Monday, November 23, 2009

Muhammadiyah sebagai Pilar Civil Islam di Indonesia

Suara Muhammadiyah, 11-12-2008

Dr. Phil. Ahmad-Norma Permata

(Alumni Pondok Muhammadiyah Hajjah Nuriyah Shabran, meraih gelar Doktor Ilmu Politik dari Universitas Muenster, Jerman)

Pendahuluan

Tahun ini, tepatnya tgl 18 November, Muhammadiyah genap berusia 99 tahun. Selama kurun waktu tersebut, sudah banyak yang disaksikan oleh Muhammadiyah. Ia pernah menjadi saksi bangkitnya gerakan nasionalisme politik yang berpuncak pada pembentukan Dewan Rakyat (Volksraad) 1918 sebagai wadah konstitusional perjuangan kemerdekaan; momen Soempah Pemoeda 1928 yang menandai lahirnya generasi baru pemimpin nasionalis era Sukarno dan Hatta; menyaksikan lahirnya Republik Indonesia 1945 sebagai sebuah negara yang berdaulat; menjadi saksi kejatuhan Sukarno tahun 1966 dan bangkitnya rezin Orde Baru di bawah kepemimpinan presiden Suharto; dan juga menjadi saksi berakhirnya kekuasaan Suharto tahun 1998 oleh desakan gerakan reformasi.

Selama kurun waktu itu pula sudah cukup banyak yang dilakukan oleh Muhammadiyah untuk umat Islam dan untuk bangsa Indonesia. Ia menjadi pioneer gerakan Islam modern yang membedah kejumudan dan menganjurkan pemikiran yang apresiatif dan reseptif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan peradaban. Ia menjadi gerakan sosial keagamaan yang menolong jutaan orang Indonesia dengan menyediakan sarana pendidikan, kesehatan dan kebutuhan soaial lainnya. Muhammadiyah bahkan terlibat aktif dalam berbagai proses politik sejak era Sarekat Islam; ikut dalam pembentukan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI, 1937) dan perubahannya menjadi Maejlis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI) atas inisitatif penguasa Jepang 1943; berpartisipasi dalam metamorfisis Masyumi pada tahun 1945 menjadi partai politik terbesar di jaman pasca kemerdekaan. Muhammadiyah juga aktif dalam upaya yang gagal dalam merehabilitasi Masyumi, serta menjadi bidan lahirnya Partai Muslim Indonesia (Parmusi) tahun 1967. Dan Muhammadiyah juga aktif dalam melahirkan gerakan reformasi yang menyudahi pemerintahan otoriter Orde Baru dan lahirnya kembali demokrasi di negeri Muslim terbesar ini.

Sebagai sebuah organisasi, Muhammadiyah bisa dikatakan cukup usia dan banyak pengalaman. Namun tidak berarti tugas dan pekerjaan menjadi makin mudah dan ringan. Justru tantangan makin berat, di tengah situasi yang berubah makin cepat.

Diantara problem pelik yang muncul ke permukaan adalah peran yang harus dimainkan oleh organisasi ini di Indonesia abad ke-21 yang sedang menjalankan proses lanjut demokratisasi. Indonesia sudah diakui sebagai negeri demokrasi utama di dunia Islam, dan negeri demokrasi terbesar ketiga—setelah India dan Amerika. Di tengah upaya menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih teratur, terbuka dan adil, Muhammadiyah harus mampu memilih peran yang tepat. Peran yang sejalan dengan cita-citanya, sekaligus sesuai dengan kapasitasnya. Tulisan ini akan mengusulkan bahwa peran terbaik bagi Muhammadiyah adalah sebagai organisasi sipil yang aktif memperjuangkan kepentingan umat dan bangsa; dan bukan organisasi politik yang terlibat dalam perebutan kekuasaan.

Faktor Genetis Organisasi

Sebuah common wisdom bagi siapa saja yang ingin berprestasi, adalah ia harus bisa menemukan peran yang sesui dengan bakat dan karakter yang dimiliki. Dan hikmah ini juga berlaku bagi Muhammadiyah. Barangkali banyak yang belum tahu bahwa sebuah organisasi memiliki bakat dan sifat-sifat bawaan layaknya anak manusia. Adalah ilmuwan politik dari Itali bernama Angelo Panebianco—dalam bukunya Organisation and Power (1988)—yang menyatakan bahwa sebuah organisasi memiliki sifat bawaan seperti bayi manusia, yang akan mempengaruhi watak dan perilaku sepanjang hidupnya. Ia menyebutnya faktor bawaan (genetic facors). Faktor bawaan tersebut tidak lain adalah karakter awal sebuah organisasi ketika ia dirumuskan oleh para pendirinya, yang akan menjadi identitas sekaligus karakter dasar organisasi yang bersangkutan.

Kalau kita cermati, ada dua sifat bawaan Muhammadiyah: (a) gerakan sosial, (b) gerakan non-politis. Poin pertama, Muhammadiyah merupakan sebuah organisasi sosial, atau yang tepatnya organisasi kesejahteraan (welfare organization) yaitu organisasi yang menyediakan layanan-layanan sosial kepada masyarakat yang memerlukan. Sehingga, meskipun sekarang ini Muhammadiyah memiliki Amal Usaha yang sangat banyak dan masih terus berkembang—sekita 12.000 sekolah, 167 Universitas dan Akademi, sekitar 600 rumah sakit dan poliklinik—yang secara ekonomi bernilai tinggi, Muhammadiyah tidak pernah mengukur kesuksesan dengan jumlah sisa pendapatan dikurangi biaya produksi, melainkan pada kapasitas dan kualitas pelayanan publik. Singkatnya, meski mampu menghasilkan banyak uang, Muhammadiyah tidak akan bisa diubah menjadi lembaga pencari laba.

Sifat dasar kedua yang dibawa sejak lahir, adalah Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan non-politis. Sifat non-politis ini memang disengaja oleh K.H. Ahmad Dahlan sebagai salah satu strategi utama agar organisasi dan gerakan Muhammadiyah bisa survive. Andai Muhammadiyah memilih menjadi gerakan politik seperti SI, tentu tantangan yang dihadapi akan jauh lebih berat. Namun dengan memilih menjadi gerakan non-politis Muhammadiyah bukan saja diijinkan berkembang, tapi bahkan mendapatkan subsidi dari pemerintah Belanda untuk mengembangkan amal usaha.

Sebagai konsekuensinya, sifat non-politis ini juga melekat dan mengikat perilaku organisasi. Muhammadiyah tidak pernah bisa terlalu dalam terlibat ke dalam politik praktis. Ketika jaman kejayaan Sarekat Islam, tokoh-tokoh Muhammadiyah ikut memainkan peran penting dalam perkembangan SI hingga perubahannya menjadi Partai Sarekat Islam (PSI), tahun 1921. Namun tahun 1926 orang-orang Muhammadiyah dikeluarkan dari PSI karena tidak setuju kebijakn non-kooperatif yang dijalankan partai. Selama era Masyumi, Muhammadiyah juga menjadi organisasi anggota. Namun tampaknya peran Muhammadiyah lebih sebagai supporter, dan lebih sibuk mengerjakan agenda-agenda internalnya sendiri, semisal perdebatan sistem pendidikan tinggi antara K.H. Mas Mansur yang menginginkan Muhammadiyah mengembangkan Zawiyah (pesantren a la Afrika Utara) v.s. Mulyadi Joyomartono yang mengusulkan pembangunan Universitas modern, yang muncuat di tahun 1950-an.

Demikian juga ketika pemerintah Orde Baru menolak merehabilitasi Masyumi, dan para politisi Muslim mendirikan Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI) dengan dua petinggi Muhammadiyah, Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun menjadi ketua umum dan Sekretaris Umum, Muhammadiyah masih tetap lembam menjadi gerakan sosial, dan tidak banyak tersedot dalam aktivisme politik praktis. Terakhir, ketika Amien Rais tokoh pujaan warga Muhammadiyah tampil menjadi bapak reformasi, dan berkeputusan mendirikan partai politik, Muhammadiyah tetap tidak bisa dimobilisasi untuk politik praktis.

Civil Islam dan Demokrasi

Lalu, akankah Muhammadiyah mencukupkan diri tidak berpolitik? Sebenarnya bagi Muhammadiyah istilah ‘tidak berpolitik’ adalah sebuah kontradiksi istilah (contradictio in terminis). Karena secara semantik, kata “politik” merupakan sebuah istilah yang mencakup negasinya sendiri. Artinya, tidak berpolitik merupakan sebuah pilihan dan tindakan politis. Sehingga tidak tepat untuk mengatakan Muhammadiyah tidak perlu berpolitik, karena itu memang tidak mungkin. Yang lebih tepat, adalah bahwa Muhammadiyah tidak perlu “berpolitik praktis” atau yang dalam studi politik disebut “politik partisan” (partisan politics).

Istilah “politik” secara umum merujuk kepada proses perjuangan dan kontestasi kepentingan. Dan dalam hal ini tentu saja Muhammadiyah senantiasa terlibat dalam upaya memperjuangkan kepentingan umat Islam. Sejak kelahirannya Muhammadiyah menjadi yang terdepan memperjuangkan pendidikan modern di kalangan umat Islam. Tahun 1932 Muhammadiyah aktif menentang kebijakan Onderwijs Ordonantie dari pemerintah kolonial yang mwajibkan guru agama disertivikasi pemerintah. Tahun 1975 melalui tokohnya seperti Buya Hamka Muhammadiyah aktif memperjuangkan penolakan terhadap UU No 1/1974 tentang Perkawinan yang tidak sejalan dengan Islam; ikut memperjuangkan UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional 1989 yang menghilangkan larangan siswi Muslim mengenakan jilbab; dan juga aktif dalam mendorong proses pengesahan UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur pengajaran agama di sekolah harus sesuai agama siswa. Semua itu merupakan wujud keterlibatan langsung Muhammadiyah dalam proses-proses politik memperjuangkan kepentingan umat Islam.

Sedangkan politik praktis secara lebih khusus merujuk kepada proses perebutan kekuasaan. Politik praktis merupakan proses dimana aktor-aktor politik terlibat dalam upaya perebutan kekuasaan. Ini adalah tugas dan pekerjaan organisasi politik, seperti partai politik, kelompok kepentingan (interest groups) dan sebaginya.

Dalam system politik demokrasi, semua kelompok di masyarakat berhak memperjuangkan kepentingan mereka, dan ikut dalam perebutan kekuasaan sesuai kapasitasnya masing-masing. Konsekuensinya, setiap calon harus pemimpin siap untuk menjadi pemimpin bangsa dan buka hanya golongannya sendiri saja. Sehingga organisasi politik harus pandai-pandai merangkum (aggregating) ragam kepentingan yang ada di masyarakat ke dalam sebuah program yang komprehensif. Sebuah partai Islam, misalnya, jika ingin memegang kekuasaan harus mampu bukan hanya mampu memperjuangkan agenda politik kelompoknya, melainkan juga bersedia mengakomodir agenda politik umat agama lain.

Dan tentu saja masyarakat tidak pernah statis, kelompok-kelompok berkembang dan jatuh silih berganti. Sehingga, ragam kepentingan yang muncul di masyarakat juga selalu berubah dan tidak pernah mapan. Akibatnya, organisasi politik dituntut untuk selalu mengikuti perubahan konstelasi kepentingan di masyarakat, dan menyesuaikan program-program mereka dengan perubahan konstelasi kepentingan ini. Arah kebijakan organisasi politik akan selalu bergeser dan ubah-berubah sejalan dengan trend kepentingan yang ada. Sehingga kita mengenal istilah: dalam politik tidak ada kawan atau lawan abadi, yang ada adalah kepentingan yang abadi.

Politik praktis atau politik partisan yang berorientasi pada perebutan kekuasaan bukanlah bidang garap yang cocok bagi Muhammadiyah, karena jelas tidak sesui dengan watak dasarnya. Upaya untuk membawa Muhammadiyah ke arah politik partisan pasti tidak akan efektif, karena struktur organisasi memang tidak memungkinkan untuk itu; atau kalaupun bisa akan berbiaya sangat tinggi sehingga tidak lagi menarik untuk dijalani. Sehingga lebih baik bagi Muhammadiyah untuk istiqomah menjadi gerakan sipil.

Lagipula, masyarakat sipil dan masyarakat politik, meskipun memiliki fungsi yang berbeda, merupakan dua elemen dasar yang sama-sama penting bagi perkembangan demokrasi. Memainkan peran sebagai gerakan sipil sama sekali tidak akan mengurangi nilai dan sumbangsih Muhammadiyah bagi upaya konsolidasi demokrasi. Dalam demokrasi, masyarakat sipil menjadi tempat persemaian budaya kewargaan (civil culture) dimana orang belajar nilai-nilai dan tata-cara kehidupan yang beradab.

Ada sebuah buku cukup terkenal yang dengan akurat menjelaskan peran dan fungsi gerakan sipil, ditulis oleh seorang ilmuwan politik Amerika, Robert Putnam, berjudul Making Democracy Works: Civic Tradition in Modern Italy (1993), yang menceritakan kehidupan social-politik-ekonomi masyarakat Itali. Dalam telaah Putnam masyarakat Itali terbagi menjadi dua: wilayah utara yang makmur dan damai, serta wilayah selatan yang miskin dan penuh kekerasan. Dalam kajian Putnam ditemukan bahwa perbedaan nasib tersebut merupakan hasil dari sejarah yang memang berbeda. Masyarakat Itali Utara memiliki tradisi kewargaan (civic cultures) dan modal social (social capital) yang baik. Mereka ini memiliki tradisi untuk berinteraksi dan berebut kepentingan melalui mekanisme yang damai dan beradab. Sementara masyarakat Selatan tidak memiliki tradisi keberadaban tersebut, dan lebih terbiasa dengan kekerasan dan kekuatan yang melahirkan tradisi Mafioso. Kajian Putnam membuktikan bahwa peran organisasi sipil sangat penting bagi suksesnya demokrasi dan terwujudnya masyarakat yang beradab, makmur dan damai.

Penutup

Indonesia saat ini sudah diakui sebagai negara demokrasi, yang terbesar ketiga di dunia dan yang terdepan di dunia Islam. Istilah demokrasi tidak selalu identik dengan ‘sistem politik Barat’, melainkan sebagai sistem yang “stabil. adil dan transparan”. Stabil, dimana dinamika sosial politik yang terjadi tidak sampai mengganggu dasar-dasar kehidupan berbangsa. Adil dimana semua golongan memiliki hak yang sama untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Transparan berarti proses-proses politik dilaksakan secara terbuka dengan melibatkan partisipasi masyarakat; dan media massa memiliki hak hidup untuk menyiarkan informasi secara objektif dan menyuarakan opini yang berbeda dengan penguasa.

Sebagai salah satu organisasi Islam terbesar Muhammadiyah merupakan bagian tak terpisahkan dari proses demokratisasi di negeri ini. Sebagaiana pernah ditulis oleh Robin Bush, direktur The Asia Foundation Indonesia, bahwa di mata dunia internasional yang mengejutkan bukanlah kenyataan bahwa bangsa Indonesia yang notabene merupakan negeri berpenduduk Muslim terbesar bisa membangun kembali sistem politik demokratis setelah selama lebih dari tigapuluh tahun otoritarianisme, melainkan fakta bahwa proses demokratisasi tersebut dimotori oleh tokoh-tokoh dan organisasi Islam. Dan ini adalah yang pertama dalam sejarah dunia modern.

Dan Muhammadiyah yang selama hamper satu abad menjalankan tugas dengan baik sebagai penyedia layanan sosial bagi umat Islam dan bangsa Indonesia yang membutuhkan; perlu meneguhkan diri untuk istiqomah memilih peran yang sesuai dengan karakter dasarnya, yaitu sebagai gerakan civil Islam yang menjadi penyemai nilai-nilai kewargaan dan keberadaban. Hanya dengan pilihan cerdas inilah Muhammadiyah akan mampu menghadapi abad ke-21 yang penuh tantangan dan ketidakpastian ini.

Wallahu a’lam

No comments:

Post a Comment