Oleh Dr. H. Haedar Nashir, M.Si.
Muhammadiyah sejak berdirinya menggelorakan ”kembali pada Al-Quran dan As-Sunnah” (ruju‘ ila al-Quran wa al-Sunnah). Upaya untuk mendalami dan mengamalkan Islam dengan benar seperti melalui ”tujuh falsafah ajaran” dan ”17 kelompok ayat Al-Quran” yang diajarkannya kepada para muridnya merupakan bukti kuat dari semangat kembali pada ajaran Islam yang autentik. Kyai Dahlan meluruskan arah kiblat, mengajarkan Al-Maun, dan berbagai pemikirannya tentang tajdid bukti kuat pula bahwa paham Islam yang diajarkan Kyai Dahlan bukan hanya semata pemurnian, tetapi juga pembaruan. Menurut Nurcholish Madjid, Kyai Dahlan adalah sosok pencari kebenaran sejati yang mampu menangkap pesan Al-Quran (melalui tafsir Al-Manar) dalam konteks zaman.
Menurut Kyai Hadjid (ibid: 35), ajaran atau falsafah/pemikiran Kyai Dahlan berangkat dari semangat dasar untuk menjalankan/mengamalkan ajaran-ajaran Al-Quran dan Sunnah Rasul. Karena itu, sejak awal, Muhammadiyah yang didirikan oleh Kyai Hai Ahmad Dahlan konsisten untuk mengajak dan mempraktikkan ”kembali pada Al-Quran dan As-Sunnah”. Di belakang hari, karakter gerakan Islam seperti inilah yang sering disebut sebagai gerakan tajdid fil-Islam atau gerakan revivalisme Islam, modernisme Islam, dan reformisme Islam. Itulah format dari Islam yang murni dan berorientasi pada berkemajuan. Di satu pihak esensi ajaran Islam yang ditampilkan Muhammadiyah aseli dan jelas sumber serta kebenarannya, di pihak lain dapat menjadi ”way of life” bagi kehidupan manusia sepanjang masa. Karena itu gerakannya untuk kembali pada Al-Quran dan As-Sunnah selain autentik juga dinamis.
Gerakan untuk ”kembali pada Al-Quran dan As-Sunnah” merupakan karakter dari gerakan-gerakan tajdid yang bersifat pemurnian (purrifikasi) seperti dipelopori Ibn Tamiyiyah, Muhammad bin Abdil Wahhab, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridla, Jamalauddin al-Afghani, dan para pelopor gerakan pembaruan lain di dunia Islam. Idiom ”raja’a” (kembali) memiliki konotasi pada ”marja‘” (tempat kembali), yang secara esensial berarti merujuk ke tempat asal. Dalam kenyataannya juga tidak terlepas dari kesadaran untuk kembali pada ajaran Islam yang murni setelah mengalami ”pencemaran” atau penyimpangan tertentu, yang menjauhkan Islam dari ”tempat asalnya”, yakni sumber ajaran yang aseli yaitu Al-Quran dan Al-Sunnah yang shahih.
Gerakan pemurnian tersebut memiliki konteks kesejarahan yang khas, yakni ketika Islam memang tercemar dari berbagai unsur luar yang bersifat ”TBC” (tahayul, bid’ah, dan khurafat” atau secara khusus mengalami pencemaran aqidah sehingga memerlukan pemurnian (tandhif al-‘aqidah al-Islamiyyah). Hal itu terjadi pada rentang para pembaru itu hidup, yakni era Islam abad pertengahan ketika mengalami kemunduran pasca kejatuhan Baghdad 1258 M, setelah kehadiran bangsa Mongol dan masuknya pengaruh Persia ke dalam kehidupan kaum muslimin. Jadi ada suasana pencemaran yang memerlukan pemurnian kembali. Dalam periode ini ada semangat untuk membangun kembali dunia Islam yang ideal sebagaimana cita-cita utama Islam untuk membangun kehidupan ”baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur”, suatu cita ideal masyarakat Islam yang diidam-idamkan.
Kenapa Muhammadiyah mengusung gerakan ”kembali pada Al-Quran dan Sunnah Rasul” ? K.H. Ahmad Azhar Basyir (1987: 11) memberikan keterangan sebagai berikut: ”Karena Muhammadiyah yakin seyakin-yakinnya bahwa Al-Quran dan Sunnah Rasul itulah sumber asli dari ajaran-ajaran Islam. Al-Quran menyajikan ajaran-ajaran tentang ”kebenaran mutlak” yang bersifat terbuka. Al-Quran memberikan kesempatan kepada siapapun juga sepanjang masa, untuk menguji kebenarannya sebagai firman Allah, bukan karangan Muhammad, sebagaimana dituduhkan....Al-Quran mengecam sikap hidup apriori, baik apriori menerima tanpa kesadaran maupun apriori menolak tanpa pertimbangan akal-fikiran yang matang....Al-Quran datang dari Allah. Allah sendiri yang berjanji untuk selalu memeliharanya. Al-Quran sejak diturunkan sampai akhir zaman nanti akan tetap terpelihara keaseliannya, sesuai dengan janji Allah sendiri.”.
Dalam butir Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCH) butir ketiga dijelaskan secara gamblang bahwa ”Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan a. Al-Quran: Kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW; b. Sunnah Rasul: Penjelasan dan pelaksanaan ajaran-ajaran Al-Quran yang diberikan oleh Nabi Muhammad; dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam.”. Muhammadiyah bekerja untuk terlaksanannya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang aqidah, akhlak, ibadah, dan mu’amalat dunyawiyah. Dengan esensi ajaran dan sumber ajaran Islam yang demikian maka Muhammadiyah menjadikan Islam sebagai agama Allah yang mengandung hidayah dan rahmat-Nya untuk keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan hidup umat manusia di dunia dan di akhirat.
Menurut K.H. Azhar Basyir (1993: 276-277.), Muhammadiyah dalam memahami ajaran Islam dilakukan secara menyeluruh. Aspek-aspek ajaran Islam, yaitu aqidah, ibadah, akhlak, dan mu’amalat dunyawiah atau kemasyarakatan, kendati dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya (al-Islâm kullun lâ yatajazzâ’). Dalam memahami Islam, akal dipergunakan sejauh yang dapat dijangkau. Hal-hal yang dirasa di luar jangkauan akal, diambil tawaqquf dan tafwidh. Memaksakan takwil terhadap hal-hal yang dirasakan di luar jangkauan akal dipandang sebagai menundukkan nash terhadap akal. Aspek akidah yang lebih banyak didasarkan atas nash, dipergunakan takwil sepanjang didukung oleh qarinah-qarinah yang dapat diterima. Aspek akhlak mutlak berdasarkan nash, akhlak situasional tidak dapat diterima. ‘Ibadah mahdhah berdasarkan atas pedoman nash. Sedangkan aspek mu‘amalat jika diperoleh dalil-dalil yang qath‘iy dilaksanakan sesuai dengan ajaran nash, tetapi jika diperoleh dari nash-nash zhanniy maka dilakukan penafsiran. Asas maslahah dapat menjadi landasan penafsiran. Sikap hati-hati diambil terhadap hal-hal yang masih belum diperoleh kejelasan guna menjaga keselamatan beragama.
Dengan perspektif Islam dalam pandangan Muhammadiyah dan cara memahami Islam yang luas sebagaimana diuraikan dalam rangkaian tulisan ini maka segenap wara Muhammadiyah, lebih-lebih pimpinannya dituntut untuk memahami Islam secara komprehensif, mendalam, dan luas baik yang berdimensi ‘aqidah, ibadah, akhlak, dan mu‘amalat dunyawiah maupun yang bersifat pemurnian dan pembaruan; sehingga melahirkan cakrawala Islam yang serba melintasi untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya sekaligus menyebarkan Islam sebagai rahmatan lil-‘âlamin.
No comments:
Post a Comment