Sunday, November 22, 2009

Independensi Kultural Muhammadiyah sebagai Basis "Civil Islam" di Indonesia

Jumat, 13 Juli 2001

Oleh Sukidi

"Despite thirty years of authoritarian rule, Indonesia today is witness to remarkable effort to recover and amplify a Muslim and Indonesian culture of tolerance, equality, and civility.
The proponent of civil Islam are a key part of this renaissance. This civil democratic Islam makes sense, of course, only if one believes that Islam is compatible with, or even founded on, democratic values."
(Robert W Hefner, Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia, Princeton University Press, 2000, h 218).

LIMBAH politik akibat konflik kepentingan di tingkat elite, sejauh ini telah terlalu jauh mengotori elemen-elemen masyarakat sipil. Sehingga, baik secara personal maupun institusional, banyak elemen masyarakat sipil yang terjebak ke dalam konflik kepentingan politik secara agak berlebihan. Akibatnya, tidak saja menjadikan masyarakat sipil sebagai tumbal kepentingan politik, melainkan juga proyek penguatan masyarakat sipil menjadi terbengkalai, powerless. Untuk itulah, penting sekali elemen-elemen masyarakat sipil menjaga independesinya terhadap segala intervensi kepentingan politik.

Dalam konteks inilah, dengan segala analisis subyektif saya sebagai warga Muhammadiyah, kita dapat bercermin pada Muhammadiyah yang relatif berhasil menjaga independensi kultural, terutama ketika bersinggungan dengan politik, termasuk dengan Partai Amanat Nasional (PAN), misalnya. Hal ini tidak saja karena menjadi komitmen konstitusional Muhammadiyah dengan segala penjelasan rasional-kritisnya, melainkan juga sepenuhnya disadari sejak awal bahwa pola keterlibatan tokoh Muhammadiyah ke panggung politik telah mengalami pergeseran signifikan: dari "mewakili lembaga" ke "mewakili diri"; dari "ketergantungan pada kekuatan lembaga" menjadi "ketergantungan pada kekuatan dan kualitas diri".

Independensi kultural inilah yang menjadikan Muhammadiyah tak tergoyah dengan rayuan, syahwat, dan kepentingan politik praktis. Justru sebaliknya, Muhammadiyah menjadi salah satu lembaga sosial keagamaan terbesar di Tanah Air-dan ini sekaligus menjadi elemen terbesar dari civil society itu sendiri-yang tetap konsisten pada penguatan masyarakat sipil, melalui beragam jalur: mulai dari pendidikan, kesehatan, sampai pelayanan kesejahteraan sosial.

Sekadar sebagai bukti, misalnya, sampai saat ini Muhammadiyah memiliki amal usaha (lembaga) pendidikan dasar dan menengah: dari TK hingga pondok pesantren berjumlah di atas 9.000 buah; amal usaha pendidikan tinggi: dari universitas hingga politeknik berjumlah 190 buah; amal usaha bidang kesehatan: dari rumah sakit hingga poliklinik berjumlah 241; dan amal usaha bidang kesejahteraan sosial: dari panti asuhan hingga Bakesos berjumlah 322 buah. Bayangkan, betapa luar biasa dan mencengangkan prestasi yang amat prestisius ini!

Basis "Civil Islam" di Indonesia
Sehingga, dalam konteks inilah, Muhammadiyah-meminjam kerangka paradigmatik antropolog Amerika Robert W Hefner, (2000)-bisa menjadi basis utama pengembangan civil Islam di Indonesia. Dalam karya terbarunya, Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia, (Princeton University Press, 2000, h 218), Hefner berkesimpulan bahwa saat ini, Indonesia menyaksikan usaha luar biasa untuk menemukan kembali dan memperkuat budaya toleransi, persamaan dan keadaban. Para pendukung civil Islam, kata Hefner menjadi bagian kunci kebangkitan ini.

Lebih lanjut, Hefner mengelaborasi civil Islam yang demokratis, menjadi bermakna manakala seseorang percaya bahwasanya Islam kompatibel dengan, atau bahkan didasarkan pada nilai-nilai demokrasi. Nah, saya akan memverifikasi seobyektif mungkin Muhammadiyah dengan menggunakan kerangka paradigmatik civil Islam-nya Hefner.

Bahwa Islam kompatibel dengan demokrasi yang nota bene konsep Barat, sudah terlampaui dengan sendirinya oleh Muhammadiyah. Secara metodologis, Muhammadiyah justru menyerap sistem dan metode Barat, untuk kemudian mengisi ruhnya dari konsep Islam. Ingat, misalnya, ketika orang Kristen mendirikan HIS (Holland Inlands School) met de Bijbel, maka pendiri Muhammadiyah Kiai Ahmad Dahlan langsung mendirikan HIS met de Quran.

Begitulah, dalam sistem pendidikan, Muhammadiyah me-nyerap sistem pendidikan modern-Barat, untuk kemudian diberikan nafas Islam. Itulah yang kita saksikan dengan Muhammadiyah, yang tidak hanya mendirikan Volkscholen, tetapi juga sekolah-sekolah Belanda semacam Holland Inlands School, Middlebare Uitgebreid Lager School, Algemene Middlebare School. Bayangkan, betapa luar biasa modern Muhammadiyah untuk zamannya, sehingga Ia, seperti kata Deliar Noer, jauh mengalahkan Al-Azhar, Kairo, yang pada saat bersamaan masih menerapkan sistem pendidikan tradisional Islam.

Pendidikan yang dikembangkan Muhamadiyah, jelas menjadi penyangga utama terbentuknya civil Islam di Indonesia. Muhammadiyah memang sudah tepat melakukan pembaharuan di Indonesia, dengan melalui jalur pendidikan. Karena, sebagaimana ditegaskan pemikir masyhur neo-modernis Islam di Pakistan, Prof Fazlur Rahman bahwasannya "any Islamic reform now must begin with education" (pembaharuan Islam dalam bentuk apa pun, harus mulai dengan pendidikan). Karena berkat pendidikan, kita menjadi lebih "toleran" terhadap perbedaan, menjadi lebih "inklusif" terhadap kemajemukan, dan bahkan menjadi lebih "beradab" terhadap konflik dan fragmentasi sosial politik yang berkembang.

Itulah nilai-nilai civil Islam yang dielaborasi Hefner, yang sebenarnya sudah sejak awal built in di kalangan warga Muhammadiyah. Secara empiris, kita buktikan bersama, misalnya, bagaimana respons warga Muhammadiyah ketika dirinya diteror; rumahnya diberikan tanda silang merah; sekolah dan universitasnya dirusak dan dibakar oleh aksi massa anarkis di Jawa Timur.

Ternyata, sedikit pun tidak ada reaksi balik yang bersifat destruktif dan anarkis dari warga Muhammadiyah? Banyak orang mengungkapkan rasa empatik dan simpatiknya atas sikap warga Muhammadiyah ini, yang justru menyikapi peristiwa itu secara santun dan beradab, dengan menyelesaikannya melalui jalur hukum dan kemanusiaan. Bukankah penghormatan terhadap hukum, demikian penelitian Hefner, menjadi syarat utama civil Islam itu sendiri? Maka, jikalau kita mau jujur, inilah sebenarnya "barisan rapi" Muhammadiyah yang menjadi basis utama civil Islam di Indonesia.

Muhammadiyah sebagai basis civil Islam, dengan sendirinya akan mendorong proses demokratisasi di Indonesia. Kita sudah terlampau banyak kecewa mengharap demokratisasi muncul dari "jalur atas" (pemerintah, negara). Karena, alih-alih terjadinya demokratisasi, yang terjadi selama ini justru berbalik arah: negara tak demokratis, yang meminjam istilah Hefner disebut sebagai uncivil state. Negara tak beradab.

Karena itu, kita putar haluan dan strategi, dengan mengembangkan demokratisasi melalui "jalur bawah", grass root society. Jika penelitian Hefner sampai pada kesimpulan bahwasannya demokratisasi memerlukan organisasi warga yang bercirikan kesukarelaan, asosiasi independen, dan keseimbangan antara negara dan masyarakat yang sama baiknya dengan organisasi warga itu sendiri, maka elemen-elemen utama demokratisasi itu, sudah sejak lama dipenuhi secara sempurna oleh Muhammadiyah.

Dalam konteks inilah, organisasi Muhammadiyah-lagi-lagi meminjam istilah Hefner-menjadi "a civic organization", yang berfungsi sebagai "ruang dialog publik" untuk praksis liberatif terhadap masyarakat sipil yang lemah, marginal, dan tertindas di satu sisi, dan sekaligus berfungsi sebagai "ruang kesadaran kritis" di kalangan sipil dalam melaksanakan fungsinya sebagai cheks and balances atas kebijakan negara yang tak demokratis.

Hal terakhir ini juga sekaligus menandakan adanya dimensi politik dari gerakan Muhammadiyah sebagai basis Civil Islam di Indonesia. Hanya saja, dimensi politisnya tidaklah diartikulasikan dalam bentuk "siapa mendapat apa" (who gets what) dalam proses perjuangan meraih kursi kekuasaan. Dalam bahasa politik, dimensi politis dari gerakan Muhammadiyah sebagai basis civil Islam di Indonesia, adalah berkenaan dengan allocative politics. Yakni, politik alokatif-seperti diperkenalkan David Easton-sebagai taktik dan strategi pengalokasian nilai-nilai tertentu dalam suatu masyarakat untuk kepentingan masyarakat secara umum. Maka, politik alokatif diartikulasikan dengan cara mensubstansiasikan nilai-nilai dan etika keislaman secara inklusif di tengah pluralitas kehidupan berbangsa dan bernegara.

Cuma, karena selama ini kita terkecoh bahwa gerakan kultural tak mengandung dimensi politik, akhirnya orang ramai-ramai menggunakan "jalur cepat" dengan terjun ke politik praktis. Tetapi, apa hasilnya bagi kemaslahatan dan keharmonisan umat! Non-sense.

Dalam konteks inilah, di tengah hiruk pikuknya politik beserta konflik kepentingan yang menyertainya, Muhammadiyah harus tetap independen dan konsisten sebagai basis civil Islam dalam rangka memperkuat masyarakat sipil yang santun dan beradab di Indonesia. Meskipun dengan itu, Muhammadiyah masih menelan pil pahit anarkisme massa?

* Sukidi, kader Muhammadiyah; penulis buku New Age, Wisata Spiritual Lintas Agama di Gramedia dan Teologi Inklusif Cak Nur di Kompas.

No comments:

Post a Comment