Jawa Pos, [ Minggu, 22 November 2009 ]
Judul Buku : Para Pembela Islam
Penulis : Pradana Boy Z.T.F.
Penerbit : Gramata, Jakarta
Cetakan Pertama, 2009
Tebal 220 halaman
DISKURSUS pluralisme, liberalisme, dan sekularisme, dalam beberapa tahun terakhir merupakan diskursus kajian Islam yang paling banyak menyedot perhatian umat Islam di Indonesia, tidak terkecuali di Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang merepresentasikan Islam modern dan rasional. Saya katakan demikian, karena perbincangan mengenai pluralisme, liberalisme maupun sekularisme, di lingkungan Muhammadiyah belakangan bukan lagi berada dalam tahap discourse penuh dinamika, tetapi justru bergeser menjadi hegemoni, tepatnya hegemoni kelompok konservatif Muhammadiyah terhadap keberlangsungan pemikiran Islam progresif di organisasi ini.
Fenomena tersebut yang kemudian mendorong dan menyita perhatian sahabat saya, Pradana Boy Z.T.F., untuk melakukan research secara mendalam tentang ''pertarungan'' konservatif dan progresif di tubuh Muhammadiyah. Riset itu tentu sangat menarik, mengingat ciri utama Muhammadiyah sebagai organisasi modernis yang selama ini dikenal memegang pemahaman Islam terbuka dan toleran. Buku ini merupakan pengembangan dan penyesuaian untuk tesis masternya di Fakultas Kajian Asia, Australian National University (ANU), Canberra. Tesis ini berjudul In Defence of Pure Islam: The Conservative-Progressive Debate Within Muhammadiyah yang kemudian diterbitkan dalam edisi Indonesia dengan judul: Para Pembela Islam, Pertarungan Konservatif dan Progresif di Tubuh Muhammadiyah.
Dalam buku ini, Boy dengan tegas dan berani menggambarkan bahwa ada pertarungan antara kubu konservatisme dan kubu progresifisme di Muhammadiyah. Boy meng-highlight tragedi pemecatan saya dari Universitas Muhammadiyah Gresik dan pemecatan M. Dawam Rahardjo sebagai gejala konservatisme yang berbahaya bagi masa depan Muhammadiyah (hlm. 149-150). Bukti empirik lainnya yang menggambarkan konservatisme Muhammadiyah adalah muktamirin di Malang yang sangat kritis terhadap isu-isu kontemporer, seperti pluralisme, liberalisme, dan sekularisme. Juga "terlempar''-nya para intelektual liberal dari kepengurusan Muhammadiyah seperti Moeslim Abdurrahman, M. Dawam Rahardjo, Abdul Munir Mulkhan, dan Amin Abdullah. Dari situ kemudian muncul anggapan bahwa terpilihnya Din Syamsuddin sebagai ketua PP Muhammadiyah sebagai kemenangan kubu konservatif.
Barangkali terinspirasi tesis Gellner, yang menyimpulkan bahwa konservatisme Islam, yang kelihatannya tidak punah dalam kondisi modern tapi justru merangsang kebangkitannya, telah membuat Boy bersemangat untuk menerbitkan buku ini dengan harapan mampu menjadi kekuatan penyeimbang. Jika dugaan saya benar, maka kehadiran buku ini patut mendapat respons positif, mengingat kebangkitan kelompok konservatif akan menjadi penghambat bagi kelompok progresif di Muhammadiyah. Ini, tentu saja, merupakan sesuatu yang wajar bagi Boy, yang mengemban tanggung jawab intelektual. Tidak saja karena posisinya sebagai ketua Presidium JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah), tapi lebih besar dari itu, ia juga seorang akademisi. Dari sini, sangatlah bisa dimengerti jika Boy berpandangan bahwa membiarkan Muhammadiyah semakin menjauh dari intelektualisme, sama halnya merelakan Muhammadiyah menjadi gerakan konservatif (hlm. 85). Atas dasar itulah, Boy ingin menegaskan bahwa jika Muhammadiyah ingin melanjutkan pembaharuan di bidang pemikiran, maka jalan satu-satunya adalah dengan mengakomodasi pemikiran-pemikiran progresif yang menjadi ciri utama gerakan ini.
Boy tampaknya sadar bahwa musuh yang paling berbahaya di pengujung abad ini --sebagaimana pernah dikemukakan Karen Armstrong- adalah fenomena fundamentalisme agama. Tidak berlebihan kiranya jika saya katakan bahwa kehadiran buku ini sebagai salah satu upaya "penyelamatan" dari berbagai bentuk penyusupan yang dilakukan "Islam ideologis" yang berpotensi "merusak" semangat pembaharuan.
Di sisi lain, Muhammadiyah yang selama ini merasa terbuai oleh berbagai macam pujian, baik dalam buku-buku, tesis, maupun disertasi, dan dalam batas-batas ekstremnya juga terkesan antikritik, justru belakangan ini dikejutkan dengan banyaknya penelitian yang melontarkan kritik tajam terhadap Muhammadiyah.
Akhirnya, saya tak perlu ragu mengatakan bahwa buku ini merupakan karya cemerlang sebagai bentuk tanggung jawab intelektual penulisnya, dalam mengkaji secara serius dan mendalam terhadap menguatnya arus konservatisme, yang tak pernah berhenti menjadi "pengganggu" peradaban. Padahal, di usianya yang hampir satu abad, Muhammadiyah seharusnya lebih menancapkan dirinya untuk melakukan pembacaan kreatif atau peremajaan pemikiran terhadap teks atau Alquran maupun realitas yang sarat dengan diskursus.
Pembacaan kreatif terhadap teks haruslah mencakup pembaharuan pemikiran dan penafsiran. Suatu pembacaan tidak dikatakan kreatif jika tidak membawa pembaharuan dalam banyak pemikiran dan konsepsi. Tidak ada pemikiran yang produktif tanpa adanya kerja analisis-kritis. Karena itu, peringatan Nietzsche, Marx dan Freud -dan secara implisit juga ditegaskan oleh Boy dalam buku ini- agar pembaca harus selalu curiga pada sebuah teks sangatlah penting.
Atau dalam bahasa agama, kita tidak boleh taqlid, yaitu menerima kebenaran tanpa sikap kritis. Demikian juga jargon Muhammadiyah "kembali kepada Alquran dan Hadis'' juga mengandaikan sikap kritis-metodologis-ilmiah dengan harapan mampu menangkap pesan dan menafsir makna zaman.
Terakhir, saya ingin mengutip pernyataan Prof Dr Ahmad Syafii Ma'arif dalam pengantar buku ini yang cukup bijak: "Karya ini harus kita apresiasi sebagai sebuah pandangan kritis yang ingin menyajikan apa adanya akan fakta-fakta yang akhir-akhir ini berkembang di Muhammadiyah utamanya di ranah pemikiran Islam.'' (*)
Moh. Shofan, Peneliti di Yayasan Paramadina Jakarta
Tuesday, November 24, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment