Sabtu, 12 Februari 2000
Oleh Abd Rohim Ghazali
TULISAN pejabat sementara (Pjs) Ketua Departemen Litbang DPD PAN DIY, Ali Rikzatillah Audah, "PAN: Di Ujung Tanduk Pragmatisme Politik" (Kompas, 8/2) menarik dicermati. Analisisnya di seputar pergaulan internal partai pada saat-saat penetapan nama-nama (calon) anggota legislatif, cukup menukik dan faktual. Cuma, ada sedikit ambiguitas penyederhanaan logika ketika Audah mencoba menempatkan ungkapan pragmatisme politik (secara tersirat) sebagai bahaya bagi PAN. Padahal, seideal apa pun PAN tetaplah partai politik yang tidak bisa lepas dari pragmatisme politik. Jangan lupa, meskipun tidak tercantum dalam platformnya, tujuan jangka pendek didirikannya PAN adalah untuk mengantarkan Amien Rais menjadi presiden.
Dalam proses awal berdirinya PAN, jika saja Amien Rais berketetapan tidak ingin jadi presiden, atau memilih "kendaraan politik lain" misalnya PPP (dia sudah menandatangani kesediaan menjadi ketua Dewan Pakar) niscaya PAN tidak jadi lahir. Ungkapan para penggagas PAN saat itu (termasuk Feisal Basri), without Amien Rais PAN is nothing. (Suatu kondisi yang sangat ironis bagi cikal bakal partai reformis). Nah dari sejarah awal berdirinya ini, sangat gamblang bahwa PAN juga punya tujuan yang sangat pragmatis. Itu yang pertama.
Kedua, yang ingin saya garis bawahi dari tulisan Audah, ia mencoba menjawab pertanyaan, mengapa PAN terjebak pada pragmatisme politik? Karena ada dua aspirasi yang berbeda. Pertama, yang dibawa sebagian anak muda dan aktivis partai yang umumnya berasal dari alumni HMI atau pun LSM, dan kedua, aspirasi yang dibawa aktivis partai yang berasal dari Muhammadiyah dan organisasi otonomnya (alinea V). Kalau yang pertama menginginkan konsistensi PAN pada asas pluralismenya, maka yang kedua menginginkan PAN menjadi partai Islam atau paling tidak berasas Pancasila plus iman dan takwa (alinea IV).
Disadari atau pun tidak, di sini Audah telah menempatkan aktivis PAN yang berasal dari HMI dan LSM berada pada posisi yang berlawanan dengan aktivis PAN yang berasal dari Muhammadiyah. Penyederhanaan logika semacam ini sebenarnya sah-sah saja untuk mempermudah analisis identifikasi siapa "kawan" dan "lawan", tetapi menjadi persoalan ketika Audah berasumsi (baca, menuduh) para aktivis PAN yang berasal dari Muhammadiyah berupaya mengubah asas partai ke arah yang lebih religius sebagai alat legitimasi untuk merebut kekuasaan (alinea V). Tuduhan ini terasa kurang fair, karena, di samping hanya berdasarkan fakta lokal (bersifat kasuistik) seolah-olah Audah ingin beropini bahwa, berbeda dengan aktivis PAN yang berasal dari Muhammadiyah, para aktivis yang berasal dari HMI dan LSM tidak memiliki pragmatisme politik untuk meraih kekuasaan.
Apa benar begitu? Saya ragu, karena setahu saya, justru elite PAN yang berasal dari HMI atau LSM yang gencar mengkampanyekan perubahan asas PAN. Sebut saja AM Fatwa, di samping berasal dari HMI ia adalah mantan aktivis Petisi 50. Uniknya, ketika ia mengkampanyekan keinginannya itu, hampir selalu mengatasnamakan sebagai aktivis Muhammadiyah, karena kebetulan beliau adalah ketua Korps Muballigh Muhammadiyah.
Saya terpaksa mengungkapkan fakta ini, maksudnya agar kita sama-sama introspeksi untuk tidak menyalahgunakan satu sama lain. Yang berkeinginan untuk mengubah asas PAN, tidak bisa digeneralisasi dengan menunjuk hidung ke arah kelompok tertentu. Demikian juga munculnya para "petualang politik" dalam PAN, tidak bisa diasosiasikan pada satu kelompok saja. Karenanya pula, tidak menguntungkan untuk memperpanjang perdebatan ini.
Selanjutnya, saya ingin mencoba menganalisis PAN dari sudut pandang lain, yang tentu masih berkaitan dengan tulisan Ali Audah.
Dilema PAN
Ketika dikaitkan dengan "suasana psikologis" pada sejarah awalnya, seperti diungkap sedikit di awal tulisan ini, berdirinya PAN memang tidak bisa lepas dari Amien Rais. Sedangkan posisi Amien Rais tidak bisa lepas dari Muhammadiyah. Seperti pernah diungkapkan Amien Rais sendiri, tanpa seizin Muhammadiyah, sebagai ketua Muhammadiyah dia tidak mungkin bisa memimpin PAN. Artinya, tak sepenuhnya salah jika ada yang berpendapat bahwa, jika NU yang melahirkan PKB, maka Muhammadiyah adalah yang melahirkan PAN. Jika dalam Tanwir 1998 di Semarang Muhammadiyah tidak rela melepaskan Amien Rais, mungkin PAN tidak jadi berdiri.
Ilustrasi ini menunjukkan betapa keberadaan PAN tidak bisa dilepaskan dari Muhammadiyah. Apalagi, secara simbolis pun ada kesamaan, seperti tercermin dalam lambangnya yang sama-sama gambar matahari.
Nah, posisi demikian itulah yang membawa PAN berada pada dua dilema yang harus dihadapi; di satu sisi, (1) sebagai partai inklusif, PAN meniscayakan pluralisme; (2) sebagai partai reformis PAN juga harus mengikis budaya fanatisme golongan dan kultus individu. Sementara itu di sisi lain (1) PAN membutuhkan institusi Muhammadiyah, sebagai fasilitator berdirinya wilayah, daerah, cabang dan ranting, sekaligus sebagai basis pendukung utamanya, sedangkan Muhammadiyah adalah organisasi dakwah Islam yang getol membendung Kristenisasi, di samping itu Muhammadiyah juga tidak rela hanya dijadikan "alat fasilitator" saja oleh PAN; dan (2) sebagai partai yang ikut pemilu, PAN membutuhkan dukungan suara yang banyak dan luas. Padahal PAN juga berada pada situasi masyarakat Indonesia yang masih berada pada level - meminjam istilah Kuntowijoyo - ideologis. Pada masyarakat ideologis, efektivitas penggalangan dukungan hanya bisa dibangun melalui fanatisme ideologis dan fanatisme figur sentral yang mengarah pada kultus individu.
Kontekstualisasi platform
Bagaimana agar PAN bisa keluar dari kedua dilema di atas tanpa menderita kerugian, misalnya dengan melepas hubungan dengan Muhammadiyah, atau melepaskan diri dari Amien Rais sebagai figur sentralnya.
Menurut saya, yang paling realistis, pertama, sembari mempertahankan platformnya PAN harus fleksibel, dalam artian mampu mengkontekstualisasikan platformnya. Misalnya dalam hal mempertahankan inklusivitas. Pluralisme tidak harus diartikan secara zakelijk, dengan memasang kata "harus". (Sejatinya, kata "harus" tidak ada tempatnya dalam demokrasi). Pluralisme harus diterapkan dengan prinsip kontekstual-proporsional. Dalam memilih pimpinan atau calon legislatif misalnya, harus didasarkan pada proporsionalitas kondisi obyektif masyarakatnya. Cara menetapkannya memang tidak mudah. Tapi itu tidak apa-apa karena upaya membangun budaya demokratis memang sulit. Cuma saja, sesuatu yang sulit bukan berarti tidak mungkin bisa dijalankan. Hal itu bisa dijalankan, misalnya dengan melakukan riset secara cermat, siapa saja sebenarnya yang menjadi pendukung PAN. Benarkah sebagian besar dari kalangan Muhammadiyah, atau dari kelompok lain. Nah, angka-angka yang dihasilkan dari riset lapangan itulah yang bisa dijadikan landasan paling absah untuk menentukan siapa-siapa atau dari kelompok mana saja yang punya hak memimpin dan menjadi (calon) anggota legislatif utusan PAN. Riset ini, jika mau digalakkan, hasilnya akan memiliki manfaat ganda, di samping sebagai alat legitimasi untuk menepis klaim-klaim dukungan, juga bisa dijadikan rujukan untuk sosialisasi partai agar tepat sasaran.
Kedua, sebagai partai yang juga bertujuan jangka panjang, yakni pendidikan politik rakyat, PAN juga harus sabar. Dalam artian, menghadapi budaya masyarakat yang masih kental ikatan ideologis dan kultus individunya, PAN harus berhati-hati dalam memilih idiom-idiom agar tidak menimbulkan rasa antipati pada masyarakat. Untuk mengikis budaya masyarakat yang sudah berurat berakar tidaklah mudah, memerlukan waktu yang panjang, di sinilah perlunya kesabaran. Harus disadari, sebagai partai, PAN tidak berada di ruang akademis, tapi berada di tengah-tengah kondisi masyarakat yang tidak semuanya menyadari akan kebodohan dirinya.
Saya sendiri belum punya resep yang mujarab untuk mengatasi budaya feodal yang masih ada di tubuh PAN semacam fanatisme (Muhammadiyah atau Islam) dan kultus individu (pada Amien Rais) ini. Karena saya kira hal ini terkait erat dengan sistem secara umum dari bangsa kita yang masih lekat dengan budaya feodalisme. Artinya, tak hanya diderita PAN. Karena terkait dengan budaya secara umum, cara penanggulangannya pun harus melalui perbaikan sistem pendidikan secara umum. Misalnya dengan menghapus sistem indoktrinasi yang sangat potensial melahirkan budaya fanatisme dan kultus yang tidak rasional, dan mengubahnya dengan sistem andragogis-transformatif yang telah terbukti berhasil diterapkan di negara-negara maju yang lebih rasional. Artinya, sekali lagi membutuhkan waktu panjang dan tidak gampang.
Kalau mau jalan pintas, untuk terlepas dari dua dilema di atas, sebenarnya bisa saja, misalnya PAN berketetapan diri melepaskan sama sekali dari Muhammadiyah, dan mengganti Amien Rais dengan tokoh yang mungkin memiliki kepandaian dan kecerdasan yang sama, tapi tidak memiliki pendukung yang fanatik. Akan tetapi, apakah hal itu tidak kontraproduktif bagi perkembangan PAN? Menurut saya untuk sementara ini, yang terbaik bagi PAN adalah mengambil jalan tengah: mempertahankan platform dengan tetap mempertahankan Muhammadiyah sebagai basis dukungan, dan tetap mempertahankan Amien Rais sebagai figur sentralnya. Soal Amien Rais mau ditempatkan di posisi yang tetap (ketua umum DPP), atau di posisi ketua Majelis Pertimbangan Partai (MPP), serahkan saja keputusannya pada peserta kongres. Itulah demokrasi. Wallahu'alam!
(* Abd Rohim Ghazali, fungsionaris PP Pemuda Muhammadiyah dan Presidium Pusat Barisan Muda PAN.)
Monday, November 23, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment