Rabu, 19 Desember 2001
Oleh Syamsul Arifin
APAKAH orientasi budaya keagamaan Muhammadiyah bersifat monolitik, atau multikulturalistik? Atas pertanyaan ini, bisa diduga, sebagian besar jawaban akan memosisikan Muhammadiyah sebagai gerakan keagamaan yang monolitik. Adalah wajar bila Muhammadiyah diposisikan dalam orientasi demikian, karena sejak dilahirkan 18 November 1912, dalam dirinya melekat kuat suatu identitas, sekaligus menjadi pilihan strategi dalam mengembangkan ajaran Islam di Tanah Air, yang disebut Islam murni. Inilah salah satu ciri yang menonjol dalam diri Muhammadiyah, selain modernisme.
Rupanya, dalam sejarah gerak dinamis Muhammadiyah, kedua ciri itu membentuk suatu dialektika yang memperkokoh ciri Muhammadiyah sebagai gerakan keagamaan yang monolitik, terutama dilihat dari cara merespons Muhammadiyah terhadap tradisi lokal, baik yang disebut dengan tradisi itu murni sebagai bentuk local genius, maupun tradisi yang sudah beramalgamasi dengan anasir keagamaan (Islam).
Pilihan paradigma Muhammadiyah sebagai gerakan Islam murni dan modern, sebenarnya merupakan pilihan cerdas dilihat dari realitas yang terjadi saat Muhammadiyah ada pada dekade awal perkembangannya. Beberapa kajian historiografi Islam di Indonesia, menyajikan suatu fakta historis mengenai artikulasi Islam yang terpaksa mengambil antara lain pola sinkretik sebagai konsekuensi dari strukturisasi kultural yang dilakukan lebih awal oleh agama lain sebelum Islam berkembang pesat di bumi Nusantara.
Dengan perkembangan demikian, dalam masyarakat Islam tidak saja berkembang praktik keagamaan apa yang kemudian oleh Muhammadiyah diberi label TBC (takhayul, bid'ah, dan khurufat), tetapi juga mengakibatkan tidak berkembangnya ide-ide perubahan sosial. Dengan kata lain, faham dan praktik keagamaan itu makin mengukuhkan sikap tradisional masyarakat, selain mempersempit ruang gerak masyarakat dalam melakukan perubahan. Dari segi ini, pembaruan yang dilakukan Muhammadiyah dengan cara memurnikan kembali Islam dari TBC, tidak saja bermanfaat bagi kepentingan kemurnian ortodoksi ajaran Islam, tetapi juga dapat membebaskan masyarakat dari kungkungan sikap tradisional yang antara lain dipengaruhi sikap keagamaan. Dan dengan begitu, ide-ide dan semua proses perubahan dapat dikembangkan.
***
PARADIGMA yang dipilih Muhammadiyah ternyata menuai keberhasilan menggembirakan, setidaknya dirasakan kalangan Muhammadiyah sendiri. Ini antara lain bisa diamati pada model pendidikan yang dikembangkan Muhammadiyah yang sejak awal menggunakan pendekatan modern, meski di sisi lain tetap mempertimbangkan otentisitasnya sebagai pendidikan Islam. Kemajuan Muhammadiyah di bidang pendidikan mulai dari jenjang pendidikan prasekolah sampai jenjang perguruan tinggi, cukup berhasil menciptakan mobilisasi sosial di kalangan umat Islam.
Selain itu, yang tidak bisa diabaikan dari institusi pendidikan Muhammadiyah adalah munculnya suatu lapisan masyarakat yang bisa disebut civil Islam, tanpa Muhammadiyah harus mengklaim sebagai gerakan civil society. Ini bisa dibuktikan ketika kehidupan politik penuh carut-marut di Tanah Air disertai konflik horizontal, warga persyarikatan Muhammadiyah memperlihatkan kedewasaan politik, meski banyak warga Muhammadiyah yang menjadi sasaran amuk massa seperti terjadi di Jawa Timur beberapa waktu lalu. Prestasi ini kurang lebih sama juga diraih Muhammadiyah di bidang pelayanan sosial seperti pelayanan kesehatan dan panti asuhan.
Namun, selain sejumlah aktiva yang diraih Muhammadiyah berkat pilihan paradigmanya itu, Muhammadiyah juga mencatat sejumlah pasiva yang kemudian dibaca kalangan dalam Muhammadiyah (insiders) dan pihak luar (outsiders) sebagai titik lemah Muhammadiyah yang pantas dikritik, meski di sini sebenarnya terjadi generalisasi yang bisa dikatakan sebagai fallacy karena Muhammadiyah dinilai antikebudayaan secara in totum. Dikatakan fallacy karena yang disebut kebudayaan sebenarnya memiliki ranah amat luas. Sementara kritik Muhammadiyah terbatas pada apa yang sebut Ernest Gellner dengan little tradition yang berpotensi menghambat bersemainya ide-ide pembaruan dan perubahan. Tetapi, alasan ini belum cukup menepis anggapan terhadap Muhammadiyah sebagai gerakan keagamaan yang mengambil posisi binary opposition dengan kebudayaan. Bahkan, kesan resistensi Muhammadiyah lebih firm dan mungkin lebih harsh terhadap budaya belakangan ini semakin menguat.
Mengapa kritik terhadap sikap budaya Muhammadiyah akhir-akhir tampak begitu menguat? Pertama, karena adanya harapan, bila tidak dikatakan desakan, agar orientasi dakwah Muhammadiyah juga menggarap masyarakat tradisional, terutama yang berbasis di pedesaan, sehingga basis massa Muhammadiyah lebih heterogen. Ada pesimisme, harapan ini bisa dipenuhi jika Muhammadiyah tetap bertahan dengan paradigma Islam murninya yang rigid dan eksklusif, sementara masyarakat pedesaan sudah terstrukturisasi dengan nilai-nilai dan praktik budaya tradisional. Kedua, di tingkat aras pemikiran global, akhir-akhir ini berkembang wacana multikulturalisme yang agaknya mulai memasuki dunia keagamaan.
***
MESKI dalam teori sosial penggunaan wacana multikulturalisme, menurut Charles Lemert (George Ritzer & Barry Smart, Handbook of Social Theory, 2001) membingungkan, tetapi dari wacana yang berkembang di Indonesia, multikulturalisme rupanya ingin dijadikan paradigma baru dalam merajut kembali hubungan antarmanusia yang belakangan selalu hidup dalam suasana penuh konfliktual. Inti dari multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain sebagai kesatuan, tanpa memedulikan keragaman budaya yang dimilikinya.
Konsekuensi penerimaan multikulturalisme adalah kesediaan untuk memberi apresiasi konstruktif terhadap segala bentuk tradisi budaya termasuk kesenian. Dapatkah Muhammadiyah mengembangkan multikulturalisme, sementara pada saat yang sama kurang mengembangkan apresiasi tradisi budaya termasuk yang berperspektif lokal? Kira-kira begitulah pertanyaan masyarakat terhadap Muhammadiyah. Pertanyaan ini jelas mengandung nada keraguan.
Menghadapi keraguan dan kritik itu, bukan berarti Muhammadiyah tinggal diam. Tidak banyak yang tahu, terutama pihak luar, dalam lingkungan internal Muhammadiyah terjadi discourse serius untuk merumuskan kembali orientasi Muhammadiyah dalam menghadapi tuntutan yang berkembang, baik yang muncul dari kalangan dalam Muhammadiyah sendiri maupun dari luar. Sebagai orang yang ada di lingkungan internal Muhammadiyah, penulis menangkap adanya itikad kuat warga persyarikatan agar Muhammadiyah segera melakukan pembaruan.
Momen-momen penting sebagai indikasi terjadinya perubahan dan pembaruan dalam diri Muhammadiyah yang bisa dikemukakan di sini antara lain pertama, Muktamar ke-43 Muhammadiyah di Aceh pada tahun 1995. Dalam muktamar ini, Muhammadiyah melakukan pengembangan pada salah satu majelisnya, yaitu majelis tarjih menjadi Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (MTPPI). Semenjak muktamar itulah think tank Muhammadiyah terus menggodok manhaj (metodologi) pengembangan pemikiran Islam. Hasilnya, sebagai momen kedua, pada Muktamar ke-44 Muhammadiyah di Jakarta, 8-11 Juli 2000. Pada muktamar ini berhasil dirumuskan Manhaj Pengembangan Pemikiran Islam.
Jika dicermati isi manhaj itu, terutama pada poin Prinsip Pengembangan Pemkiran Islam, dan Kerangka Metodologi Pengembangan Pemikiran Islam, maka tidak terlalu berlebihan jika dikatakan, orientasi multikulturalisme Muhammadiyah begitu tampak. Pada salah satu prinsipnya misalnya, ada konsep 'alamiyah (global) dan mahaliyah (lokal). Dengan prinsip ini, Muhammadiyah mengupayakan pengembangan pemikiran dan manhaj yang memungkinkan adanya atau keharusan memperhatikan aspek global-universal dan lokal-partikular. Dengan prinsip ini, terbuka peluang bagi Muhammadiyah melakukan apresiasi lebih memadai terhadap tradisi (turats) dalam pengertian luas.
Jadi, wacana yang sedang berkembang dalam Muhammadiyah adalah ke arah wacana yang kini banyak mengundang antusiasme pemikir Islam di Indonesia, yaitu post-tradisionalisme Islam. Tentu saja di masa-masa datang, Muhammadiyah dituntut terus memperkaya pemikiran keislaman sebagai konsekuensi pilihan sadar Muhammadiyah mengembangkan kerangka metodologi yang berbasis tradisi bayani, irfani, dan burhani.
* Syamsul Arifin, Kepala Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) Lembaga Penelitian (Lemlit) Universitas Muhammadiyah Malang; anggota Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (MTPPI) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment