Sunday, November 22, 2009

"Beyond" Puritanisme Muhammadiyah

Kompas, Rabu, 27 Maret 2002

Mutohharun Jinan

AWAL bulan ini, 4-7 Maret 2002, Muhammadiyah menggelar Halaqah Nasional ke-2 di Solo. Tema yang diangkat, "Dialektika Agama dan Pluralitas Budaya Lokal: Apresiasi terhadap Seni Lokal Nusantara". Halaqah ini tentu merupakan forum monumental bagi Muhammadiyah bila kini hendak menyusun visi baru tentang budaya dan seni lokal. Sebab, ormas Islam modernis ini dikenal sebagai institusi agama yang menampakkan wajah garang terhadap khazanah lokal.Yang menarik dari Halaqah Nasional ini adalah bertemunya para seniman kondang, seperti Zawawi Imron (sastra) Enthos Susmono (wayang), Irwansyah Harahap (musik sufi), Halilintar Lathief (seni rakyat), Sardono W Kusumo (seni pentas), Bisri Effendi, Chaerul Umam, Emha Ainun Najib, dan etnomusikolog Endo Suanda, serta Taufik Rahzen. Mereka bersama para pakar budaya dan ulama Tarjih Muhammadiyah mendiskusikan bagaimana organisasi yang berumur 90 tahun ini mengapresiasi seni lokal Nusantara yang beragam bentuknya.

Halaqah menjadi forum "pengakuan dosa" dan "pertobatan" Muhammadiyah atas pilihannya sebagai gerakan pemurnian Islam (purifikasi) yang berdampak secara tidak langsung (unintended impact) tergusurnya-untuk tidak mengatakan kematian-budaya dan kesenian lokal. Bagi Muhammadiyah, ini merupakan kerja yang tidak mudah dan sekaligus menanggung biaya kultural yang tidak kecil.

Lahan tandus kebudayaan
Dalam buku Dialektika Agama dan Pluralitas Budaya Lokal (2002), Kuntowijoyo (budayawan Muhammadiyah) menyatakan, hilangnya tradisi lokal disebabkan oleh monetisasi, komersialisasi, televisi, dan mobilitas sosial. Bukan disebabkan rasionalisasi yang dilakukaan organisasi Islam modernis seperti Muhammadiyah. Namun kenyataannya, dengan alasan pemurnian aqidah Islam, Muhammadiyah-lah yang menentang praktik-praktik tradisi lokal yang memiliki daya kohesi sosial.

Muhammadiyah telanjur menjadikan konflik dan ketegangan antara tradisi besar (Islam) dan kecil (tradisi lokal) sebagai tipologi doktrin atau paham keagamaannya. Konflik dan ketegangan itu amat tampak pada pentipologisasian sekaligus pelembagaan jargon-jargon seperti al-ruju' ila al-Quran wa as-Sunnah, purifikasi, revivalisme, dan fundamentalisme. Seluruh paham keagamaan atau ideologi keagamaannya selalu didasarkan pada etos itu. Sehingga rona wajah yang amat temaram bagi Muhammadiyah adalah wajah dengan rona dan corak yang ganas, keras, angker, tertutup, dan antiterhadap segala hal yang berbau seni, apalagi tradisi.

Puritanisme merupakan salah satu bentuk hegemoni agama terhadap budaya lokal. Proses hegemonisasi ini terjadi saat memandang agama sebagai entitas sakral, turun dari langit yang sama sekali baru dan berbeda dengan entitas budaya lokal yang dianggap profan. Agama dan budaya ditempatkan secara diametral dan tidak terjadi proses dialektika antara keduanya, tetapi yang terjadi adalah konflik dan penindasan yang satu terhadap yang lain. Puritanisme secara tidak langsung menggiring Muhammadiyah berwajah tunggal. Sebuah kenyataan yang sulit dipertahankan dalam konteks pluralitas budaya dan seni.

Selain itu, semangat puritanisme berimplikasi pada kuatnya komunalisme warga Muhammadiyah. Hal ini tampak begitu kental saat Sidang Tanwir 2002 dengan tidak sabar merekomendasikan kader terbaiknya untuk menjadi pemimpin bangsa. Mudah diduga, Amien Rais-lah kader yang dimaksud. Artinya, Muhammadiyah belum bisa melepaskan kader-kader terbaiknya meluncur "keluar" dari struktur Muhammadiyah untuk menjadi milik bangsa. Semangat puritan dan komunalisme Muhammadiyah tidak bisa memahami filosofi perguruan silat ini.

Lantaran kuatnya puritanisme tanpa disertai semangat keterbukaan menyebabkan Muhammadiyah secara serampangan menggeser seni dan budaya yang seharusnya menjadi lahan pembumian. Muhammadiyah memang bukan kuburan bagi kreativitas kesenian, tetapi setidaknya-meminjam istilah Zawawi Imron-Muhammadiyah merupakan lahan tandus bagi budaya dan kesenian lokal nusantara.

Menuju "beyond" puritanisme
Melihat betapa signifikannya ideologi puritanisme dalam proses pengebirian kearifan lokal, maka perlu ada gerakan yang membongkar visi lama sekaligus merekonstruksi visi baru kebudayaan. Gerakan ini harus mampu melakukan loncatan pemikiran kebudayaan dalam Muhammadiyah. Gerakan ini saya sebut sebagai paradigma beyond puritanisme atau post-puritanisme.

Sebagaimana beyond belief-nya Robbert Bellah, beyond puritanisme Muhammadiyah dimaksudkan sebagai gerakan yang melompati cagar ideologi puritan yang masih tumbuh subur di kalangan sebagian besar ulama dan warga Muhammadiyah-dan tentu saja ulama organisasi modernis lainnya-baik di tingkat pusat, wilayah, maupun daerah.

Untuk itu, gerakan pemikiran beyond puritanisme Muhammadiyah meniscayakan hal-hal sebagai berikut.

Pertama, membuka lebar-lebar jendela pemikiran keislaman dalam konteks budaya dan seni lokal. Upaya pelonggaran sekrup domatika pemikiran saatnya dimulai kembali agar tidak terjebak kungkungan sakralitas pemikiran yang diwariskan para pendahulunya. Muhammadiyah yang seharusnya hadir sebagai hall pemikiran dan aktivisme umat dan bangsa, selama ini terkesan telah berubah menjadi semacam "keraton" yang sakral, eksklusif, dan ideologis serta teralinasi dari dinamika sosial, umat, dan bangsa.

Secara metodologis hal ini harus dimulai dari pembongkaran visi dan paradigma lama kebudayaan Muhammadiyah yang tidak akomodatif terhadap budaya dan seni lokal. Budaya dan seni lokal tidak lagi ditempatkan secara berhadap-hadapan dengan doktrin agama secara tekstual-fiqiyah yang cenderung bersifat menghakimi. Sebaliknya, melihat seni dan budaya lokal sebagai kenyataan yang harus diakomodasi dalam rangka lokalisasi nilai-nilai Islam.

Kedua, menggali kecerdasan lokal dan menggalang gerakan desentralisasi/lokalisasi agama. Temuan Dr Abdul Munir Mulkhan (2000) di Jember, Jawa Timur, cukup mengejutkan warga Muhammadiyah. Tesis Mulkhan menunjukkan, Islam murni-yakni Muhammadiyah-dalam konteks budaya lokal tidak menampakkan wajah tunggal, tetapi tampil dengan varian beragam. Beragamnya varian pengikut Muhammadiyah merupakan visualisasi dari kecerdasan lokal melalui proses dialektik antara Islam dan pluralitas budaya.

Varian (al-Ikhlas, KH Dahlan, Muhammadiyah-NU, Muhammadiyah-nasionalis) itu juga menunjukkan, artikulasi keagamaan ternyata tampil dengan membawa warna lokal. Di sinilah perlunya desentralisasi agama baik secara kelembagaan maupun produk fatwa sosial yang dihasilkan. Desentralisasi agama dalam konteks budaya lokal membuka ruang lebar bagi tumbuhnya kreativitas dan inovasi dari bawah dalam merespons dan menyelesaikan persoalan yang muncul di kawasan lokal dengan kekentalan budaya masing-masing.

Secara antropologis, gerakan keagamaan pada akhirnya adalah gerakan kebudayaan karena manifestasi akhir dari perilaku seseorang tampil dalam ranah budaya. Jika agama tidak mampu mengaktualisasi diri dalam wadah budaya sebagai gerakan emansipatoris, maka agama akan ditinggalkan orang. Karena itu, tugas ulama Muhammadiyah dan umat Islam umumnya adalah bagaimana membudayakan Islam-bukan mengislamkan budaya-sehingga Islam lalu menjadi pohon peradaban yang akarnya di Bumi. Ini berarti Islam perlu membuka diri secara pro-eksistensif dan akomodatif terhadap dinamika lokal.

Ketiga, membangun jaringan kebudayaan dengan kalangan seniman dan budayawan, misalnya, dilakukan dengan cara mendirikan sanggar-sanggar budaya. Sebagai sebuah gerakan pemikiran, beyond puritanisme tentu saja memerlukan infrastruktur yang memadai dalam proses aktualisasinya. Infrastruktur bisa dimulai dari Perguruan Tinggi Muhammadiyah dengan membuka fakultas atau jurusan seni dan budaya.

Beyond puritanisme dengan ketiga agenda itu akan dapat mengawal proses dialektik Islam dan budaya lokal yang emansipatoris. Ini merupakan bagian dari salah satu kerja dan kekayaan Islam di masa depan, yang mencoba mengawinkan nilai-nilai Islam yang universal tanpa harus terjebak proses pemiskinan kultural, sebagaimana telah dilakukan Muhammadiyah dan sebagian golongan modernis Muslim selama ini. Hingga pemiskinan kultural dimaksud, berakibat munculnya perlawanan kultural, terutama di wilayah yang rawan konflik.

Penulis adalah Pengajar di Pondok Shabran Solo dan penggiat pada Pusat Studi Budaya Universitas Muhammadiyah Surakarta

No comments:

Post a Comment