Koran Tempo, [11 Maret 2009]
Benni Setiawan
MAHASISWA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA, YOGYAKARTA
Artikel Asep Purnama Bahtiar berjudul “Bandul Politik Muhammadiyah” (Koran Tempo, 6 Maret 2009) di awal tulisan begitu ideal. Namun, solusi yang diberikan di paragraf akhir terkesan malu-malu. Asep Purnama tidak berani menyatakan bahwa sudah saatnya Muhammadiyah menjauhi arena politik. Artikel ini akan berusaha mendudukkan peran kebangsaan Muhammadiyah dengan tidak ikut serta dalam hiruk-pikuk politik. Namun, artikel ini tidak berpretensi dapat menyelesaikan persoalan "gairah" politik Muhammadiyah yang ditahan sejak dulu.
Sejak awal doktrin persyarikatan Muhammadiyah, organisasi yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan, adalah gerakan sosial kemasyarakatan amar ma'ruf nahi munkar dan tadjid. Namun, akhir-akhir ini beberapa warga persyarikatan mulai mengusik khitah perjuangan tersebut. Mereka mendirikan partai politik yang diklaim sebagai anak kandung Muhammadiyah karena lahir berdasarkan amanat Tanwir Muhammadiyah di Ponorogo pada 1969. Ada pula beberapa pimpinan wilayah Muhammadiyah (PWM) yang mencalonkan diri menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah melalui institusi besar Muhammadiyah, karena ada amanat atau surat keputusan dari musyawarah pimpinan wilayah luar biasa.
Padahal keputusan Tanwir Muhammadiyah di Ponorogo atau sering disebut Khitah Ponorogo, yang berisi tentang diperbolehkannya kader Muhammadiyah mendirikan parpol sebagai salah satu alat menyampaikan aspirasi, meminjam istilah Haedar Nashir (2000) sudah di-nasakh (dihapus) dengan Khitah Perjuangan Muhammadiyah tahun 1971 Ujung Pandang (Khitah Ujung Pandang). Khitah Ujung Pandang berbunyi "Muhammadiyah adalah gerakan dakwah Islam yang beramal dalam segala bidang kehidupan manusia dan masyarakat, tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan dan tidak merupakan afiliasi dari suatu partai politik atau organisasi apa pun".
Dengan demikian, Muhammadiyah tidak perlu terlibat langsung sebagaimana saudara tua NU. Muhammadiyah tidak perlu melahirkan atau membidani sebuah parpol. Lebih dari itu, Muhammadiyah tidak perlu juga mengusulkan dan mencalonkan "kader terbaiknya" menjadi anggota legislatif ataupun Dewan Perwakilan Daerah, sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa pimpinan wilayah Muhammadiyah di berbagai daerah. Dengan alasan "menyelamatkan" suara warga Muhammadiyah, PWM menginstruksikan warganya dengan surat keputusan melalui Musyawarah Pimpinan Wilayah Luar Biasa. SK tersebut sering kali digunakan sebagai "senjata andalan" untuk mendulang kemenangan (suara) seorang calon anggota DPD. Bahkan SK tersebut sering kali ada di sekolah-sekolah Muhammadiyah yang dititipkan peserta didik untuk orang tua/wali murid.
Ideologi politik
Merangseknya "ideologi politik" ke dalam tubuh Muhammadiyah tentunya perlu diwaspadai. Artinya, ideologi politik hanya akan mencerai-beraikan Muhammadiyah. Muhammadiyah akan kehilangan élan vitalnya dalam pembangunan bangsa dan negara. Muhammadiyah hanya akan disibukkan oleh ritual politik yang penuh intrik dan menghabiskan banyak biaya.
Keterlibatan Muhammadiyah dalam partai politik menjadi ancaman nyata persyarikatan yang hampir seabad ini. Muhammadiyah akan menjadi organisasi yang lemah dan tidak berdaya. Muhammadiyah akan banyak kehilangan aset. Hal ini karena aset Muhammadiyah dijual dengan harga murah oleh segelintir orang yang mengatasnamakan kader persyarikatan.
Sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah hanya akan dijadikan bancakan untuk memuaskan dahaga politikus yang ingin mencari hidup dari Muhammadiyah. Sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah tidak akan lagi melayani dan menjadi basis pencerahan dan pendidikan umat. Ia hanya akan menjadi lumbung penumpuk uang untuk menyokong agenda kampanye politik.
PKU Muhammadiyah pun tidak akan lepas dari sasaran tempat kelompok ideologi politik. PKU sebagai basis kesehatan umat hanya akan dipenuhi gambar-gambar calon legislator dari parpol tertentu. Ruang-ruang PKU tidak lagi mencerminkan layanan sosial umat, namun menjadi layanan sosial parpol. Maka, sudah saatnya warga persyarikatan Muhammadiyah kembali kepada khitah perjuangannya, yaitu gerakan sosial kemasyarakatan amar ma'ruf nahi munkar dan tadjid (pembaruan). Muhammadiyah tidak akan ditinggal oleh sejarah jika ia tetap pada khitah tersebut. Bahkan ia akan semakin kukuh dan mewarnai setiap gerak langkah sejarah bangsa.
Muhammadiyah seyogianya kembali membina dan membangun masyarakat. Hal ini karena, menurut M. Amien Rais (Suara Muhammadiyah, Nomor 04. 16-28 Februari 2009), membangun masyarakat lebih sulit daripada membangun negara. Membangun sebuah negara memang lewat pemegangan kekuasaan sebuah bangsa. Kekuasaan itu bisa diambil lewat proses demokrasi melalui pemilu, bisa juga lewat kudeta, bahkan bisa lewat pemberontakan. Nah, Muhammadiyah tidak percaya bahwa misi keislaman Muhammadiyah bisa dilaksanakan semata-mata lewat kekuasaan. Kekuasaan itu sesuatu yang sifatnya sangat rapuh. Kekuasaan itu datang dan pergi, jatuh dan bangun, bahkan kadang-kadang bisa lenyap secara tiba-tiba. Tetapi, kalau masyarakat itu jauh lebih lestari, itu karena masyarakat adalah kumpulan dari tiap individu yang membentuk sebuah bangsa dengan segala macam aspirasi, impian, dan cita-cita.
Lebih lanjut, mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini menambahkan, Muhammadiyah tidak membidik negara Islam sama sekali, tetapi mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Artinya, melakukan transformasi mental, transformasi gagasan, transformasi cara kehidupan dan bersikap, serta transformasi etiket dan etika dalam kehidupan sebuah bangsa. Nah, kalau masyarakat itu lebih-kurang sudah landing kepada nilai-nilai Islam, sesungguhnya tujuan Muhammadiyah itu sudah terpenuhi, sekalipun kita juga paham bahwa melakukan transformasi kehidupan Islami di tengah masyarakat adalah sebuah perjuangan abadi. Intinya adalah, Muhammadiyah tidak akan berebut kekuasaan, tetapi Muhammadiyah berkhidmat di bidang pendidikan, kesehatan, pembangunan sumber daya manusia, mengarahkan kepemudaan, keputrian, kepanduan, dan lain-lain, tanpa melupakan kehidupan politik.
Pada akhirnya, sudah saatnya pimpinan Muhammadiyah sadar bahwa garis perjuangan Muhammadiyah bukanlah politik praktis. Bagi pimpinan persyarikatan yang ingin mencalonkan diri menjadi presiden, wakil presiden, anggota DPR, anggota DPD, sudah saatnya mereka pamit dari Muhammadiyah, sebagaimana amanat SK PP Nomor 160.
No comments:
Post a Comment