Kompas, Jumat, 29 Juni 2001
Oleh Mutohharun Jinan
MENARIK untuk dicermati tulisan saudara Zuhairi Misrawi (intelektual muda NU yang dikenal liberal dan kritis), Sudut Pandang Baru NU Kultural (Kompas, 15/6/2001). Sebagaimana tulisannya di beberapa media lain, Zuhairi selalu mengkritisi perkembangan Nahdhatul Ulama (NU) dan komentar tokoh-tokohnya, yang dinilai menyimpang dari konstitusi dan khittah NU.
Dari artikel itu sekurang-kurangnya ada dua hal yang patut dicermati lebih jauh.
Pertama, kekecewaan Zuhairi terhadap NU yang dipandang telah melakukan "pengkhianatan gerakan", yaitu NU yang sejak dulu telah menegaskan diri dan dikenal masyarakat internasional sebagai gerakan civil society, kini bergeser menjadi gerakan politik yang kadang bertindak di luar batas kewajaran nalar politik yang sehat. Dengan nada agak berang Zuhairi menulis, akulturasi agama dan politik dalam situasi yang tidak normal akan memformat masyarakat kehilangan akal, konservatif, dan normatif.
Zuhairi melihat ada dua kecenderungan arah gerakan NU setelah Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi presiden. Di satu pihak, sebagian warga NU ada yang tetap konsisten terhadap strategi gerakan kultural, yang ia sebut sebagai NU Kultural. Di pihak lain, terutama generasi tua, lebih memilih terlibat arena politik. Atau setidaknya mendukung Gus Dur dengan simbol-simbol dan terminologi politik. Ketidakstabilan politik dan kekuasaan telah mendesain NU menjadi ormas yang harus terlibat pro-aktif dalam politik. Sehingga wacana-wacana yang ditawarkan gerakan kultural dan pembangunan nilai-nilai pluralisme, demokrasi, dan humanisme yang marak didiskusikan sebelum Abdurrahman Wahid menjadi orang nomor wahid, mulai sepi dan redup.
Fragmentasi NU Kultural dan NU Politik kian terlihat jelas. Bahkan di lingkungan Lakpesdam, kalau ada salah seorang aktivis yang lama tidak muncul (karena kesibukan di partai politiknya) tiba-tiba datang ke Kantor Lakpesdam dengan badan gemuk dan mengendarai mobil, langsung ditolak dan dicibir aktivis NU Kultural lainnya.
Adalah sah bila NU Kultural-panggilan anak muda NU yang masih polos, bersih, dan tidak tertarik kue politik seraya mengambil jarak dengan kekuasaan dan kemapanan seperti Zuhairi-mengkritik tajam perilaku NU Politik. NU Kultural juga boleh membanggakan jaringan penerbitan dan lembaga kajian yang dimilikinya di tiap kota besar, seperti LKiS, Elsad, Lakpesdam, LP3M, LKDIA, dan sebagainya. Tetapi, ada baiknya untuk dipertimbangkan, eksperimen politik seperti yang dilakukan NU saat ini bukanlah yang pertama. Dalam sejarah perjuangan NU telah terjadi eksperimen politik dengan menjadikan NU sebagai partai politik dengan memisahkan diri dari Masyumi. Sebenarnya, hasilnya tidak terlalu mengecewakan.
Kalaupun eksperimen politik NU sebelum ini dikatakan telah gagal, tetapi kegagalan itu bisa dicari faktor penyebabnya. Salah satunya adalah kegagalan eksperimen politik NU dilakukan saat kekuasaan politik/ pemerintah sedang dalam posisi yang amat kuat dan represif. Sedangkan faktor lainnya adalah kurangnya sumber daya manusia yang memadai untuk memimpin partai politik. Kegagalan ini juga dialami semua kekuatan politik atau partai politik yang berbasis massa agama, termasuk Masyumi.
Jadi, NU Politik yang kini sedang bangkit sebenarnya memiliki landasan historis cukup kuat, argumentatif dan bisa dipertanggungjawabkan. Selain itu, ada alasan lain yang dapat meyakinkan, NU Politik adalah sah dan perlu. Yaitu situasi politik di era reformasi ini gerakan dan kekuatan massa apa pun memiliki hak kultural dan hak politik untuk ikut terlibat dalam politik praktis. Adapun faktor sumber daya manusia tentu saja kini boleh dibilang NU telah memiliki figur-figur yang cukup mumpuni, sehingga keterlibatannya dalam politik praktis tidak perlu dikhawatirkan.
Pada hemat saya, kembalinya NU ke dalam gelanggang politik merupakan proses-oleh Obert Voll disebut sebagai "kontinuitas dan perubahan"-sejarah yang wajar. Dalam konteks zaman tertentu suatu gerakan keagamaan bisa saja mengambil jarak dan bersikap oposan terhadap pemerintah. Pada saat yang sama, gerakan itu, secara pelan tetapi pasti, menarik simpati masyarakat dan mendapat dukungan besar. Setelah simpati dan dukungan itu menggunung lantas muncul kekuatan yang dapat menggulingkan dan menggantikan pemerintah yang menjadi lawan oposisinya. Kalau kita mau jujur, inilah sesungguhnya yang sedang terjadi dengan NU.
Dengan cara pandang seperti ini, tidak seharusnya NU Kultural memandang sebelah mata dan menganggap NU Politik telah "berkhianat" terhadap khittah NU. Adapun suramnya wajah NU Politik saat ini, dengan segala perilaku irasionalnya bukan mencerminkan kegagalan dan mengancam eksistensi NU. Itu merupakan gejala Islam Politik secara umum di Indonesia, seperti ditampilkan para politisi muslim yang kini sedang berebut kekuasaan.
Titik temu kultural NU-Muhammadiyah
Persoalan kedua adalah soal kemungkinan kerja sama NU Kultural dan Muhammadiyah Kultural. Asumsi yang dibangun dalam persoalan masa depan hubungan NU-Muhammadiyah adalah, ikatan kultural dan intelektual jauh lebih membekas daripada ikatan politik yang bersifat sesaat dan manipulatif. Keterlibatan personal yang intensif angkatan muda NU dan Muhammadiyah dalam berbagai kegiatan sosial dan intelektual, cukup memberi harapan bagi terciptanya hubungan harmonis dua organisasi terbesar di Indonesia ini.
Gagasan mempertemukan NU dan Muhammadiyah dalam wilayah kultural ini harus disambut penuh gairah. Kerena dalam wilayah politik tidak pernah ada catatan yang menyenangkan untuk dijadikan rujukan. Meski Muhammadiyah dan NU pada awalnya secara tegas bertujuan untuk kepentingan memelihara dan memajukan agama, namun dalam praktik dan kenyataannya tidak pernah bebas dan membebaskan diri dari percaturan serta pergumulan politik. Dalam sejarah politik nasional, kedua organisasi ini sulit dipertemukan. Apalagi dalam suasana dan iklim politik yang tidak menentu seperti sekarang, dengan mudah ketegangan Muhammadiyah - NU mencuat ke permukaan.
Apakah ini berarti gagasan Zuhairi akan berjalan tanpa kendala? Ada satu hal yang perlu dicatat dalam upaya mempertemukan angkatan muda NU dan Muhammadiyah. Yaitu adanya perbedaan wacana intelektual yang dikembangkan oleh angkatan muda NU dan Muhammadiyah. Bila mencermati buku-buku dan jurnal yang terbitkan angkatan muda NU, terlihat jelas mereka mengembangkan wacana "liberalisme Islam" yang mereka usung dari gerakan liberalisme Islam di Mesir. Misalnya mereka mempopulerkan gerakan "Kiri Islam"-nya Hassan Hanafi dan "Dekonstruksi Syari'ah"-nya Nasr Abu Zaid serta "Kritik Nalar Arab"-nya A-Jabiri. Bahkan dalam Jurnal Tashwirul Afkar Edisi No 9/2000 (diterbitkan Lakpesdam) gerakan Liberalisme Islam telah dimantapkan untuk memangkas konservatisme NU.
Sebaliknya, angkatan muda Muhammadiyah kini sedang mengembangkan wacana intelektual "formalisme Islam" dan "Spiritualisme". Gerakan formalisme Islam, seperti jilbabisasi, tampak bergairah di kampus-kampus Universitas Muhammadiyah. Sedangkan wacana spiritualitas dapat dilihat dari buku-buku dan artikel yang ditulis aktivis muda Muhammadiyah. Misalnya buku New Age: Wisata Spiritual Lintas Agama oleh Sukidi, dan Islam Dinamis ditulis Ahmad Najib Burhani. Keduanya pemikir muda di Muhammadiyah dan amat intens mendalami gejala spiritualitas.
Perbedaan wacana intelektual ini di satu sisi dapat saling memperkaya wawasan intelektual masing-masing. Tetapi di sisi lain, hal itu menunjukkan adanya dua kecenderungan agak sulit dipertemukan. Aktivis muda NU melakukan pembongkaran atas syari'ah dan menekankan pada aspek rasionalitas sebagai kunci liberalisasi, sedangan aktivis muda Muhammadiyah menekankan aspek spiritual.
Barangkali, perbedaan pengembangan wacana intelektual itu sedikit banyak akan menjadi kerikil yang sedikit mengganjal dalam pengupayaan proses dialog intensif guna mencari common platform yang obyektif dan spesifik dalam rangka memutuskan diri dari "konflik laten" yang turun-temurun antara aktivis muda NU dan Muhammadiyah.
Arus balik
Apa yang terjadi di tubuh NU (dan Muhammadiyah) yang tampil dengan wajah politiknya harus dipahami secara menyeluruh, termasuk konteks kesinambungan sejarah perjalanan yang pernah dialaminya. Kalaupun itu memicu reaksi kritis dan memunculkan wacana liberalisme dari angkatan muda juga merupakan hal wajar. Itulah arus balik sejarah, yang dengan itu dinamika gerakan terus berlangsung.
Selama ini, NU dikenal sebagai organisasi Islam tradisionalis dan konservatif. Citra ini dilawan gerakan berbalik oleh angkutan mudanya yang menggagas liberalisme NU. Arus balik demikian juga terjadi di tubuh Muhammadiyah yang dikenal sebagai organisasi Islam modernis-substansialis dan kurang apresiatif terhadap ajaran tasawuf/spiritualitas. Kini justru angkatan muda Muhammadiyah membangun wacana formalisme keagamaan dan spiritualitas.
Walhasil, bagaimanapun juga kita harus memberi penghargaan kepada Zuhairi atas sikap kritisnya terhadap dinamika politik di NU dan gagasannya membangun wacana baru untuk mendekatkan NU dan Muhammadiyah.
* Mutohharun Jinan, Ketua Litbang Pondok Shabran Surakarta dan staf pengajar Lembaga Studi Islam UMS.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment