protestan, Weber mengakui munculnya sekte-sekte asketis dalam sejarah Islam. Namun, mereka tidak dapat dikategorikan sebagai Muslim asketis yang memakai cara-cara asketik untuk mengubah dunia. Malah, kelompok prajurit dan pejuang Muslim berhasil menarik Islam ke arah apa yang disebut Weber "asketisisme militer", bukannya ke arah sistematisasi perilaku hidup asketis pada kelas menengah Muslim." Berbeda dengan Protestan asketis, terutama Calvinis, sekte-sekte asketik dalam Islam tidaklah menghasilkan sistem perilaku hidup yang sistematis dan terkontrol.
Rasionalisasi
Weber memakai konsep rasionalisasi dalam beragam makna dan cakupan. Di sini rasionalisasi dipakai untuk merujuk dua tipe: rasionalisasi doktrin dan perilaku hidup. Dua tipe ini dipakai Weber untuk menjelaskan Protestan asketis, terutama Calvinis.
Pertama, para Calvinis merasionalisasikan doktrinnya untuk mengatasi problem makna mendasar: akankah mereka diselamatkan ke surga? Tuhan Calvinis menetapkan predestinasi ganda pada setiap orang: sebagai yang terpilih atau terkutuk? Para Calvinis mulai meyakinkan diri bahwa mereka termasuk di antara orang-orang terpilih yang terselamatkan ke surga.
Rasionalisasi doktrin Calvinisme dapat dilihat pada upaya menghilangkan unsur magis dari dunia modern. Calvinis menunjukkan sikap anti-magis dengan memilih kalkulasi rasional dalam hidup. Menurut Weber (1958:139), "pada prinsipnya, seseorang dapat menguasai segala sesuatu melalui kalkulasi rasional". Inilah yang oleh Weber disebut Entzauberung der Welt: yakni demagifikasi atau demistifikasi dunia. Hilangnya elemen magis yang berpuncak pada doktrin dan perilaku Calvinis ditandai, secara teoretis, dengan tidak adanya sistem Imamat, berkurangnya sakramen secara drastis, dan hilangnya sistem perantara yang memediasi hubungan Calvinis dan Tuhan.
Kedua, Calvinis merasionalisasikan perilaku hidup melalui disiplin-diri, kalkulasi rasional, individualisme, dan dipraktikkan secara sistematik. Dalam Protestant Ethic (2005:71), Weber berpendapat, "Tuhan Calvinis menuntut penganutnya bukan semata-mata dengan kerja baik, tapi kerja baik yang dikombinasikan dengan suatu sistem terpadu."
Pada bagian awal The Protestant Ethic, Weber memilih "Nasihat kepada Saudagar Muda" yang disampaikan salah satu Bapak Amerika, Benjamin Franklin, sebagai fondasi keagamaan untuk perilaku hidup rasional. "Ingat," demikian nasihat Franklin, "waktu adalah uang; kredit adalah uang; dan kejujuran bermanfaat dalam bisnis." Inti pesan Franklin adalah menghasilkan uang-melalui etos kerja keras dalam bisnis, menabung hasil, dan menginvestasikannya demi keuntungan yang lebih besar-dimaknai sebagai panggilan hidup (Beruf; bukan dalam pengertian Luther yang tradisionalistik). Franklin menyandarkan rujukan teologis: "Pernahkah engkau melihat orang yang cakap dalam bisnisnya? Dia akan berdiri di hadapan raja-rajanya" (Prov xxii. 29). Inilah yang memberi inspirasi kepada Weber (2005:19) untuk berkesimpulan bahwa "kebajikan dan kecakapan" dalam mencari dan menabung uang sebagai panggilan hidup adalah benar-benar bentuk Alpa dan Omega dari etika Franklin." Dan Franklin dijadikan Weber sebagai personifikasi ideal etika Protestan itu sendiri.
Calvinis yakin bahwa motivasi moral-keagamaan untuk bekerja keras dan menghasilkan uang adalah benar-benar diberkati Tuhan. Sebaliknya, hidup dengan sikap hura-hura dinilai berdosa. Karena itu, Calvinis bukanlah tipe orang yang boros dan suka berpesta-pora. Dan perilaku hidup rasional dalam kerja profesional dan keseharian, pada gilirannya, menghasilkan kelebihan produksi atas konsumsi. Inilah asal-mula munculnya spirit kapitalisme rasional modern di Barat, yang berakar kuat pada Protestan asketis, terutama Calvinis. Mereka ini, misalnya, memandang akumulasi harta kekayaan sebagai suatu tanda diberkati Tuhan.
Islam, kata Weber, berlawanan dengan Calvinisme. Rasionalisasi doktrin dan perilaku hidup benar-benar asing dalam Islam. Perlu diingat, Weber memakai doktrin predestinasi sebagai konsep kunci untuk menjelaskan rasionalisasi doktrin dan perilaku hidup. Di Calvinisme, keyakinan pada predestinasi berhasil membangkitkan etika kerja dan perilaku hidup yang legal-rasional. Namun, hal demikian tidak terjadi di Islam. Doktrin Islam tentang predestinasi, menurut Weber (1978:573), "sering menghasilkan kelalaian penuh terhadap diri (seorang Muslim) demi memenuhi kewajiban jihad untuk penaklukan dunia". Hal ini akibat dominannya peran pejuang Muslim dalam penyebaran Islam di Timur Tengah. Kelompok ini telah menggeser Islam ke arah etika militeristik untuk penaklukan dunia. Mereka tidak memberlakukan perilaku hidup asketis dan rasional. Keyakinan Islam atas predestinasi tidaklah menghasilkan rasionalisasi doktrin dan perilaku hidup. Malahan, kata Weber, doktrin predestinasi mengarahkan umat Islam ke arah perilaku hidup yang nonrasional dan fatalistik. "Islam," lanjut Weber (1978:575), "justru dialihkan sepenuhnya dari perilaku hidup yang rasional dengan munculnya pemujaan terhadap orang-orang suci, dan akhirnya, magis".
Muhammadiyah sebagai Reformasi Islam Model Protestan
Mirip Reformasi Protestan di Eropa, Muhammadiyah dinilai sarjana dalam dan luar negeri sebagai model gerakan reformasi keagamaan dalam konteks Islam Indonesia. Didirikan tahun 1912 oleh Ahmad Dahlan di Yogyakarta, kini Muhammadiyah hampir berusia satu abad. Sebagai sebuah kado pemikiran kader muda Muhammadiyah untuk Muktamar ke-45 di Malang, perkenankan saya membawa arah baru studi Muhammadiyah dalam cahaya Reformasi Protestan, terutama pada Calvinis. Argumen utamanya adalah prinsip-prinsip dasar gerakan reformasi Islam Muhammadiyah, pada tingkat tertentu, mirip dengan Reformasi Protestan Calvinis. Karena itu, Muhammadiyah pantas disebut sebagai Reformasi Islam model Protestan, dengan argumen berikut.
Pertama-tama, baik Calvinis maupun Muslim puritan Muhammadiyah sama-sama mengajarkan skripturalisme: bersandarkan semata-mata pada kitab suci (Bibel dan Alquran). Inilah doktrin sola scriptura. "Kembali pada Kitab Suci" sama-sama dipakai dalam gerakan reformasi Protestan dan Muhammadiyah. Calvinis sepenuhnya menyandarkan diri pada pembacaan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, sementara Muslim puritan Muhammadiyah kembali dan bersandar pada sumber asli Islam, yakni Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad. Bibel dan Alquran diletakkan sebagai sumber utama otoritas dan legitimasi.
Kedua, sebagai konsekuensi atas slogan "Kembali pada Kitab Suci", baik Calvinis maupun Muslim Puritan berdiri di hadapan Tuhan. "Para Calvinis," kata Weber (2005:68), "ingin selamat melalui pembenaran hanya dengan Iman". Inilah doktrin sola fide. Tidak ada lagi perantara antara Tuhan dan Calvinis. Absennya perantara keagamaan ini dapat disimak pada: minimalisasi unsur sakramen, deligitimasi radikal atas sistem Imamat, dan penolakan terhadap gereja yang hierarkis dan korup. Muslim puritan Muhammadiyah berbagi prinsip dasar dengan Calvinis. Tidak ada sistem perantara keagamaan yang memediasi hubungan Muslim dengan Allah. Muslim puritan berdiri dan bertanggung jawab langsung kehadirat Allah. Seperti apa yang dilakukan Calvinis, beriman kepada Allah juga disertai etos kerja keras di dunia ini. Karena Muslim puritan muncul di lingkungan Jawa yang sinkretik, maka karakter reformasi-puritannya dapat dilihat pada usaha purifikasi Islam dari unsur magis dan aspek sinkretik lainnya.
Ketiga, baik Calvinis maupun Muslim puritan mengikuti apa yang diteoritisasikan Weber sebagai "disenchantment of the world". Menurut Weber, proses ini dimulai dalam tradisi Yahudi Kuno yang sejalan dengan pemikiran dan gerakan ilmiah Yunani. Proses ini berpuncak pada teologi dan praktik Calvinis dengan menolak semua piranti magis dalam pencarian keselamatan. Kebangkitan Muslim puritan Muhammadiyah pada dasarnya sebagai respons langsung terhadap takhayul, bid'ah, dan khurafat. Semua elemen magis ini adalah nonrasional, dan, mengikuti tesis Weber, harus dibersihkan dari praktik Islam puritan dan konsepsi keduniaan. Jadi, Muslim puritan berjuang pada dua hal: eksklusi unsur-unsur magis dari Islam dan demistifikasi konsepsi keduniaan dengan mendasarkan diri pada kalkulasi rasional dan perilaku hidup asketis di dunia modern.
Keempat, sebagai konsekuensi atas konsep "disenchantment of the world", Muslim puritan mirip Calvinis dalam hal rasionalisasi. Muslim puritan merasionalisasikan doktrin keislaman melalui purifikasi iman dari unsur mistik dan Islam-Jawa-Hindu. Sikap tak kritis dalam memeluk Islam, taqlîd, dipandang sebagai sumber konservatisme dan stagnasi dalam Islam. Dan taklid harus diganti dengan tradisi pemikiran rasional dan independen (ijtihâd). Spirit rasional ini diyakini sebagai sumber kemajuan umat Islam dalam memasuki dunia modern.
Sebagai organisasi modernis-reformis, rasionalisasi organisasi Muhammadiyah dapat disimak gerakan yang terorganisasi secara sistematik dan melalui birokrasi modern. Semua ini, tentunya, sejalan dengan kebutuhan efisiensi dan administrasi dunia modern. Sementara Calvinisme, menurut Kemper Fullerton (1928), telah menunjukkan pencapaian secara lebih jenius untuk organisasi sosial dibandingkan Lutheran, maka Muhammadiyah mungkin sebagai organisasi sosial Islam terkaya di dunia saat ini.
Mirip Calvinisme, rasionalisasi perilaku hidup dapat disimak pada upaya reinterpretasi doktrin keislaman agar sejalan dengan aspirasi dunia modern yang bernafaskan pada rasionalitas dan kemajuan. Islam dan kemajuan direkonsiliasikan.
Kelima, baik Calvinis maupun Muslim puritan mengadopsi apa yang oleh Weber disebut "innerworldy asceticism". Protestan asketis, terutama Calvinis, memakai metode asketis untuk mengubah dunia. Spirit kapiralisme muncul dari proses yang disebut "afinitas elektif" antara asketisisme dan disiplin diri di kalangan Calvinis. Muslim puritan pun menganut asketisisme dunia-sini melalui tasawuf modern tanpa melarikan diri dari kehidupan duniawi.
Etika Protestan di Kalangan Muslim Puritan
Dalam The Protestant Ethic, terbit pertama kalinya tahun 1904-1905, Weber meletakkan Protestan asketis sebagai "suatu kontribusi terhadap pemahaman atas masalah-masalah umum di mana ide menjadi kekuatan efektif dalam sejarah". Nama Karl Marx tentu ada dalam pikiran Weber. Dan Weber tampak sengaja ingin meletakkan "kekuatan ide" sebagai wacana tandingan atas doktrin materialisme sejarah Marx, yang melihat ekonomi sebagai faktor determinan dalam perubahan sejarah. Weber hadir dengan tesis baru: bagaimana ide dan keyakinan di antara protestan asketis (Calvinis, Pietis, Methodis, dan sekte Baptis) menjadi kekuatan-kekuatan efektif dalam menumbuhkan spirit kapitalisme rasional modern di Barat.
Dengan alasan demikian, Weber (2005:3) lalu menunjuk fakta empiris: mereka yang menjadi industriwan, pengusaha, ahli keuangan, dan tenaga kerja yang cakap di bidang industri lainnya, ternyata jumlahnya jauh lebih besar Protestan ketimbang Katolik. Yang terakhir ini malah sering diasosiasikan dengan pekerja kasar dan bawahan. Tingginya pertumbuhan aktivitas kapitalisme juga lazim terjadi di antara gereja protestan dan Calvinis Perancis, Belanda, dan puritan Inggris. Fakta-fakta ini menginspirasi Weber menarik kesimpulan adanya "afinitas elektif" antara Protestan asketis, terutama Calvinis, dan spirit kapitalisme.
Jika demikian, tesis Weber dapat dipakai sebagai model: adakah "afinitas elektif" antara etika/keyakinan Islam dan perilaku ekonomi di kalangan Muslim puritan? "Ya" jawab Clifford Geertz, antropolog Amerika terkemuka di Universitas Princeton. Seperti halnya Robert N Bellah yang datang ke Jepang untuk studi agama Tokugawa, Geertz pun terbayang-bayangi tesis Weber untuk studi agama Jawa. Ia datang ke Mojokuto awal 1950-an dengan kesimpulan: "pertumbuhan ekonomi dan pembaharuan Islam berjalan secara beriringan". Suatu kesimpulan yang mirip antara pertumbuhan kapitalisme dengan Reformasi Protestan di kalangan Calvinis.
Dalam Peddlers and Princes, (1963), Geertz studi perbandingan dua kota: Mojokuto di Jawa Timur dan Tabanan di Bali. Ia lagi-lagi dibayangi tesis Weber. "Dalam kerangka teori Max Weber tentang peran Protestanisme dalam menstimulasi pertumbuhan komunitas bisnis di Barat," demikian laporan Geertz (1963:49), "bahwasanya para pemimpin komunitas bisnis di Mojokuto adalah sebagian besar Muslim reformis". Ia memang menemukan sebagian besar pemimpin usaha bisnis tekstil, tembakau, serta sejumlah toko dan perusahaan justru didominasi Muslim reformis-puritan. "Tujuh dari pertokoan modern yang berdiri kokoh di Mojokuto," lanjut Geertz, "enam di antaranya dijalankan oleh Muslim reformis-puritan." Ia lalu berkesimpulan "Reformisme Islam, dalam bentuknya Muslim puritan, adalah doktrin majoritas para saudagar" (Geertz, 1963:150). Tulisan ini memang mengikuti tesis Geertz, namun beda dalam studi kasus. Mojokuto bagi Geertz dan Yogyakarta bagi saya. Dengan telah meletakkan kerangka pemikiran Muhammadiyah sebagai reformasi Islam model Protestan, maka tulisan ini diakhiri dengan adanya beberapa elemen mendasar Etika Protestan yang berakar kuat dalam Muslim puritan Muhammadiyah.
Pertama, Ahmad Dahlan (1868-1923), pendiri Muhammadiyah, dikenal sebagai Muslim reformis-puritan yang asketis sekaligus seorang saudagar. Dahlan lahir di tengah keluarga beragama dan sikap hidup asketis mewarnai hidupnya. Ia berpendidikan di sekolah Islam, rajin salat lima waktu, berpuasa Senin dan Kamis, dan naik haji ke Mekkah. Selama di Mekkah tahun 1890 dan 1903, minat keilmuan Dahlan, antara lain, pada tulisan-tulisan Muslim reformis Mesir Muhammad 'Abduh (1849-1905), seperti Risalât al-Tawhîd, al-Islâm wa al-Nasranîyah, Tafsîr Juz’ ‘Amma, dan Tafsîr al-Manâr (Solichin, 1963:6). Barangkali terinspirasi Abduh, ia pulang ke tanah air dan mendirikan Muhammadiyah pada 18 November 1912 untuk mengemban misi pembaharuan Islam, seperti pentingnya kembali kepada Alquran dan Sunnah, purifikasi Islam, penalaran rasional, penolakan takhayul, bidah dan khurafat, serta kontekstualisasi ajaran Islam yang selaras dengan tuntutan dunia modern.
Kepergian Dahlan untuk haji ke Mekkah ternyata sangat menentukan tahap penting dalam hidupnya. Meminjam tesis Geertz (1963:56), bahwasanya masyarakat Jawa yang telah menunaikan ibadah haji lebih memiliki modal dan jiwa berwirausaha ketimbang rekan-rekan mereka di pedesaan. Sesudah haji, Dahlan menjalani hidup sebagai sebuah panggilan: sebagai khatib di Kraton Yogyakarta dengan gaji 7 gulden per bulan sekaligus sebagai saudagar batik. Ini memperkuat asumsi bahwa nilai simbolis haji menjadi kekuatan penggerak Dahlan menumbuhkan kebajikan dan etos kerja keras dalam aktivitas bisnis. Asketisisme dan disiplin-diri dipadukan secara sistematis. Etika kerja ini telah terefleksikan dalam perilaku hidup Dahlan, yang "rajin, jujur, suka membantu" dan "luar biasa cerdas dan tekunnya" (Peacock, 1978:34).
Nilai kebajikan kerja keras dan kejujuran dalam bisnis telah mengantarkan Dahlan dalam kemiripan dengan etika Calvinis. Bahkan, pada tahun 1913, Rinkes, pejabat Belanda yang bertugas di Indonesia waktu itu, dengan mengejutkan menilai Dahlan sebagai "prototipe warga Indonesia yang memiliki etika Calvinis: tekun, militan, dan cerdas". Di usia senjanya, Siti Walidah, istrinya, menasihati Dahlan beristirahat. Ia jawab: "saya harus bekerja keras sebagai upaya meletakkan batu pertama dalam gerakan mulia ini. Jika saya terlambat atau berhenti, akibat sakit, maka tak seorang pun yang akan membangun fondasi ini. Saya sudah merasa bahwa waktuku sudah hampir lewat, karenanya, jika saya bekerja secepat mungkin, apa yang tersisa dapat disempurnakan oleh yang lain" (Peacock, 1978:38-9).
Kedua, "afinitas elektif" Weber antara Protestanisme asketis dengan spirit kapitalisme memiliki kemiripan antara Muslim puritan Muhammadiyah dan keterlibatan ekonomi secara aktif pada usaha pabrik Batik di Yogyakarta. Yogyakarta perlu dingat karena kota kelahiran Muhammadiyah dan Dahlan, yang meniti karir sebagai khatib asketis dan saudagar batik. Hawkins (1961:12-52) menggelar survei terhadap perusahaan batik tahun 1960 dengan kesimpulan yang mengejutkan: semua perusahaan batik di Yogyakarta mayoritas dimiliki dan dijalankan oleh Muslim puritan Muhammadiyah.
Terakhir, Muslim reformis-puritan dapat digambarkan, meminjam tesis W.F. Wertheim (1969:212), sebagai "saudagar urban pada tahun-tahun awal abad sekarang". Mereka ini sering pula disebut Muslim borjuis. Seperti Calvinis, etika kerja dan sikap Muslim asketis mengindikasikan model etika kaum borjuis yang individualis dan rasional. "Seorang Muhammadiyah," kata Wertheim, "didorong ke arah hidup sederhana dan etos kerja yang saleh-asketis, dengan harta kekayaan yang diperolehnya sendiri." Mereka menjadi Muslim puritan yang asketis dengan mengabdikan dirinya secara rajin dan jujur pada aktivitas bisnis dan sosial-keagamaan sekaligus.
SUKIDI Mahasiswa Teologi di Fakultas Teologi, Universitas Harvard, Cambridge, Amerika Serikat; Pendiri Pusat Studi Agama dan Peradaban [PSAP] Muhammadiyah
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment