Friday, January 1, 2010

PAN, PMB, dan Muhammadiyah

Oleh: Pradana Boy ZTF

Meskipun organisasi sosial kemasyarakatan dan keagamaan bukanlah organisasi politik,proses-proses politik yang berlangsung pada tingkat kenegaraan selalu memberikan pengaruh bagi eksistensi ormas-ormas keagamaan.

Kenyataan itu juga bukan pengecualian bagi Muhammadiyah sebagai salah satu ormas Islam. Dari waktu ke waktu dinamika politik selalu memberikan pengaruh kepada Muhammadiyah, baik positif maupun negatif.

Tulisan ini bermaksud menyoroti posisi Muhammadiyah dalam peta Pemilu 2009 ini,memberikan pengamatan kepada parpol-parpol yang berbasis Muhammadiyah, serta peluang yang dimiliki tiap parpol ini dalam memperebutkan dukungan, utamanya dukungan dari kalangan Muhammadiyah. Berbeda dengan pemilu sebelumnya, Pemilu 2009 menyaksikan sebuah transformasi politik yang cukup signifikan dalam Muhammadiyah.

Selama ini,secara “tradisional”, politik Muhammadiyah umumnya selalu dihubungkan dengan Partai Amanat Nasional (PAN). Sebab, dalam waktu yang cukup lama dan masih berlangsung hingga hari ini, PAN merupakan “rumah politik” bagi warga Muhammadiyah.

Namun pandangan tradisional ini kini mengalami tantangan yang cukup serius karena dari rahim yang sama telah lahir Partai Matahari Bangsa (PMB) yang secara ideologis sama-sama menginduk pada Muhammadiyah. Tak bisa dimungkiri, kelahiran PMB telah menyulut konflik internal dalam Muhammadiyah.

Dari luar, konflik ini mungkin tidak terlalu nyata, tetapi apa yang sesungguhnya terjadi di dalam menunjukkan bahwa kelahiran PMB telah dirasa sebagai semacam “ancaman” bagi PAN yang selama ini merasa sebagai “rumah politik” yang absah secara ideologis bagi warga Muhammadiyah. Maka saling klaim pun muncul baik dari PAN maupun PMB.

Klaim PMB sebagai parpol anak muda Muhammadiyah,misalnya, telah menimbulkan ekses yang kurang baik berkaitan dengan hubungan kelompok tua dan muda di Muhammadiyah. Sementara di sisi lain, PAN juga mengklaim bahwa kelahiran PMB lebih banyak didasari oleh rasa “sakit hati” atau bahwa kelahiran PMB merupakan protes atas kekecewaan sekelompok orang yang mengatasnamakan diri sebagai kader muda Muhammadiyah terhadap kiprah politik PAN.

PMB: Peluang dan Tantangan

Maka kelahiran PMB kemudian menyulut kontroversi di kalangan internal Muhammadiyah. Namun, terlepas dari pro-kontra yang mengiringi kelahirannya itu, satu hal yang terlampau gamblang adalah bahwa PMB sebenarnya telah melakukan sebuah kesalahan kalkulasi yang cukup mendasar.

Miskalkulasi mendasar yang dilakukan PMB adalah bahwa parpol ini sejak awal kelahirannya didesain sebagai sebuah parpol sektarian yang sepenuhnya menyandarkan diri kepada Muhammadiyah. Memang benar, dalam berbagai kesempatan, para aktivis parpol ini selalu memberi klarifikasi tidak adanya hubungan antara PMB dan Muhammadiyah; hal yang juga pernah dilakukan PAN pada awal-awal kelahirannya.

Namun, secara faktual, sulit sekali mengelakkan hubungan itu.Bahkan dalam kasus PMB, suasana hubungan itu lebih kental ketimbang yang terjadi pada P A N . Terlebih jargonjargon y a n g d i - usung p a r p o l ini adalah juga jargon Muhammadiyah. Karena itu, secara teoretis, PMB akan sepenuhnya bergantung pada dukungan warga Muhammadiyah dan sulit membayangkan PMB akan mampu menarik pemilih dari luar Muhammadiyah.

Berkaitan dengan kelompok di luar Muhammadiyah, secara umum bisa kita kategorikan menjadi kelompok nasionalis dan kelompok Islam lain. Kategori umum ini juga bisa digunakan sebagai alat ukur untuk memprediksi preferensi politik tiap kelompok untuk kemudian menganalisis peluang PMB.

Di kalangan kaum nasionalis,parpol besar seperti Partai Golkar, PDI Perjuangan (PDIP) maupun Partai Demokrat akan melakukan perebutan yang cukup sengit. Preferensi kelompok nasionalis kepada parpol- parpol di atas sulit terbantahkan; terlebih ketiga parpol itu telah nyata-nyata mengusung calon presiden dari parpol masing-masing.

Demikian juga dengan kelompok Islam yang secara umum bisa dikategorikan menjadi kelompok tradisionalis dan Islam ideologis. Jika kelompok Islam tradisionalis sering dirujukkan kepada Nahdlatul Ulama (NU), sulit dibayangkan akan ada suara dari kalangan ini yang masuk ke PMB.

Apalagi di kalangan NU sendiri parpol yang menyatakan diri sebagai bagian ideologis dari organisasi ini juga cukup banyak. Demikian juga dengan kalangan Islam ideologis seperti PKS, sulit dibayangkan akan ada suara dari kelompok Islam ideologis ini yang diberikan kepada PMB.

Pelajaran dari PAN


Atas dasar ini, keyakinan berlebihan para aktivis PMB untuk bisa meraih suara signifikan dalam Pemilu 2009 adalah sebuah optimisme yang ahistoris.Apa yang terjadi pada PAN setidaknya bisa dijadikan sebagai cermin bagi PMB. Dalam dua kali pemilu yang diikuti, PAN sebagai parpol yang memiliki kedekatan emosional dan kultural dengan Muhammadiyah memperoleh suara yang tak terlampau signifikan.

Kecilnya perolehan suara PAN itu juga sering dikaitkan dengan kekecewaan warga Muhammadiyah terhadap PAN. Bahwa tidak sedikit warga Muhammadiyah yang kecewa ketika melihat kiprah politikus PAN karena dianggap tidak membawa aspirasi Muhammadiyah.Namun, sesungguhnya bukan faktor kekecewaan semata-mata yang menjadikan perolehan suara PAN kecil.

Di samping itu, sebenarnya, ekspektasi berlebihan warga Muhammadiyah terhadap kiprah politisi PAN ini juga terlalu janggal karena sejak awal PAN memang tidak didesain sebagai parpol sektarian Muhammadiyah.

Memang pada perkembangan selanjutnya kesan PAN sebagai parpol sektarian Muhammadiyah menjadi tak terelakkan ketika pada kongres pertama di Yogyakarta faksi Islamis di PAN yang dimotori AM Fatwa berhasil memukul mundur faksi sosialis-nasionalis yang pada waktu itu disimbolkan Faisal Basri sehingga sejak saat itu PAN adalah proyek pluralisme yang gagal. Pengalaman lain adalah dukungan formal Muhammadiyah terhadap Amien Rais untuk menjadi presiden pada Pemilu Presiden 2004.

Jika hanya memberikan dukungan moral, itu sudah menjadi kewajiban Muhammadiyah, tetapi apa yang terjadi saat itu sudah masuk ke dalam wilayah politik praktis dengan melakukan mobilisasi internal dan setengah pewajiban bagi warga Muhammadiyah untuk memilih Amien Rais dalam pemilu.

Ketika ternyata Amien Rais gagal memenangi pemilu, ini juga bisa diartikan sebagai tidak mudahnya melakukan penyeragaman sikap politik warga Muhammadiyah sekaligus bukti betapa sedikitnya jumlah suara yang dimiliki Muhammadiyah jika sudah berhadapan dengan persoalan politik.

Ini semua bisa dibaca sebagai tidak mudahnya menggiring Muhammadiyah yang selama ini dikenal sebagai mesin sosial menjadi mesin politik. Karena itu,menyeret- nyeret Muhammadiyah ke dalam kancah politik dengan sendirinya akan berhadapan dengan benteng kultural yang sebenarnya masih cukup kuat di kalangan Muhammadiyah. Maka,patut disayangkan,pada Pemilu 2009 ini PAN dan PMB sama- sama memperebutkan lahan suara yang tidak terlalu luas itu.

Hanya saja, PAN masih memiliki sedikit keunggulan dibandingkan PMB. Keunggulan itu, misalnya, adalah infrastruktur parpol yang cukup tertata, kemungkinan meraih pemilih dari luar Muhammadiyah mengingat di sebagian kalangan citra PAN sebagai parpol pluralis belum sepenuhnya pudar; dan terakhir di sebagian kalangan anggota Muhammadiyah, persenyawaan antara Muhammadiyah dan PAN adalah sesuatu yang terlalu sulit dipisahkan sehingga kehadiran PMB tidak terlalu mengusik sikap politik mereka untuk terus bersama PAN.

Sebagai catatan akhir, satu hal yang cukup mengkhawatirkan adalah ketika perebutan suara antara PAN dan PMB ini mengarah pada retaknya soliditas Muhammadiyah sebagai organisasi sehingga secara organisatoris Muhammadiyah akan terkorbankan oleh ambisi politik para aktivisnya. Melihat gejala-gejala awal yang berkembang, kekhawatiran ini patut diungkapkan.(*)


Penulis: Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah, Alumnus Australian National University

Sumber: Harian Seputar Indonesia, Rabu 1 April 2009

No comments:

Post a Comment