Sunday, November 22, 2009

Etika Welas Asih dan Reformasi Sosial Budaya Kiai Ahmad Dahlan

Kompas, Sabtu, 01 Oktober 2005

Abdul Munir Mulkhan

Tulisan Sukidi dan Robert W Hefner dalam Bentara Kompas (2 Maret, 6 April, dan 1 Juni 2005) dengan tema Protestanisme Islam dan Muhammadiyah menarik dicermati dalam perkembangan gerakan Islam di Tanah Air. Pengaitan etika Protestan dengan kerja pembaruan Kiai Ahmad Dahlan itu mendorong penulis membahas tema ini. Hasil kerja Muhammadiyah selama ini oleh Hefner disebut luar biasa, tanpa ada yang menyamai. Namun, menyebut Muhammadiyah sebagai reformasi Islam model Protestan perlu sejumlah bukti dan kajian lebih serius.

KIAI Ahmad Dahlan terlibat aktif dalam sistem kekuasaan Kerajaan Jawa sebagai pejabat keagamaan, bukan pedagang, dan prestasi duniawi bukan tujuan final, melainkan mediasi prestasi sesudah mati. Reformasi sosial budaya gerakan ini terus berlangsung hampir tanpa contoh dalam sejarah dan pemikiran pembaru Islam di berbagai belahan dunia. Ahmad Dahlan bisa dipastikan tidak pernah membaca karya Max Weber yang belum pernah berkunjung ke negeri ini. Jika terdapat kesesuaian gagasan dan kerja sosial keagamaan Dahlan dengan tesis Weber dan tradisi Calvinis, mungkin lebih sebagai ”insiden sosiologis” sunnatullah atau hukum alam.

Kebenaran universal iptek dan welas asih
Gagasan dasar Dahlan terletak pada kesejajaran kebenaran tafsir Al Quran, akal suci, temuan iptek, dan pengalaman universal kemanusiaan. Belajar filsafat baginya adalah kunci pengembangan kemampuan akal suci, selain belajar pada pengalaman beragam bangsa dan pemeluk agama. Dari sini diperoleh pengetahuan tentang bagaimana mencapai tujuan penerapan ajaran Islam, yaitu penyelamatan kehidupan umat manusia di dunia berdasarkan cinta kasih.

Realisasi tujuan tersebut dilakukan dengan mengembangkan sekolah modern, kepanduan, panti asuhan, rumah sakit, dan pemberdayaan kaum tertindas dalam sistem manajemen dan organisasi modern. Berbagai praktik ritus Islam difungsikan sebagai dasar teologi realisasi tujuan tersebut. Dari kehidupan kaum Nasrani dan temuan iptek, Kiai belajar tentang pengembangan kehidupan sosial. Dari tokoh pembaru ia peroleh ide rasionalisasi ajaran Islam, sementara dari fakta-fakta sosiologis dan sejarah manusia diperolehnya inspirasi kerja pragmatis dan humanis.

Kerja keras Kiai Dahlan bukan untuk akumulasi kapital, tapi peletakan fondasi gerakan perbaikan kehidupan duniawi. Seluruh harta Kiai dilelang untuk memperoleh dana bagi gerakannya itu. Sesekali Kiai membawa dagangan untuk mendukung perjalanan dakwahnya, tapi ia bukan pedagang. Hampir seluruh kegiatannya merupakan perlawanan terhadap keyakinan umat tentang takdir nasibnya yang fatalistik.

Cinta kasih sebagai dasar pembelaan kaum tertindas itu menarik elite priayi Jawa, dr Soetomo, hingga bersedia menjadi penasihat Muhammadiyah bidang kesehatan. Bersama dokter-dokter Belanda, Soetomo mengelola Rumah Sakit Muhammadiyah Surabaya tanpa gaji. Semangat kemanusiaan berbasis cinta kasih telah mempersatukan orang-orang berbeda bangsa dan agama itu.

Kerja sosial Dahlan di atas didasari pandangan bahwa kebenaran dan kebaikan Islam ialah manfaatnya bagi semua orang tanpa batas agama dan bangsa. Al Quran harus dipahami dengan akal dan hati suci serta diamalkan dengan welas asih (cinta kasih). Dari sini kemajuan peradaban dan iptek dikembangkan, keselamatan dunia dan kemanusiaan universal dicapai (lihat: Praeadvies Dari Hoofdbestuur Perserikatan Moehammadiyah di Yogjakarta pada Konggres Islam Besar Ceribon, dan Kesatuan Hidup Manusia, terbit tahun 1922 dan 1924).

Akal suci ialah berpikir sesuai dengan fakta, cermat, dan kritis meletakkan relativitas kebenaran iptek, mencari kebenaran yang lebih bermanfaat bagi hidup semua orang. Hati suci dan welas asih ialah kesediaan menahan nafsu, bersedia berkorban, tidak malas memperjuangkan kebaikan dan kebenaran, menjadikan keluhuran dunia sebagai jalan mencapai keluhuran akhirat.

Ia kembangkan sekolah, rumah sakit, panti asuhan, dan pemberdayaan kaum tertindas dengan jasa manajemen modern. Khotbah dan pengajian dilakukan dengan bahasa Jawa atau Melayu, puasa efektif (segera berbuka dan sahur di saat-saat akhir), pengelolaan perjalanan haji, zakat maal dan fitrah, serta kurban sehingga lebih berguna bagi kepentingan publik dan pemberdayaan kaum tertindas.

Bersamaan itu Kiai terus mengembangkan praktik ritus Islam hingga benar-benar bisa memecahkan problem kebaikan hidup semua orang secara pragmatis dan praktis. Hal ini hanya mungkin dicapai melalui aksi pendidikan sehingga penguasaan iptek ia pandang bukan hidayah Tuhan, tapi perolehan belajar. Semua orang harus memiliki etos belajar menjadi murid sekaligus guru. Seluruh kegiatan hidup manusia harus berfungsi sebagai aktivitas belajar kepada semua orang atau sebagai guru penyebar ilmu kepada siapa saja dalam kesempatan apa saja.

Karena itu, bagi Dahlan kebenaran dan kebaikan tidak semata-mata diperoleh dari tafsir deduktif Al Quran, tapi dari induksi (iptek) pengalaman empiris beragam pemeluk agama. Ia memandang capaian keluhuran duniawi adalah jalan pencapaian keluhuran kehidupan sesudah mati di akhirat. Pandangan Dahlan ini berbeda dari model etika Protestan yang meletakkan keluhuran duniawi sebagai bukti keluhuran dalam kehidupan sesudah kematian atau ukhrowi tersebut.

Reformasi dari pusat kekuasaan Jawa
Ketika Grebeg Hari Raya dalam tradisi Kraton Yogyakarta jatuh sehari sesudah hari raya Islam, Kiai meminta menghadap Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Tengah malam, diantar Kanjeng Kiai Penghulu, Dahlan diterima Sang Raja dalam sebuah ruang tanpa lampu. Setelah Dahlan menyampaikan usul agar Grebeg diundur sehari, Raja bersabda bahwa Grebeg dilaksanakan sesuai dengan tradisi Jawa, Dahlan dipersilakan menyelenggarakan shalat Hari Raya sehari lebih dahulu.

Kiai begitu terkejut mendapati ruang paseban penuh dengan pangeran dan pejabat kerajaan mendampingi Raja saat lampu ruang paseban dinyalakan. Sang Raja kembali bersabda bahwa pemadaman lampu itu sengaja dilakukan agar Dahlan tidak merasa kikuk saat menyampaikan usulnya kepada Raja.

Hubungan harmonis Dahlan dan pusat kekuasaan Jawa cukup unik dan menarik dikaji ketika kerajaan dipandang sebagai pusat tradisi Kejawen yang penuh mistik. Kelahiran Muhammadiyah sendiri berkait dengan kebijakan Hamengku Buwono VII dan VIII. Kepergian Dahlan naik haji dan bermukim di Mekkah adalah perintah langsung Sri Sultan Hamengko Buwono VII. Raja memandang penting Raden Ngabei Ngabdul Darwis (nama kecil Ahmad Dahlan) belajar Islam dari asal kelahirannya. Sepulang haji, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII memerintahkan Dahlan bergabung dalam Boedi Oetomo. Reformasi Islam pun mulai berlangsung dari sini.

Konflik keras justru muncul dalam komunitas Kauman dari ulama senior dan Kiai Dahlan. Disharmoni Muhammadiyah dan pusat kekuasaan Jawa mulai muncul ketika gerakan ini memperkuat ortodoksi Fikih sesudah pendirinya wafat tahun 1923. Gerakan pembaruan Islam kemudian berkembang berhadap-hadapan dengan pusat kekuasaan Jawa.

Suasana sosial politik yang melingkupi kehidupan Dahlan di atas berbeda dengan pembaru Islam Saudi Arabia, Mesir, Iran, Afganistan, Aljazair, Pakistan, atau India. Jika para pembaru itu banyak berhubungan dengan pusat kebudayaan Eropa (Perancis dan Inggris), Kiai memperoleh pendidikan di lingkungan kerajaan. Interaksinya dengan elite kerajaan, pejabat kolonial, priayi Jawa, pendeta, dan pastor memberi ruang lebih luas menjelajahi berbagai persoalan dunia global atau nasional dan lokal.

Tafsirnya atas surat Ali ’Imran Ayat 104, basis teologis organisasi modern sebagai instrumen ritus dan pemecahan problem kehidupan manusia, tidak dtemukan dalam tafsir klasik. Demikian pula tafsir surat Al-Ma’un sebagai referensi aksi pemberdayaan kaum tertindas atas pertimbangan pragmatis dan humanis, seperti aksi pemberdayaan kaum perempuan di ruang publik.

Gagasan dan aksi sosial Ahmad Dahlan didasari pandangan tentang kesesuaian natural tafsir Al Quran, pengalaman kemanusiaan universal, dan temuan iptek. Bagi Kiai, ukuran kebenaran tafsir Al Quran dan temuan iptek ialah sejumlah bukti kemanfaatannya bagi penyelesaian problem universal kemanusiaan. Gagasan dan praktik kemanusiaan Dahlan tersebut mungkin bisa disebut sebagai terapan dari pragmatisme-humanistik. Namun, tidak mudah menyatakan berbagai pembaruan Kiai melalui berbagai praksis sosial itu dilakukan berdasarkan semangat Protestanisme.

Di luar problem semantik mengenai simbolisasi ide dan gerakan Dahlan di atas ironi komunitas Muslim yang memandang temuan iptek bertentangan atau tidak sesuai ajaran Islam, kerja sama dengan dokter-dokter berkebangsaan Belanda dan Inggris yang Nasrani bisa dipandang sebagai tindakan haram bahkan kafir bagi umumnya pemeluk Islam. Pandangan seperti ini lebih disebabkan penempatan tafsir ulama Salaf sebagai referensi tunggal kebenaran pemahaman tentang ajaran Islam.

Kritik ketertutupan ijtihad Jamaludin Al-Afghani dan tokoh pembaru Islam lain memang membuka wawasan dunia Islam memberi inspirasi gerakan Islam di berbagai belahan dunia, seperti kelahiran Muhammadiyah di Tanah Air. Namun, Pan-Islamisme yang menggerakkan pembebasan negeri-negeri Muslim dari kolonialisme melahirkan sikap anti-Barat dan segala produk pemikiran non-Islam. Hingga kini komunitas Muslim menempatkan komunitas bangsa-bangsa Eropa dan tradisi sekuler sebagai konspirasi kekuatan anti-Islam.

Ajaran Islam yang disusun ulama Salaf kemudian berkembang sebagai ideologi, bahkan mengalami pengudusan (sakralisasi). Sulit dibedakan Islam yang wahyu dan universal dengan Islam versi Salafi sehingga Islam identik dengan tafsir Salafi tersebut. Gejala ini menjelaskan berbagai kesulitan pengembangan gagasan duniawi yang antara lain direkomendasi oleh etos Protestanisme.

Kecenderungan ideologisasi tafsir Salafi di atas bisa dilihat dari tumpang tindih ajaran Islam otentik dan ajaran Islam sebagai tasfir tersebut. Keyakinan kebenaran mutlak dan kesempurnaan ajaran Islam kemudian diterakan pada tafsir Salafi yang dikukuhkan melalui hierarki kekudusan sejarah yang menempatkan generasi sahabat lebih kudus dan lebih benar dari generasi tabi’in (pascasahabat) dan seterusnya.

Gagasan genial Dahlan mencairkan hegemoni tafsir Salafi yang secara otentik tidak bisa dirujukkan pada Abduh, Rasyid Ridla, dan Afghani, apalagi Wahabi. Rasionalitas pemahaman dan praktik ritus mungkin diambil dari tokoh pembaru, tapi inovasi kreatif pragmatis-humanis pemihakan pada kaum tertindas diambil dari pengalaman kaum Kristiani di Tanah Air. Lebih penting lagi ialah pengalaman induktif kemanusiaan universal Kiai sendiri yang mendasari hampir seluruh gagasan dan kerja sosialnya.

Sulit dicari contohnya dalam sejarah pemikiran Islam ketika Kiai mendirikan organisasi dan berbagai model pemberdayaan perempuan, kaum proletar dan tertindas (mustadl’afin). Sayang, model gerakan yang belakangan populer di kalangan LSM itu kini semakin terasing dari kegiatan Muhammadiyah ketika gerakan ini tumbuh besar.

Humanisasi ritus Islam
Dalam usia menjelang satu abad, aktivis Muhammadiyah perlu mengkaji kembali peran pembaruan sosial budaya pendirinya di tengah perkembangan peradaban global yang masih menyisakan ketidakadilan dan kemiskinan. Cara hidup sehat, partisipasi pendidikan modern, pengelolaan ritus secara sistematis, telah tumbuh menjadi tradisi keagamaan umat negeri ini. Namun, gerakan ini menghadapi gugatan kehilangan etos pembaru di tengah kehidupan umat yang miskin dan berpendidikan rendah.

Sementara itu, aktivis gerakan ini asyik dan sibuk dengan dirinya sendiri, pemeluk Islam umumnya masih memandang ajaran otentik dari Al Quran dan Hadis yang mutlak benar dan sempurna ialah apa yang dipelajari di berbagai lembaga pendidikan Islam. Dari sini lembaga seperti STAIN, IAIN, UIN, atau Fakultas Agama Islam di berbagai perguruan tinggi swasta memegang peran penting, selain lembaga pendidikan agama di sekolah umum.

Sementara materi dakwah dan pendidikan Islam bersumber dari pandangan di atas yang tersusun dalam ilmu Kalam, Fikih, Akhlak, dan lainnya, tapi prinsip keilmuan tidak bisa dan dilarang diterakan pada ilmu-ilmu tersebut. Ilmu temuan ulama Salaf itu cenderung haram dikritik apalagi diubah dan dikembangkan. Pembelajaran ajaran Islam dilakukan dengan teori yang berkembang dari dunia Barat, tapi dipandang bertentangan dengan ajaran Islam.

Pengudusan tafsir Salafi menyebabkan aktivis gerakan Islam sulit memahami fakta empiris sebagai produk kreatif manusia. Demokrasi, globalisasi, dan kapitalisme dipandang sebagai strategi kolonisasi budaya negeri Barat yang Kristen dan Yahudi atas negeri-negeri Muslim. Kekalahan partai-partai Islam dipahami bukan problem strategi, tapi konspirasi jahat kekuatan anti-Islam. Pengudusan demikian mendorong orientasi kerja ke luar (other-worldly) bukan ke dunia di sini dan sekarang (this-worldly).

Karena itu, humanisasi ritus Islam Dahlan dari kesesuaian natural tafsir Al Quran, temuan iptek, dan pengalaman universal kemanusiaan penting dikaji. Dari sini bisa dicari relevansi peran Islam di tengah kompetisi individu dan kelompok yang semakin sengit dalam perluasan peradaban global dan demokratisasi di Tanah Air. Soalnya, bagaimana pengembangan iptek diabdikan bagi kemajuan dan kesejahteraan hidup manusia di seluruh jagat, keluhuran duniawi ditempatkan sebagai tahap pencapaian keluhuran hidup sesudah mati.

Gagasan dan kerja sosial Kiai Ahmad Dahlan tidak cukup dinisbatkan pada Mohammad Abduh, Rasyid Ridla, dan tokoh pembaru Islam lainnya. Penyebutan Muhammadiyah sebagai reformasi Islam model Protestan kurang tepat karena beberapa fakta sosial menunjukkan tidak tumbuhnya akumulasi kapital seperti kehidupan kaum Calvinis. Gagasan dan kerja sosial Kiai Ahmad Dahlan merupakan fenomena lain yang berbeda dari pembaruan Islam sebelumnya dan dari model Protestan.

Pilihan label bagi gerakan Kiai Ahmad Dahlan bisa dikaji dan dikembangkan dari uraian berikut. Kiai terus mendorong masyarakat untuk belajar pada siapa saja, di mana saja, dalam situasi apa saja, sekaligus mendorong penyebaran hasil belajarnya tersebut kepada semua orang. Jika dalam pengetahuan ia kembangkan etos guru-murid, dalam hubungan sosial ia kembangkan etos ta’awun (pemihakan) atas kaum tertindas yang digali dari tafsirnya atas surat Al-Ma’un.

Kerja sosial sebagai kritik atas takdir fatalis bisa disebut praksis teologi kebudayaan. Sementara itu, hubungan sosial melampaui batas keagamaan, etnisitas, dan kebangsaan bersumber etika welas asih merupakan misi universal Islam. Bagi priayi Jawa, dr Soetomo, welas asih merupakan kritik Darwinisme sebagai paradigma pemikiran Barat modern yang meletakkan seleksi alam atas kekuatan individual. Darwinisme tidak memberi kesempatan kaum lemah dan tertindas maju dan berkembang. Tugas akademisi memberi label teoretis kerja sosial Kiai Ahmad Dahlan sebagai khazanah khas Islam Indonesia. Soalnya ialah bagaimana praktik ajaran Islam itu bermanfaat bagi semua orang sebagai solusi problem kehidupan manusia.

Abdul Munir Mulkhan Guru Besar IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

No comments:

Post a Comment