Monday, January 11, 2010

Muhammadiyah dan Pemberdayaan Kaum Marjinal

Republika, [Jumat, 01 Juli 2005}

Kasmir Tri Putra
Wakil Ketua Majelis Wakaf dan Kehartabendaan Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Mengapa sebagian besar masyarakat pedesaan seperti buruh, tani, nelayan, masyarakat adat pada umumnya, maupun kaum miskin kota dan kelompok marjinal lain menjadi miskin, atau kualitas hidup yang tidak meningkat dari masa ke masa?

Jawaban pokok pertanyaan ialah karena kelompok-kelompok marjinal tidak memiliki akses yang berarti kepada pusat-pusat kekuasaan yang menyusun dan memutuskan kebijakan yang mempengaruhi kehidupan mereka, baik di tingkat akar rumput (komunitas), lokal, maupun nasional. Kehidupan kelompok-kelompok marjinal sangat tergantung pada kelompok-kelompok (kepentingan) yang berada di luar diri mereka, yang sejatinya memiliki kepentingan-kepentingan sendiri, yang umumnya berbeda dan tidak sejalan dengan kepentingan-kepentingan kelompok marjinal.

Sebagian besar masyarakat ini mulai tersingkir dari institusi utama masyarakat. Dari sisi ekonomi, karena kesehatan yang kurang terjamin, pendidikan yang rendah, dan tiadanya keterampilan akan berdampak pada penghasilan mereka. Sedangkan dari sisi budaya dan tata nilai, karena kualitas hidup rendah, mereka seringkali terjebak dalam etos kerja yang rendah, berpikir pendek dan fatalisme. Kondisi tersebut menyebabkan kebutuhan dasar manusia, seperti sandang, pangan, papan, keamanan, identitas kultural, proteksi, kreasi, kebebasan, partisipasi, dan waktu luang tidak terpenuhi. Meminjam istilah Moeslim Abdurrahman, kelompok-kelompok inilah yang sesungguhnya dalam keadaan "yatim" secara sosial dan politik.

Muhammadiyah harus membentuk kembali akar rumput. Isu ini semakin relevan manakala persyarikatan mengalami pergeseran pergerakan dari gerakan populis yang memperhatikan kaum mustad'afin menjadi gerakan elitis yang birokratis. Maka jangan heran, ketika melihat persoalan sosial dan keummatan yang masih terlilit problema ekonomi dan sosial, Muhammadiyah tidak mampu menawarkan solusi. Karena itu, Muhammadiyah memerlukan pendekatan baru dalam gerakannya, tidak sekadar berdakwah mengenai "sorga dan neraka".

Potensi mengembalikan gerakan Muhammadiyah yang populis dapat dilakukan antara lain dengan kaderisasi di pondok pesantren dan perguruan Muhammadiyah. Di kawah candra dimuka inilah kader-kader muda Muhammadiyah potensial dibekali beragam perspektif, sehingga memiliki kemampuan membaca konstruksi sosial, menganalisa, dan kemampuan menawarkan solusi.

Kepemimpinan cabang dan ranting Muhammadiyah dapat ditugaskan menggiatkan aksi-aksi sosial. Selain itu, perubahan kurikulum training kepemimpinan di Muhammadiyah menjadi kurikulum yang disertai analisa sosial (ansos) untuk membentuk kader yang pro-proletar, sebagaimana ingin diwujudkan surat Al Ma'un dalam Alquran. Sayangnya, universitas-universitas Muhammadiyah yang mempunyai jurusan ilmu-ilmu sosial jarang sekali mengkritisi perkembangan keadaan masyarakat.

Cara lain, PP Muhammadiyah dapat pula membuat proyek mustad'afin yang melibatkan tiap-tiap cabang angkatan muda melalui fasilitasi jamaah Muhammadiyah di akar rumput (Muhammadiyah based-community). Program yang dapat dirintis seperti mendirikan bank desa dengan modal yang ditanggung renteng 25 orang. Mereka dikumpulkan di masjid atas fasilitasi pengurus Muhammadiyah pada level setempat. Jumlah uang bisa dipinjamkan berkisar Rp 100 ribu hingga Rp 200 ribu kepada warga desa yang membutuhkan bantuan.

Target pengurus Muhammadiyah mengumpulkan jamaah bukan lagi untuk mengaji belaka, tetapi mulai memikirkan bentuk-bentuk kegiatan berdampak sosial ekonomi, di samping memberdayakan sikap politik jamaah. Melewati rentang waktu tertentu, proyek ini dapat dievaluasi termasuk perkembangan tingkat kesadaran akar rumput terhadap Islam.

Jika berjalan baik, bukan mustahil kader Muhammadiyah memunculkan kesadaran bentuk baru, kesadaran yang emansipatoris yang mampu mengubah corak dan karakter Muhammadiyah di masa depan. Kalau gerakan Muhammadiyah tidak berubah maka people movement tidak akan pernah berkembang. Tetapi, memobilisasi kaum proletar dalam jamaah tidak bermaksud membentuk mereka sebagai Marxis.

Selama ini belum pernah terungkap konsep Islam mengenai gerakan sosial. Tidak heran jika umat Islam lebih sering melawan kapitalis dengan ayat-ayat. Para aktivis pun hanya mampu mengandalkan hafalan 30 juzz Al Qur'an tanpa pernah mampu mengatasi masalah keummatan.

Gerakan Islam di Indonesia seperti diwakili Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama tidak pernah berwujud populis. NU hanyalah gerakan kiai-santri atau hubungan leaders and followers melalui kegiatan di pondok pesantren yang terjalin lama disertai patronase-klienase yang direproduksi terus menerus. Walaupun sebagian besar pengikut NU adalah wong deso, tetapi mereka tidak populis karena patronase-klienase yang betul-betul terbentuk.

Kalau melihat sejarah, yang kemudian diulangi KH Ahmad Dahlan, masa awal perkembangan Islam masalah pelayanan sangat ditekankan. Pada masa nabi pelayanan dalam arti penyantunan kepada para kaum dhuafa dan mustad'afin. Mengapa seperti itu pemahamannya, karena ketika Islam datang pertama kali yang dihadapi adalah masyarakat Arab yang sedang memasuki masa transisi, dari masyarakat Arab yang semula strukturnya tribalisme atau kesukuan menjadi masyarakat markantile atau perdagangan.

Dalam struktur masyarakat seperti ini terdapat perbedaan perlakuan terhadap kaum lemah dan dilemahkan. Pada struktur sosial tribalisme, orang-orang terlantar seperti anak yatim dan janda menjadi tanggungan kepala suku. Tetapi ketika masyarakat Arab sudah berubah menjadi masyarakat markantile maka kaum dhuafa dan mustad'afin menjadi tidak jelas ditanggung hidup oleh siapa. Karena konteks sosial demikian, maka Alquran pada awalnya banyak menekankan pada penyantunan kepada orang-orang lemah.

Beberapa tahun yang lalu Amien Rais pernah memunculkan istilah "tauhid sosial", yang membicarakan antara Islam dan keberpihakan kepada kaum dhuafa. Apakah sekarang ini masih relevan untuk dikampanyekan lagi di kalangan Muhammadiyah? Tauhid sosial itu merupakan konsekuensi logis dari tauhid teologis, dari keyakinan bahwa Allah adalah esa yang kemudian tertanam keyakinan bahwa manusia sebagai bangsa adalah satu. Dalam Alquran telah ditegaskan manusia merupakan bangsa yang satu. Kesatuan manusia kemudian dalam hadis yang berisi khutbah nabi waktu haji wada' ditegaskan lagi bahwa tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas orang Ajam.

Ketika doktrin sosial manusia sebagai satu bangsa, maka sudah secara otomatis terdapat saling ketergantungan sebagai satu bangsa dan saling membutuhkan. Orang kaya membutuhkan orang miskin dan orang kuat membutuhkan orang lemah. Di Indonesia saat ini kelompok yang intens membela orang-orang tertindas oleh sistem adalah kalangan lembaga swadaya masyarakat non-agama, sementara LSM agama lebih cenderung menolong yang terkena musibah bencana alam, banjir, gempa bumi.

Muncul kerepotan tersendiri untuk mengubah gerakan Muhammadiyah, dari gerakan kelas menengah menjadi gerakan kelas bawah. Gerakan kelas menengah selalu memunculkan kesadaran pada pasar, bukan pada rakyat itu sendiri. Lalu mau ke mana Muhammadiyah hendak dibawa? Apakah yang diinginkan menjadi takwa adalah struktur organisasi, masyarakat, atau insannya.

Risalah Islamiyah yang paling asasi adalah memperjuangkan keadilan struktur sosial. Rasulullah telah memperjuangkan pengeluaran kepemilikan harta lewat zakat yang membuat pusing pemilik harta pada masa itu. Jika dianologikan, berhala pada masa itu merupakan simbol kapitalisme masa kini, seperti Mc Donald, karena berhala merupakan identifikasi orang yang memiliki kekayaan. Orang yang berharta tanpa disertai tanggung jawab keumatan akan mudah kehilangan solidaritas sosial.

Pada dasarnya gerakan memperjuangkan mustad'afin sudah lama tercatat dalam sejarah Muhammadiyah sejak KH Ahmad Dahlan. Belakangan berubah dalam dua dekade terakhir, sehingga perspektif sosiologis Muhammadiyah sedikit demi sedikit menghilang. Kendati Muhammadiyah memiliki banyak aktivis di semua tingkat kepengurusan, dewasa ini Muhammadiyah telah kehilangan ummat sebagai people movement tipe gerakan berubah dari people-based movement menjadi school-based movement.

Inilah agenda besar ketua umum Pimpinan Pusat Muhamadiyah terpilih bersama jajarannya yang masuk '13 unsur pimpinan pusat' pada Muktamar Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Malang, 3-8 Juli nanti. Karena isu mengembalikan fungsi sosiologis Muhammadiyah bisa kontroversial, maka untuk menghindari jebakan konflik vertikal diharapkan Muhammadiyah tidak terjebak saling klaim yang mendiskreditkan Muhammadiyah 'kiri' dan 'kanan'.

( )

No comments:

Post a Comment