Oleh Dr. H. Haedar Nashir, M.Si.
Dalam pandangan Muhammadiyah, bahwa Islam adalah agama untuk penyerahan diri semata-mata karena Allah, agama semua Nabi, agama yang sesuai dengan fitrah manusia, agama yang menjadi petunjuk bagi manusia, agama yang mengatur hubungan dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan sesama, dan agama yang menjadi rahmat bagi semesta alam. Islam satu-satunya agama yang diridhai Allah dan agama yang sempurna. Dengan beragama Islam maka setiap muslim memiliki dasar/landasan hidup tauhid kepada Allah, fungsi/peran dalam kehidupan berupa ibadah, menjalankan kekhalifahan, dan bertujuan untuk meraih ridha serta karunia Allah SWT. Islam yang mulia dan utama itu akan menjadi kenyataan dalam kehidupan di dunia apabila benar-benar diimani, dipahami, dihayati, dan diamalkan oleh seluruh pemeluknya (orang Islam, umat Islam) secara total atau kaffah dan penuh ketundukan atau penyerahan diri. Dengan pengamalan Islam yang sepenuh hati dan sungguh-sungguh itu, maka terbentuk manusia muslimin yang memiliki sifat-sifat utama: kepribadian muslim, kepribadian mukmin, kepribadian muhsin dalam arti berakhlak mulia, dan kepribadian muttaqin (Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah/PHIWM, bab Pandangan Islam Tentang Kehidupan).
Pandangan Islam tentang kehidupan menunjukkan keluasan mengenai aktualisasi ajaran Islam, sekaligus kesadaran dan tuntutan untuk membumikan ajaran Islam tersebut dalam dunia kehidupan umat manusia untuk menciptakan rahmatan lil-‘alamin. Dalam konteks inilah Muhammadiyah memandang dunia bukan saja sebagai ajang untuk membumikan ajaran Islam, sekaligus memberi ruang untuk berijtihad dalam rangka mengurus urusan dunia berdasarkan pesan ajaran Islam. Dalam kaitan inilah maka Muhammadiyah pun memiliki pandangan yang mendasar mengenai konsep dunia (ma hiya al-dunyâ). Menurut Muhammaiyah, bahwa ”Yang dimaksud dengan ”urusan dunia” dalam Sabda Rasulullah saw.: ”Kamu lebih mengerti urusan duniamu” ialah segala perkara yang tidak menjadi tugas diutusnya para Nabi; yaitu perkara-perkara/pekerjaan-pekerjaan/urusan-urusan yang diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan manusia (Kitab Masalah Lima, Al-Masâil Al-Khams tentang al-Dunýâ).
Selain pandangan mengenai agama dan dunia, dalam al-Masail al-Khams juga dikemukakan juga mengenai konsep ibadah, sabilullah, dan qiyas atau ijtihad, yang menyisyaratkan tentang lima masalah mendasar yang terkait dengan pandangan Muhammadiyah mengenai hal-hal penting bagi manusia. Muhamadiyah berpandangan bahwa ”’Ibadah ialah bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, dengan jalan menta’ati segala perintah-perintah-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya dan mengamalkan segala yang diidzinkan Allah. ‘Ibadah itu ada yang umum dan ada yang khusus: a. Yang umum ialah segala ‘amalan yang diidzinkan Allah. B. Yang khusus ialah apa yang ditetapkan Allah akan perincian-perinsiannya, tingkah dan cara-caranya yang tertentu.” (Kitab Masalah Lima, Al-Masâil Al-Khams tentang ‘Ibadah).
Adapun mengenai ”apa itu sabilullah” Muhammadiyah berpandangan bahwa ”Sabilullah ialah jalan yang menyampaikan kepada keridlaan Allah, berupa segala ‘amalan yang diidzinkan Allah untuk memuliakan kalimat-kalimat-(agama-agama)-Nya dan melaksanakan hukum-hukum-Nya.” (Kitab Masalah Lima, Al-Masâil Al-Khams tentang Sabilillah) . Dengan pandangan mengenai sabilullah tersebut Muhammadiyah selain menunjukkan kesatuan mengenai jalan dunia dan akhirat yang harus satu napas, juga memandang tentang pentingnya setiap muslim untuk berbuat sesuai dengan dan menuju pada jalan Allah. Sabilullah tidak lepas dari ibadah, bahkan keduanya merupakan satu kesatuan yang utuh tentang kesadaran berbuat bagi setiap muslim.
Dalam Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah (MKCHM) dikatakan bahwa Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan (a) Al-Quran: Kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad S.A.W.; (b) Sunnah Rasul: penjelasan dan pelaksanaan ajaran-ajaran Al-Quran yang diberikan oleh Nabi Muhammad S.A.W.; dengan menggunakan akal pikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam (MKCH butir ke-3). Pandangan tersebut menunjukkan dua dimensi yang terkait dengan sumber dan sekaligus cara memahami ajaran Islam dalam Muhammadiyah. Bahwa kembali pada sumber ajaran Islam yang murni, yakni Al-Quran dan Sunnah yang shakhih, disertai dengan penggunaan akal pikiran yang sesuai dengan jiwa ajaran Islam. Di sini Muhammadiyah menggunakan dalil naqli sekaligus aqli sesuai dengan prinsip-prinsip manhaj Tarjih. Karena itu Muhammadiyah tidak anti akal pikiran, bahkan menempatkannya secara proporsional.
Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang: (a) ‘Aqidah; Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid’ah dan khurafat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam; (b) Akhlaq; Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlaq mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran Al-Quran dan Sunnah Rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia; (c) ‘Ibadah; Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ‘ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah S.A.W. tanpa tambahan dan perubahan dari manusia; (d) Mu’amalah dunyawiyat; Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya mu’amalah dunyawiyat (pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat) dengan berdasarkan ajaran Agama serta menjadikan semua kegiatan dalam bidang ini sebagai ‘ibadah kepada Allah S.W.T. (MKCH, butir ke-4).
Muhammadiyah berpandangan bahwa Al-Quran dan Sunnah Rasul sebagai penjelasannya adalah pokok dasar hukum/ajaran Islam yang mengandung ajaran yang benar, sedangkan akal-pikiran atau al-Ra’yu adalah alat untuk: a. mengungkap dan mengetahui kebenaran yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul; b. mengetahui maksud-maksud yang tercakup dalam pengertian Al-Quran dan Sunah Rasul. Bahwa pintu ijtihad senantiasa terbuka. Bahwa dalam beraama hendaklah berdasarkan pengertian yang benar, dengan ijtihad atau ‘ittiba’. Bahwa dalam menetapkan tuntunan yang berhubungan dengan masalah agama, baik bagi kehidupan perseorangan ataupun bagi kehidupan gerakan, adalah dengan dasar-dasar seperti tersebut di atas, dilakukan dalam musyawarah oleh para ahlinya, dengan cara yang sudah lazim disebut ”Tarjih”, ialah membanding-banding pendapat dalam musyawarah dan kemudian mengambil mana yang mempunyai alasan yang lebih kuat.
Bahwa dasar muthlaq untuk berhukum dalam agama Islam adalah Al-Quran dan Al-Hadits. Bahwa di mana perlu dalam menghadapi soal-soal yang telah terjadi dan sangat dihajatkan untuk diamalkannya, mengenai hal-hal yang tak bersangkutan dengan ‘ibadah mahdhah padahal untuk alasan atasnya tiada terdapat nash sharih dalam Al-Quran dan Sunnah shahihah, maka dipergunakanlah alasan dengan jalan ijtihad dan istimbath dari nash yang ada melalui persamaan ‘illat, sebagaimana telah dilakukan oleh ‘ulama salaf dan Khalaf (Kitab Masalah Lima, Al-Masail Al-Khams tentang Qiyas).
Dengan dasar dan cara memahami agama yang seperti itu, Muhammadiyah berpendirian bahwa ajaran Islam merupakan ”kesatuan ajaran” yang tidak boleh dipisah-pisahkan dan meliputi ‘aqidah, akhlak, ‘ibadah, dan mu’amalat.; yang semuanya bertumpu dan untuk mencerminkan kepercayaan ”Tauhid” dalam hidup dan kehidupan manusia, dalam wujud dan bentuk hidup dan kehidupan yang semata-mata beribadah kepada Allah dalam arti luas dan penuh (Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Keputusan2 PP Muhammadiyah., hal. 8-10.).
Muhammadiyah dalam memaknai tajdid mengandung dua pengertian, yakni pemurnian (purifikasi) dan pembaruan (dinamisasi) (Keputusan Munas Tarjih). Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, dakwah amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid, bersumber pada Al-Quran dan Sunnah (AD Muhammadiyah, 2005). Salah satu dari enam prioritas program Muhammadiyah periode 2005-2010 ialah pengembangan tajdid di bidang tarjih dan pemikiran Islam secara intensif dengan menguatkan kembali rumusan-rumusan teologis seperti tauhid sosial, serta gagasan operasional seperti dakwah jamaah, dengan tetap memperhatikan prinsip dasar organisasi dan nilai Islam yang hidup dan menggerakkan (Keputusan Muktamar ke-45 di Malang tahun 2005).
No comments:
Post a Comment