Saturday, January 2, 2010

Memotong Akar Terorisme dan Gerakan Islam Transnasional (1) (Tantangan dan Agenda Strategis bagi Muhammadiyah)

Suara Muhammadiyah, [10 November, 2009]

AM HENDROPRIYONO
Mantan Kepala Badan Intelijen Negara RI

Pendahuluan
Terorisme adalah suatu gejala sosial yang tidak mudah untuk difahami, bahkan oleh para pelakunya yaitu teroris itu sendiri. Tanpa pendidikan yang memadai sekalipun, dengan cukup berbekal latihan praktik sekedarnya. seorang teroris dapat melakukan aksi terorisme yang mencengangkan dunia, karena ukuran dampaknya yang sangat luas. Keperkasaan terorisme digambarkan laksana unslayable hydra (binatang imajiner dalam dongeng Yunani yang tidak pernah mati), yang mempunyai kemampuan untuk senantiasa timbul kembali setelah ketenggelamannya. (Hendropriyono, Diaz Faisal Malik, 2006. The al-Qaeda Network. Tech Univ) Terorisme dalam sejarah hanya dapat diredam untuk sementara waktu yang relatif singkat, oleh umat manusia yang mendambakan ketentraman dan kedamaian hidup.

Keberhasilan manusia seperti itu dalam mengatasi ancaman terhadapnya, dicapai setelah mereka mendapat kejelasan tentang apa, siapa (subjek), objek (sasaran)nya, bagaimana metodenya. kapan waktu mereka beraksi, di mana dan mengapa sampai terjadi. Namun hal yang kerapkali terlupakan oleh para intelektual adalah usaha untuk memotong akar terorisme agar umat manusia dapat mengenyam perdamaian dunia untuk jangka waktu yang relatif lebih lama. Dengan menggunakan sistem pola-pikir, akar terorisme nampak sebagai suatu defiasi praksis dari kebenaran nilai dasar, baik berupa pemikiran jenius, misalnya, filsafat demokrasi maupun keyakinan keagamaan, serta perkembangan keadaan lingkungan strategis yang mempengaruhinya. Penindasan dan ketidakadilan sosial seringkali disebut sebagai penyebab suburnya terorisme yang terjadi di abad ke-21, sehingga kebangkitannya (kembali) di tataran internasional juga tidak terlepas dari konstelasi geopolitik global (khususnya di Timur Tengah).

Tetapi aksi atau reaksi dengan sebab apa pun yang telah mengakibatkan manusia yang tidak bersalah atau tak tahu apa-apa menjadi korban, tetap merupakan tindak kejahatan yang melanggar sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Para keluarga bangsa Indonesia korban terorisme selama ini tidak dapat menerima alasan, bahwa 262 jiwa mereka yang terbunuh dan 782 orang yang cacat adalah akibat dari suatu kesengajaan. Ketidaksengajaan ataupun keterpaksaan. Demikian pula terorisme terhadap mereka itu apakah dilakukan oleh teroris atau oleh pejuang, bukan merupakan hal yang penting bagi para korban yang telah kehilangan segala-galanya, termasuk kegelapan akan hari depan anak-anak mereka.

Dengan bertitik tolak dari perasaan para korban dan pemikiran yang impartial, terorisme diharapkan dapat dibahas secara lebih objektif. Perspektif dasar bahasan yang objektif harus berangkat untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang secara hirarkis terdiri dari apa itu terorisme, bilamana akan terjadi, di mana, bagaimana metodenya, mengapa terjadi dan siapa pelakunya. Jika disingkat dalam akronim harus lebih berbunyi sebagai ‘ABIDIBAMSI’, dibandingkan dengan urutan dalam sistem informasi yang ‘SIABIDIBAM’ (5 W 1H).

Akar Terorisme
Sejarah membuktikan bahwa keberhasilan suatu perjuangan melalui terorisme belum tentu akan menghasilkan kebaikan sebagaimana yang dibayangkan semula. karena definisinya yang bersifat inkonsisten. Beberapa individu yang sebelumnya dikenal masyarakat sebagai pelaku terorisme, pada waktu yang berbeda dan keadaan yang berubah. telah menjadi pahlawan yang dielu-elukan. masyarakat. Contohnya, beberapa pemimpin kelompok teroris Yahudi seperti Yitzhak Shamir dan Manachem Begin, pada akhirnya berhasil mencapai kedudukan sebagai Perdara Menteri Israel, setelah nama mereka dulu pernah tercatat sebagai pemimpin-pemimpin ‘Palmach’ (1940) dan jaringan ‘Irgun’ (1944). organisasi-organisasi kaum teroris yang paling dibenci Inggris bahkan dunia internasional. Semua kini telah berubah dan keadaan bahkan telah terbalik, karena para teroris yang dibenci dunia itu kini diakui masyarakat internasional sebagai pahlawan-pahlawan. Namun apakah Israel kini menghasilkan kebaikan bagi perdamaian dunia?

Realitas global menyatakan: tidak sama sekali! Jika terorismenya dulu dilakukan oleh mereka selaku suatu jaringan, kini perjuangan yang sama dilakukan juga oleh mereka selaku suatu negara yang berdaulat. Itulah binatang “terorisme” hydra yang tidak pernah mati. Sekarang kita berada pada zaman globalisasi modern yang arusnya didominasi oleh tesis universal demokrasi Barat pimpinan Amerika Serikat sebagai nilai dasar, dengan komitmen yang damai, tanpa kekerasan dan tidak ‘berlumuran darah’.

Namun, ternyata komitmen yang etis tersebut tidak selalu hadir di dalam praksisnya. sehingga merangsang perkembangan tesis ekstremisme politik Islam universal kontemporer, yang dicanangkan oleh organisasi transnasional al-Qaeda. Dengan eksistensi dua tesis universal saat ini yang saling tolak-menolak, maka artikulasi politik yang santun yang mendahulukan dialog, negosiasi dan kompromi tidak lagi mendapatkan tempat. Akhirnya, binatang “terorisme” hydra lagi-lagi kini telah digunakan secara resiprokal untuk menggantikan komunikasi global yang telah terdistorsi.

Dalam mengimbangi metode kekuasaan keras (Hard Power) yang diterapkan oleh Amerika Serikat ketika di bawah administrasi Presiden George Walker Bush jajaran organisasi al-Qaeda menggunakan dalih patriotisme dan spirit keagamaan sebagai metode perjuangan. Dengan metode itu mereka dapat menggalang kekuatan semesta masyarakat Islam yang beraliran ekstrim untuk memperoleh dukungan baik fisik maupun psikologis. Kekuatan semesta tersebut membuat al-Qaeda yang hanya merupakan suatu jaringan amorphous (tidak mempunyai bentuk yang tetap), menjadi omnipotent (sangat perkasa) untuk berhadapan dengan negara berdaulat, bahkan Amerika Serikat yang adidaya sekalipun.

Akar terorisme dari kedua fihak itu tumbuh dan berkembang subur di dalam tanah yang merupakan habitatnya masing-masing. Jika ‘terorisme negara’ Israel berakar di masyarakat ekstrem Yahudi dunia, ‘terorisme jaringan’ al-Qaeda berakar di masyarakat ekstrem Islam dunia. Akar terorisme al-Qaeda kini di Indonesia adalah jaringan yang dibangun oleh Noordin M Top (NMT), sedangkan habitatnya adalah masyarakat ekstrem yang telah melahirkan para suicide bombers (para pengebom bunuh diri). Pada masa sebelumnya, JI yang ditengarai sebagai wadah kaum ekstrem, sekitar 430 orang anggotanya ditangkap Polri, 200 diantaranya telah bebas kembali ke masyarakat. Sebelum NMT membangun jaringannya sendiri, langkah untuk memotong akar terorisme yang dilakukan Polri adalah melakukan pendekatan agamis dan sosial ekonomis terhadap mereka. Hal tersebut dilakukan karena kebebasan mereka dari penjara, selalu diikuti oleh masalah sosial ekonomi keluarga,. Mereka sulit sekali mendapat lapangan kerja sebagai seorang mantan teroris. Dengan gerakan clandestine (klandestin/rahasia/bawah tanah) mereka di masa lampau, nama-nama samaran (juga berbagai nama alias) yang dulu dipakai. tidak mudah dikembalikan ke nama sebenarnya untuk mendapat KTP.

Kebanyakan lurah dan para pejabat diatasnya khawatir. Akan tersangkut paut dalam masalah terorisme. Dampaknya. surat kawin mereka juga vcid dan status anak-anak mereka juga menjadi tidak jelas (Abas, Nasir, 2009. Wawancara pada 27 Agustus di Jakarta.). Untuk urusan ini sebuah yayasan nirlaba non-pemerintah, telah membantu melalui terapi psikologis yang disebut deradikalisasi terhadap para mantan narapidana. Dengan demikian diharapkan setelah mereka kembali ke masyarakat, selain tidak akan berbuat lagi, juga tidak akan menjadi anggota masyarakat yang merupakan habitat bagi berkembangnya akar terorisme. Namun sayang, atas usaha gemilang ini, pemerintahan negara (eksekutif. legislatif dan yudikatif) Indonesia belum juga menempatkan dukungan dana operasi ‘deradikalisasi’ ke dalam sistem APBN. Akibatnya, kerja keras sukarela masyarakat yang minim tersebut menyisakan Ari Setyawan (mantan narapidana terorisme) kembali melakukan teror, sampai tertembak dalam penyerbuan polisi di Jatiasih. Bekasi, Jumat (7/8) dini hari. Demikian pula halnya dengan Urwah alias Bagus mantan narapidana terorisme 3,5 tahun penjara menjadi salah satu DPO (Daftar Pencarian Orang) lagi dari Polri. Ia kembali bergabung dengan NMT setelah keluar dari penjara. Selain dukungan terhadap usaha melalukan deradikalisasi yang masih perlu penambahan, lingkungan sebagai tanah tempat tumbuhnya akar perlu diolah. Pengolahan itu harus mengarah kepada kesuburan untuk tumbuhnya pohon-pohon kedamaian dan sebaliknya, mematikan akar rohon terorisme.

Dengan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa akar terorisme adalah keyakinan atau pemikiran yang nilai kebenarannya terletak pada diri teroris itu sendiri. Keyakinan itu dapat berupa agama, seperti yang ditunjukkan oleh para pilot tempur AU Jepang di Perang Dunia II. yang melancarkan serangan Kamikaze ber jibaku (bunuh diri), dengan masuk ke dalam cerobong asap kapal-kapal perang Amerika Serikat. Keyakinan juga dapat terhadap hasil pemikiran jenius otak manusia, misalnya ‘demokrasi’ yang kini mampu meluluhlantakkan teori-teori lainnya mengenai tatanan kekuasaan yang baik, yang pernah ditawarkan oleh kalangan filsuf, ahli hukum, dan pakar ilmu politik hingga awal milenium ketiga ini. (Nurtjahjo, Hendra, 2006. Filsafat Demokrasi. halaman 1, Sinar Grafika Offset, Jakarta).

Kehidupan akar terorisme tergantung kepada lingkungan (habitat) masyarakat sebagai tanah tempatnya tertanam. Di atas akar tersebut batang terorisme tumbuh dengan kekuatan, yang sesuai dengan kemampuan teknis individu, hubungan antarmereka serta dukungan keuangan dan logistik. Kesuburan pohon terorisme tergantung kepada penyebabnya yaitu keadaan hubungan yang terjalin antarmanusia. Untuk memotong akar terorisme diperlukan kesadaran pelaku sendiri, atau bantuan positif dari kekuatan eksternal. Lingkungan yang menentukan kehidupan akar terorisme adalah pemikiran masyarakat yang ekstrem (berlebihan) atas keyakinan atau pemikiran mereka. Dalam konteks Indonesia ekstremitas yang terjadi disebabkan oleh infiltrasi sikap dan budaya asing, yaitu aliran keras transnasional. (Bersambung)•

Habitat Terorisme
Habitat terorisme adalah tempat yang dapat dianalogkan dengan air, jika terorisme merupakan ikan yang hidup di dalamnya. Habitat atau lingkungan hidup terorisme dapat juga di analogkan dengan tanah, jika terorisme diumpamakan sebagai pohon yang mempunyai akar, batang, ranting dan daun. Untuk membahas tanah kita harus membahas pohonnya dulu, karena hal ini menyangkut pohon apa yang hidup disana. Dari sana kita baru dengan. terang dapat membahas tanah yang bagaimana yang akomodatif dan kondusif untuk hidupnya pohon terorisme itu.

Terorisme sebagai suatu tindak kejahatan dapat terjadi secara tiba-tiba terhadap sasaran siapa saja. tak terkecuali (kombatan maupun non-kombatan), tanpa batas-batas teritorial negara (borderless] di belahan dunia manapun. Tujuan terorisme adalah menimbulkan rasa panik dan ketakutan umum, sehingga rakyat kian condong mengikuti kemauan para teroris. Objek terorisme lebih pada aspek psikologik manusia daripada aspek fisiknya. Karena itu para teroris lebih menghendaki banyak orang yang menyaksikan. mendengar atau mengetahui tentang terjadinya terorisme daripada hanya sekedar jatuhnya korban. Terorisme bom lebih bermanfaat dilakukan di kota-kota besar. di hotel besar atau tempat keramaian yang bertaraf internasional.

Dengan sifat objek yang demikian, diharapkan berita tentang kejadian terorisme, dapat diliput secara luas dan dramatis oleh mass media global sehingga diketahui oleh masyarakat dunia dengan cepat. Karenanya, walaupun sudah pernah terjadi, bom tetap berulang meledak di Bali dan JW Mariott, karena lebih efektif daripada jika dilakukan di daerah-daerah terpencil yang tidak dikenal dunia. Meskipun banyak hotel berbinlang di Indonesia dijaga ketat secara fisik, sebagaimana orang memagari rumahnya dengan pagar besi sekalipun, tikus akan tetap dapat menembus masuk kedalamnya. Metode terorisme dimulai dengan observasi, sebagaimana yang dilakukan oleh Ibrohim. Hasil observasi menentukan bahwa ia dapat melakukari infiltrasi (rnenyusup) kedalam hotel JW Mariott walaupun tanpa nama samaran. Ia juga dapat bekerja sebagai florist tapi dengan cover job (pekerjaan samaran) sebagai penjual bunga di sana.

Demikian pula halnya dengan Ahmad Fery Ramdhani alias Amir Abdillah, yang ditangkap Polri di kawasan Semper pada 6 Agustus 2009. Ia bekerja sebagai karyawan hotel berbintang di Jakarta dan teridentifikasi sebagai pemesan kamar 1808 di hotel JW Mariott. Sesuai dengan teori Klandestin, maka tahap berikutnya yang mereka lakukan adalah membentuk dan mengembangkan (TukBang) jejaring (network), untuk eksploitasi (pelaksanaan) peledakan bom berikutnya.

Pekerjaan rumah intelijen yang terbentang kini karena para teroris global telah merencanakan serangannya ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Berarti sama seperti apa yang dilakukan oleh Al-Qa.eda sebanyak dua kali pada dua kali tahun 2003 terhadap iring-iringan kendaraan Presiden Pervez Musharraf di Pakistan. Alasan mereka melakukan serangan (meski gagal). karena Presiden Pakistan dulu mendukung Pemerinlah Amerika Serikat dalam memerangi Taliban. Selain itu. Presiden Musharraf juga merupakan figur yang dibenci partai-partai Islam fundamental di dalam negerinya. Sedangkan SBY bukanlah “antek” Amerika Serikat dan tidak dibenci partai-partai Islam mana pun. Namun menurut Kadiv Humas Polri, teroris Amir Abdillah alias Ahmad Fery mengakui bahwa bombing di JW Mariott dan Ritz Carlton itu bertujuan memberi pelajaran atas eksekusi mati terhadap Amrozi, Mukhlas, dan Imam Samudra. Selain itu, SBY juga dianggap memimpin negara sekuler ala Barat. Dari video yang dirilis oleh As-Sahab Media, corong resmi Al- Qaeda. Ayman al-Zawahiri, orang kedua asal Mesir dalam jajaran kepemimpinan Al-Oaeda. justru memuji tiga terdakwa yaitu Mukhlas, Amrozi, dan Imam Samudera tersebut sehagai pahlawan-pahlawan Islam.( Andalas, P Mutiara, 2009. Politik Teror, Illah Kekerasan, Jakarta).

Pahlawan-pahlawan al-Qaeda pasca ‘bubar’nya JI kini adalah NMT dan para mantan JI dulu. Dukungan al-Qaeda bukan hanya berwujud pujian dan finansial semata-mata. tetapi juga pengembangan habitat yang kondusif atau akomodatif bagi mereka untuk beroperasi, bersembunyi dan melakukan regenerasi.

Suryohadiprojo (2009) menyampaikan hasil Lembaga Survey Indonesia (LSI) yang pada tahun 2004 melakukan penelitian, tentang hubungan masyarakat Indonesia dengan terorisme. Mayoritas responden mengetahui bahwa JI yang bertanggung jawab atas serangan teror, diantaranya 13.4% setuju ideologi ekstrem yang dia,iut organisasi itu. 15,92% setrju digunakannya teror untuk mencapai tujuan, sedangkan 25,2% tidak memberikan pendapat, yang dapat berarti juga belum tentu menolak terorisme. Pada bulan Mei 2009. yaitu dua bulan sebelum serangan 17 Juli di JW Mariott dan Ritz Carlton, dilakukan lagi penelitian oleh LSI. Ternyata hasilnya 14,6% setuju dengan aksi keji terhadap kemanusiaan itu dan 11,6% menolak pemberantasan teror. Yang tidak membenarkan terorisme hanya 05,1% dan 18.3% netral. (Suryohadiprojo, Sayidiman, 2009, Menghadapi Terorisme Merupakan Perjuangan /deo/ogi. Jakarta.) Kalau survey yang dilakukan LSI itu dapat diandalkan. maka jika dibandingkan dengan jumlah penduduk kita yang 200 juta ini. betapa signifikan secara kuantitas jumlah orang Indonesia yang telah beraliran ekstrem.

Habitat ekstrem tersebut dihadapkan dengan belum tertangkapnya Noordin Mohammad Top dan masih berkeliarannya Dulmatin (kedua-duanya mantan siswa kursus singkat militer di Kem militer Hudaibiyah/Moro), Umar Patek (lulasan Akademi Militer Afghanistan 3 tahun dan pelatih di Kem Hudaibiyah/Moro) dan Zulkarnain (lulusan Akademi Militer 3 tahun Jan pimpinan perwakilan NII di Afghanistan). (Abas, Nasir, 2009, Membongkar Jaringan Jama’ah Islamiyah, 2006 Jakarta), memungkinkan untuk terjadinya teror bom lagi di Indonesia dalam kurang lebih satu tahun kedepan ini. (Salim, Suryadharma, 2009, Wawancara dengan mantan Ketua Satgas Bom Polri pada Selasa 25 Agustus di Jakarta. Karena itu pemerintah DKI pada 11/8-2009 telah memerintahkan para lurah dan camat, untuk segera memetakan kondisi ‘kemampuan pantau’ wilayah mereka guna mempersempit ruang gcrak jaringan terorisme, yang dalam 10 tahun terakhir ini telah 14 kali menggoncang Jakarta. Mempersempit ruang gerak berarti membersihkan habitat mereka. yaitu kelompok masyarakat Indonesia yang kesusupan ekstremisme. Kelompok masyarakat yang ekstrem itu ditengarai sebagai mereka yang pernah ‘menyelinap’ ikut terlibat dalam peristiwa Ambon, para buronan yang melarikan diri dari konflik Poso, beberapa di antara mantan jihadis Afghanistan yang pada 1992 membelot menjadi pro Taliban, sebahagian dari para mantan NII (Negara Islam Indonesia) dan para mantan narapidana terorisme JI. yang tidak mengalami proses deradikalisasi. Kelompok masyarakat ini mempunyai “roh” yang sama dengan aliran keras transnasional. yang kerapkali memberi stigma kafir Kepada yang bukan pengikutnya. Itulah sebabnya mereka menganggap sebagai Jihad, walau dalam memerangi negara dan bangsa sendiri yang Muslim sekalipun. (Thalib, Ja’far Umar, 2009. Sel Baru Operator Teror, Majalah ‘Gatra’ hal 20, edisi No 42 Tahun 15 tgl 27 Agustus-2 Sept. (Thalib, Ja’far Umar, 2009. Sel Baru Operator Teror, Majalah ‘Gatra’ hal 20, edisi No 42 Tahun 15 tgl 27 Agustus-2 Sept.)

Gerakan Islam Transnasional
Gokrtigan masyarakat yang menyukai kekerasan banyak yang meng-claim atau mrngaku diri sebagai kaum Sutufi/Wahabi, Ikhwanul Mu.slii rin dan Hizhui Tulirir. sebagaimana halnya dengaa jarii gan organisasi teroris di Indonesia yang mengaku diri sebagai al .lania’uh ul /slcimivcih. Dari ketiga golougan i u yang paling kuat at’alah golongan Wahabi, terutama ^dak) n hal pcndanaan. karena mempunyai banyak sumvu’ mii.yak kerajaan Arab Saudi yanu mclimpah. Namun c emikian. ketiga gerakan iransnasional ini bahu-membahu d; lam mencapai tujuan me­reka, yakni formalisasi Islam lalam bentuk negara dan

Categories : OKT 2009 | SM-20-09

No comments:

Post a Comment