Oleh : Ahmad Syafi’i Ma’arif
Pendahuluan
Muhammadiyah lahir di tengah tengah kebudayaan sinkretik Jawa yang kental pada permulaan decade kedua abad ini. Mungkin karena wataknya yang non-politis, baik Belanda maupun kesultanan Yogyakarta, tampakny atidak terlalu curiga terhadap gerakan Islam puritan ini. Dengan kata lain, Muhammadiyah bukanlah gerakan “OSlam Fanatik” yang telah diracuni oleh Pan-Islam yang ditakuti itu. Musuh Belanda seperti yang dirumuskan oleh C. Snouk Hurgronje bukanlah Islam sebagai Agama, tetapi Islam sebagai doktrin politik . Dengan sedikit pendahuyluan ini seterusny aakan kita tengok strategi dakwah Muhammadiyah dalam prespektuif sejarah dan cultural.
Muhammadiyah : Antara cetakan Jawa dan cetakan sabrang
Di mata Belanda kelahiran Muhammadiyah pada tahun 1912 tidaklah akan menggoyahkan rust en orde, suatu ungkapan yang strategis demi menjaga kelangsungan kekuasaan colonial di Hindia Belanda. Menurut penelitian Dr. Alfian, dalam arsip arsip kolonial, seperti dalam Inlandsche Zaken, tidak ditemukan catatan yang serius tentang K.H.A. Dahlan, baik tentang pribadinya maupun tentang doktrin agama yang diajarkan. KEadaannya akan berlainan samasekali dengan Tjokroaminoto, Salim, dan tokoh tokoh SI lainnya . Tapi murid Kyai Dahlan, H. Fahrudin adalah tokoh Muhammadiyah yang diawasi Belanda. Mereka ini semua adalah insane –insan politik yang militan.
Fokus perhatian Dahlan tampaknya memang lebih tertuju kepada usaha pencerahan dan pencerdasan ummat, suatu strategi sosio-budaya yang berdampak sangat jauh dalam arti yang sangat positif. Karena tukik perhatian dipusatkan pada transformasi mental, sosial dan budaya, perlawanan justru datang dari kalangan ulama dan ummat Islam sendiri. Dahlan menghadapi ini semua dengan sikap tegar dan tidak pernah goyah. Djarnawi Hadikusumo menulis tentang pola perjuangan Dahlan yang non-politis : “Menilik segala tindakan dan amal yang telah dikerjakan oleh K.H.A. Dahlan dengan Muhammadiyahnya ternyata bahwa pendiri Muhammadiyah itu telah memilih jalan yang ditempuh oleh Muhammad ‘Abduh.” Sedangkan pola SI bisa dikaitkan dengan Pan Isalam. Daerah pengaruh Muhammadiyah di bawah kepemimpinan Dahlan (1912-1923) baru terbatas di karisidenan Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan , dan Pekajangan. Cabang cabang Muhammadiyah berdiri di kota kota tersebut (selain Yogyakarta) pada tahun 1922, yaitu di akhir periode kepemimpinan Dahlan. Menjelang tahun 1938 barulah Muhammadiyah tersebar di seluruh Nusantara Dengan demikian sekitar 14 tahun sepeninggal Dahlan, Muhammadiyah sudah mengindonesia.
Dilihat dari sudut pandang budaya, karakteristik da’wah Muhammadiyah sampai batas batas tertentu juga diwarnai oleh warna cetakan local, khususnya cetakan sabrang. Kita ambil contoh kasus Aceh dan Minangkabau. Di Aceh misalnya Muhammadiyah gagal memasuki lingkaran budaya para teungku, sebuah lingkaran yang dipandang punya kesadaran politik yang cukup tinggi,. Kegagalan ini, menurut Alfian, sebagian disebabkan oleh kenyataan karena Muhammadiyah telah lebih dahulu dimasuki oleh elit tradisional para teuku, saingan berat para teungku.Lantaran keduluan para teuku, golongan teungku punya alasan kuat untuk tidak memasuki Muhammadiyah, kalau bukan telah larut menghalangi gerak lajunya di daerah Aceh. Alasan lain ialah seperti kita ketahui para elit tradisional punya hubungan yang dekat dengan pihak Belanda. Jadi bila gerak Muhammadiyh dirasakan kurang militant di Aceh, salah satu faktor pentingnya adalah karena budaya para teuku ini lebih dominant mempengaruhi Muhammadiyah. Barangkali setelah kemerdekaan mungkin teleh mengalami perubahan demi perubahan. Tetapi yang jelas, Muhammadiyah belumberhasil menciptakan benteng cultural yang kokoh di Aceh, bahkan sampai hari ini. Apakah nanti setelah muktamar tahun 1995, lingkaran teungku di Aceh akan lebih bersikap apresiatif terhadap Muhammadiyah, belum dapat kita katakana sekarang. Warga Muhammadiyah Aceh diharapkan agar memahami betul peta-bumi sosio-budaya masyarakat Aceh ini untuk keberhasilan da’wah Islam yang digerakkan Muhammadiyah.
Sub sub budaya lain di Indonesia yang tidak mudah ditembus Muhammadiyah selain Aceh, juga budaya Sunda, budaya Melayu Medan dan Jambi, budaya Betawi, dan sub –sub budaya suku bangsa lainnya di berbagai bagian nusantara. Fenomena yang hamper serupa kita jumpai di kalangan budaya Melayu Malaysia dan Brunei. Orang Brunei kabarnya malah menganggap Muhammadiyah bukan merupakan gerakan Islam yang patut dihormati, kalaulah bukan dinilai sebagai sudah berada diluar bingkau Islam. Fenomena semacam ini mengingatkan kita kepada situasi Islam di Indonesia pada waktu Muhammadiyah baru mulai mengorak bumi Mataram, sekitar 80 tahun yang lalu. Akan halnya di Malaysia, keadaannya lebih memberi harapan, sekalipun memerlukan waktu dan perjuangan yang panjang. Seperti kita kenal dari catatan sejarah, gerakan pembaruan Islam di Indonesia dan di semenanjung Tanah Melayu dan Singapura sama sama mulai menapak awal abad ini. Bedanya bila di Indonesia gerakan pembaruan itu relatif berjaya, sementara di Semenanjung mengalami kegagalan. Barangkali salah satu sebab kegagalan ini adalah karena di sana Islam sudah terlalu lama dipasung dalam bingkai feodalisme Melayu yang cukup kental plus mazhab al –Syafi’i yang secara formal menjadi mahzab persekutuan. Maka adalah logis bila kedatangan arus pembaruan Islam harus ditolak karena ia membawa pesan liberal dan egaliter, sesuatu yang dapat menjadi ancaman dalam jangka panjang bagi struktur feodalisme Melayu yang tampaknya kini sudah semakin lapuk. Gebrakan Mahatir-Anwar Ibrahim terhadap kedudukan raja –raja akan membawa perubahan kea rah yang lebih positif bagi hari depan arus faham pembaruan Islam di negeri jiran itu. Anwar Ibrahim sudah lama punya hubungan spiritual yang lekat dengan gerakan pembarua Islam di Indonesia.
Pertanyaan yang kemudian mungkin sedikit menggoda adalah : mengapa Keraton Yogya tidak terasa terancam oleh Muhammadiyah sementara aliran serupa cukup ditakuti oleh di Malaysia ? Dilihat dari sudut proses Islamisasi kualitatif, kraton Yogya baru permukaan formalnya saja yang sudah disentuh Islam. Raja raja Mataram tampaknya rtidak mencurigai gerakan pembaruan Islam yang justru dipelopori oleh abdi dalem kesultanan. Setidak-tidaknya ada dua sebab mengapa kecurigaan itu tidak muncul. Pertama, pengetahuan kraton tentag Islam itu sangat terbatas. Para elitenya tidak pernah berfikir bahwa gerakan seperti Muhammadiyah akan menjadi ancaman bagi feodalisme Jawa. Kedua, ini berkaitan erat dengan yang pertama, Muhammadiyah sendiri memang tidak pernah membidikkan pelornya ke kraton, pusat budaya Jawa yang baru terislamkan secara superfisial. Yang lebih unik lagi adalah bahwa ulama Muhammadiyah bahkan punya kedudukan tinggi di lingkungan kraton. Sebuah panorama yang cukup menarik dikaji. Salah satu indikasi superfisialitas keislaman di lingkungan kraton dapat dilihat misalnya pada fenomena masih kentalnya dipertahankan kepercayaan kepercayaan dan adat adapt lama dengan muatan Hindu bercampuyr unsure Jawa Kuno yang sudah ada sebelum kedatangan pengaruh India itu.
Situasi Malaysia jauh berbeda. Sekalipun Islam disana masih dibungkus dalam feodalisme Melayu, kultur Melayu relatif bercorak Islam dibandinghkan kultur Jawa Mataram. Bekar bekas pengaruh Hindu yang kental hamper hamper tidak dikenal lagi dalam kultur Melayu Malaysia. Oleh sebab itu bila orang Melayu Malaysia melihat bayak sekali patung Hindu dan Budha di Jawa, mereka heran setengah mati. Pertanyaan yang muncul biasanya berbunyi : mengapapatung patung ini masih ”mencongok” di berbagai tempat di lingkungan masyarakat masyarakat Muslim Jawa ? Mereka yang paham sejarah Islam di Jawa, pertanyaan yang serupa itu tidak akan muncul karena mereka tahu betul bahwa proses islamisasi kualitatif masih akan berlangsung, mungkin lebih hebat lagi, pada masa –masa yang akan datang. Tetapi sampai sekarang, hubungan Muhammadiyah dengan pihak kraton tampaknya cukup aman aman saja. Bukankah strategi dakwah Muhammadiyah di Jawa, khususnya Yogyakarta, belum pernah diarahkan secara serisu untuk mengislamkan kraton, pusat kejawen yang masih berwibawa ? Dakwah Muhammadiyah untuk memberantas syirik, bid’ah, khurofat dan yang sejenis lebih ditujukan kepada rakyat yang berada di luar kraton. Mungkin diharapkan pada suatu hari nanti, entah kapan, bilamana rakyat diluar kraton sudah terislamkan menurut versi Muhammadiyah , dengan sendirinya nanti demi eksistensi kraton, para bangsawan akan turut dalam arus itu. Sebuah teori yang agak mirip dengan teori ”penguasaan desa untuk menguasai kota”. Tapi mohon dicatat bahwa Muhammadiyah belum pernah menciptakan teori yang macam macam itu. Untuk sebagian orang, cukuplah kiranya bila kita berjalan menurut gaya alam saja.
Kita bicarakan selanjutnya Muhammadiyah di Sumatera Barat. Mungkin tidak ada kawasan budaya di nusantara yang sangat reseptif dan responsif terhadap paham dan gerakan Muhammadiyah melebihi budaya Minang. Gejala ini sebenarnya tidaklah terlalu mengherankan, karena pada abad ke -19 gerakana Padri telah berhasil ”mengobrak abrik” adat minang ”yang tak lekang deh paneh, tak lapuak dak hujan” itu. Sekalipun secara politik gerakan Padri pada akhirnya dilumpuhkan Belanda bersama kaum adat., secara sosio-kultural paham wahabi yang dibawaPadri itu sudah tertancap kuat dalam budaya Minang. Oleh sebab itu pada waktu Haji Rasul, sahabat Dahlan, membawa paham Muhammadiyah ke sana pada 1925, yaitu dengan terbentuknya cabang Muhammadiyah yang pertama di Sungai Batang Tanjung Sani, Maninjau. Dr. Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) dapat disebut sebagai Bapak Spiritual Muhammadiyah Minangkabau, tapi uniknya adalah bahwa beliau sendiri tidak pernah menjadi anggota gerakan ini. Dalam tempo yang relatif singkat, arus gelombang Muhammadiyah telah menggenangi hampir seluruh Minangkabau, dan dari daerah inilah kemudian radius Muhammadiyah itu bergerak ke seluruh Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan.
Berbeda dengan di Yogyakarta, di mana Muhammadiyah dirasakan ”jinak” secara politik, di Minangkabau karena tuntutan situasi, keadaan sedikit lain. Naluri politik jelas terlihat di kalangan tokoh tokoh Muhammadiyah Minangkabau. Sarjana Belanda C.C. Berg jug amencatat bahwa Muhammadiyah di Minangkabau tidak semata mata sebagai gerakan sosial, tapi juga terlibat dalam kegiatan politik Dalam peta sosiologis Minangkabau, sebuah negari (semacam republik kecil) dipayungi oleh empat golongan yang dominan : ninik –mamak, alim –ulama, cerdik –pandai, dan manti-dubalang. Hamka mencatat bahwa manakala cabang Muhammadiyah berdiri di suatu negari, keempat unsur itu pasti terlibat di dalamnya. Pada masa awal terlihat bahwa ” …. di seluruh Minangkabau ketika Muhammadiyah mulai berdiri tidak seorang juapun pegawai negeri yang masuk” Denga kata lain, pada periode formatif itu Muhammadiyah dipimpin oleh ”orang orang merdeka.” Keadaan sesudah kemerdekaan sudah sangat berubah. Budaya pegawai negeri lebih dirasakan pengaruhnya dalam gerak Muhammadiyah ketimbang budaya ”orang merdeka” dengan segala sisi yang positif dan negatif. Sebelum [ergolakan daerah tahun 1950-an, Muhammadiyah di Minangkabau bukan saja didukung oleh pegfawai negeri, bahkan perpolitikan propinsi Sumatera Barat tealh berada di bawah pengaruh kuat dari Muhammadiyah. Masyumi dan Muhammadiyah sukar sekali dibedakan disana. Maka tidaklah mengherankan pada saat Masyumi kalah secara politik, Muhammadiyah Sumatera Barat menjadi babak belur selama hampir dua dekade. Proses pemulihannya belum sepenuhnya berjaya sampai sekarang. Inilah sebuah beaya yang harus dibayar oleh Muhammadiyah cetakan sabrang. Dakwah dengan kendaraan politik praktis dalam pengalaman Muhammadiyah lebih banyak merugikan, sekalipun hal itu bukan sesuatu yang mutlak harus demikian. Pada masa orde baru , terutama tahun 1980 –an, peran politik Muhammadiyah lebih banyak dilakukan oleh lobi lobi perorangan seperti yang ditunjukkan oleh kegiatan Lukman Harun, Ismail Sunny dll, pada saat menghadapi proses pembicaraan RUU Pendidikan Nasional dan RUU Pengadilan Agama. Lobi lobi semacam ini tidak jarang memberikan hasil positif menguntungkan.
Dakwah di masa depan : perlunya strategi budaya yang mantap
Baik Muhammadiyah cetakan Jawa maupun Muhammadiyah cetakan sabrang sama sama dihadapkan kepada tantangan dakwah yang dahsyat. Proses industrialisasi yang akan dimulai secara besar besaran mulai april 1993 ini akan memberikan pekerjaan rumah (PR) yang sangat berat kepada semua gerakan Islam, khususnya Muhammadiyah, yang menyatakan dirinya sebagai gerakan modern Islam. Kita belum mempunyai contoh kira kira bagaimana nasib Islam di suatu negara Industri. Pada suatu kesempatan pernah saya katakan : apakah pada saat ini kita masih punya peluang untuk beriman ? Beriman dengan segala atribut dan implikasinya bukan beriman semata mata percaya kepada Tuhan. Iman dalam Islam adalah Iman yang dapat memberikan suatu keamanan ontologis kepada manusia, dan diatas dasar itu ditegakkan sebuah peradaban yang berwajah ramah.
Mari kita tengok sebentar keadaan Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan. Bila pengamatan Kuntowijoyo dapat disetujui, maka gambaran tentang Muhammadiyah adalah sebagai berikut :
Sesungguhnya dewasa ini Muhammadiyah sudah harus merumuskan kembali konsep gerakan sosialnya. Saya beranggapan bahwa selama ini Muhammadiyah belum mendasarkan program dan strategi kegiatan sosialnya atas dasar elaboratif. Akibatnya adalah bahwa Muhammadiyah tidak pernah siap merespon tantangan-tantangan perubahan sosial yang empiris yangterjadi di masyarakat atas dasar konsep, teori dan strategi yang jelas. Selama ini umpamanya Muhammadiyah masih belum dapat menerjemahkan siapa yang secara sosial-objektif dapat dikelompokkan sebagai kaum duafa, masakin, fuqoro dan mustadh’afin. Pertanyaan tentang siapakah yang dimaksud dengan kelompok kelompok itu dalam konteks sosialnya yang objektif, belum pernah diaktualisasikan secara jelas
Proses industrialisasi bukan saja akan mengubah kawasan agraris menjadi kawasan industri, tapi pada waktu yang sama akan menciptakan sosok manusia “liar” kompetitif yang jarang punya kesempatan untuk tersenyum. Ini jika kita melihat fenomena sosial di beberapa negara Industri :barat dan Jepang. Kita belum dapat memperkirakan secar apasti tentang bagaimana situasinya sekarang sebuah negeri Muslim menjadi negeri Industri. Jika keadaaanya tidak berbeda negeri negeri industri diatas, maka sejak dini kita katakan bahwa Islam pada waktu itu sudah tergusur mejadi kekuatan marginal yang tidak bermakna. Muhammadiyah sampai hari ini belum siap secar amantap dengan strategi budaya untuk menghadapi serba kemungkinan itu. Kendalanya adalah sumberdaya manusia yang ada sedikit sekali punya peluang untuk merenung dan merumuskan strategi itu. Komitmen Islam mereka tidak diragukan lagi. Yang sulit adalah menari peluang yang cukup untuk berfikir serius dan mendalam mengenai maslah Islam dan ummatnya. Sebagian besar kita berada dalam pasungan kesibukan yang non-kontemplatif itu .Saya pribadi tidak tahu bagaimana caranya keluar dari himpitan kesibukan yang amat melelahkan ini.
Apakah Muhammadiyah pernah keluar dari kultur kampung sepanjang sejarahnya ? menurut Kuntowijoyo, jawabannya adalah negatif. Dia menulis :
Secara Historis Muhammadiyah sesugguhnya terbentuk dari kultur kampung. Kalau dulu saya pernah mengatakan bahwa kelahiran Muhammadiyah mempunyai hubungan erat dengan lingkungan sosio ekonomi dan kultural masyarakat kiota., pernyataan ini benar dalam hal perbedaanya dengan latar belakang NU yang berbasis pada kultur agraris –desa. Tapi pernyataan itu harus direvisi, karena ternyata pada awal abad ke -20, saat ketika Muhammadiyah didirkian di Yogyakarta, kehidupan kota sesungguhnya lebih dikuasai oleh kaum priyayi, komunitas Belanda, dan komunitas Cina. Di Malioboro ada tempat peribadatan Cina, juga tempat peribadatan Free Mansory dari ‘Societeit’ Belanda, tapi tidak ada Masjid. Masjid Besar yang ada di keraton, sementara itu cenderung berada di bawah pengawasan kultural kejawen. Kita melihat bahwa Islam ketika itu merupakan fenomena pinggiran, berada di kampung-kampung
Dengan demikian sebenarnya basis sosial Muhammadiyah dan NU tidak banyak berbeda yaitu sam sama basis sosial wong cilik. Keadaan ini secara substansial menurut pengamatan saya belum banyak mengalami perubahan, bukan saja di Yogyakarta dan di Jombang, tempat kelahiran kedua gerakan Islam yang dipandang mewakili arus besar Islam di Indeonesia, tapi juga di seluruh nusantara. Kita masih belum beranjak jauh dari kawasan wong cilik. Bagaimana keadaannya 25 tahun mendatang, saya tidak tahu.
Penutup
Kalau strategi dakwah Muhammadiyah bertujuan hendak menggarami kehidupan budaya bangsa dengan nilai nilai Islam yang handal dan berkualitas tinggi, maka saatnya sudah teramat tinggi bagi kita sekarang untuk melakukan kaji ulang terhadap keberadaan, kiprah dan car apandang dubi dari gerakan yang didirikan oleh KHA Dahlan ini. Posisi sebagai wong cilik tidak pernah efektif menentukan nasibmasa depang suatu bangsa. Bagaimana mengubah posisi demikian itu agar menjadi posisi yang berwibawa dalam sejarah merupakan kerja dakwah dalam makna yang benar dan komprehensif.
Source: http://tarjihbms.wordpress.com/2007/08/23/strategi-dakwah-muhammadiyah/
No comments:
Post a Comment