Suara Muhammadiyah, [10 November, 2009]
-
AM HENDROPRIYONO
Mantan Kepala Badan Intelijen Negara RI
-
Habitat Terorisme
Habitat terorisme adalah tempat yang dapat dianalogkan dengan air, jika terorisme merupakan ikan yang hidup di dalamnya. Habitat atau lingkungan hidup terorisme dapat juga di analogkan dengan tanah, jika terorisme diumpamakan sebagai pohon yang mempunyai akar, batang, ranting dan daun. Untuk membahas tanah, kita harus membahas pohonnya dulu, karena hal ini menyangkut pohon apa yang hidup di sana. Dari sana kita baru dengan. terang dapat membahas tanah yang bagaimana yang akomodatif dan kondusif untuk hidupnya pohon terorisme itu.
Terorisme sebagai suatu tindak kejahatan dapat terjadi secara tiba-tiba terhadap sasaran siapa saja. tak terkecuali (kombatan maupun non-kombatan), tanpa batas-batas teritorial negara (borderless] di belahan dunia manapun. Tujuan terorisme adalah menimbulkan rasa panik dan ketakutan umum, sehingga rakyat kian condong mengikuti kemauan para teroris. Objek terorisme lebih pada aspek psikologik manusia daripada aspek fisiknya. Karena itu, para teroris lebih menghendaki banyak orang yang menyaksikan. mendengar atau mengetahui tentang terjadinya terorisme daripada hanya sekedar jatuhnya korban. Terorisme bom lebih bermanfaat dilakukan di kota-kota besar. di hotel besar atau tempat keramaian yang bertaraf internasional.
Dengan sifat objek yang demikian, diharapkan berita tentang kejadian terorisme, dapat diliput secara luas dan dramatis oleh mass media global sehingga diketahui oleh masyarakat dunia dengan cepat. Karenanya, walaupun sudah pernah terjadi, bom tetap berulang meledak di Bali dan JW Mariott, karena lebih efektif daripada jika dilakukan di daerah-daerah terpencil yang tidak dikenal dunia. Meskipun banyak hotel berbintang di Indonesia dijaga ketat secara fisik, sebagaimana orang memagari rumahnya dengan pagar besi sekalipun, tikus akan tetap dapat menembus masuk kedalamnya. Metode terorisme dimulai dengan observasi, sebagaimana yang dilakukan oleh Ibrohim. Hasil observasi menentukan bahwa ia dapat melakukan infiltrasi (menyusup) ke dalam hotel JW Mariott walaupun tanpa nama samaran. Ia juga dapat bekerja sebagai florist tapi dengan cover job (pekerjaan samaran) sebagai penjual bunga di sana.
Demikian pula halnya dengan Ahmad Fery Ramdhani alias Amir Abdillah, yang ditangkap Polri di kawasan Semper pada 6 Agustus 2009. Ia bekerja sebagai karyawan hotel berbintang di Jakarta dan teridentifikasi sebagai pemesan kamar 1808 di hotel JW Mariott. Sesuai dengan teori Klandestin, maka tahap berikutnya yang mereka lakukan adalah membentuk dan mengembangkan (TukBang) jejaring (network), untuk eksploitasi (pelaksanaan) peledakan bom berikutnya.
Pekerjaan rumah intelijen yang terbentang kini karena para teroris global telah merencanakan serangannya ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Berarti sama seperti apa yang dilakukan oleh Al-Qaeda sebanyak dua kali pada dua kali tahun 2003 terhadap iring-iringan kendaraan Presiden Pervez Musharraf di Pakistan. Alasan mereka melakukan serangan (meski gagal). karena Presiden Pakistan dulu mendukung Pemerinlah Amerika Serikat dalam memerangi Taliban. Selain itu. Presiden Musharraf juga merupakan figur yang dibenci partai-partai Islam fundamental di dalam negerinya. Sedangkan SBY bukanlah “antek” Amerika Serikat dan tidak dibenci partai-partai Islam mana pun. Namun menurut Kadiv Humas Polri, teroris Amir Abdillah alias Ahmad Fery mengakui bahwa bombing di JW Mariott dan Ritz Carlton itu bertujuan memberi pelajaran atas eksekusi mati terhadap Amrozi, Mukhlas, dan Imam Samudra. Selain itu, SBY juga dianggap memimpin negara sekuler ala Barat. Dari video yang dirilis oleh As-Sahab Media, corong resmi Al-Qaeda. Ayman al-Zawahiri, orang kedua asal Mesir dalam jajaran kepemimpinan Al-Qaeda, justru memuji tiga terdakwa yaitu Mukhlas, Amrozi, dan Imam Samudera tersebut sebagai pahlawan-pahlawan Islam.( Andalas, P Mutiara, 2009. Politik Teror, Illah Kekerasan, Jakarta).
Pahlawan-pahlawan al-Qaeda pasca ‘bubar’nya JI kini adalah NMT dan para mantan JI dulu. Dukungan al-Qaeda bukan hanya berwujud pujian dan finansial semata-mata. tetapi juga pengembangan habitat yang kondusif atau akomodatif bagi mereka untuk beroperasi, bersembunyi dan melakukan regenerasi.
Suryohadiprojo (2009) menyampaikan hasil Lembaga Survey Indonesia (LSI) yang pada tahun 2004 melakukan penelitian, tentang hubungan masyarakat Indonesia dengan terorisme. Mayoritas responden mengetahui bahwa JI yang bertanggung jawab atas serangan teror, di antaranya 13.4% setuju ideologi ekstrem yang dianut organisasi itu. 15,92% setuju digunakannya teror untuk mencapai tujuan, sedangkan 25,2% tidak memberikan pendapat, yang dapat berarti juga belum tentu menolak terorisme. Pada bulan Mei 2009 yaitu dua bulan sebelum serangan 17 Juli di JW Mariott dan Ritz Carlton, dilakukan lagi penelitian oleh LSI. Ternyata hasilnya 14,6% setuju dengan aksi keji terhadap kemanusiaan itu dan 11,6% menolak pemberantasan teror. Yang tidak membenarkan terorisme hanya 05,1% dan 18,3% netral. (Suryohadiprojo, Sayidiman, 2009, Menghadapi Terorisme Merupakan Perjuangan Ideologi. Jakarta.) Kalau survey yang dilakukan LSI itu dapat diandalkan, maka jika dibandingkan dengan jumlah penduduk kita yang 200 juta ini, betapa signifikan secara kuantitas jumlah orang Indonesia yang telah beraliran ekstrem.
Habitat ekstrem tersebut dihadapkan dengan belum tertangkapnya Noordin Mohammad Top (yang sekarang sudah tewas. Red) dan masih berkeliarannya Dulmatin (kedua-duanya mantan siswa kursus singkat militer di Kem militer Hudaibiyah/Moro), Umar Patek (lulusan Akademi Militer Afghanistan 3 tahun dan pelatih di Kem Hudaibiyah/Moro) dan Zulkarnain (lulusan Akademi Militer 3 tahun Jan pimpinan perwakilan NII di Afghanistan). (Abas, Nasir, 2009, Membongkar Jaringan Jama’ah Islamiyah, 2006 Jakarta), memungkinkan untuk terjadinya teror bom lagi di Indonesia dalam kurang lebih satu tahun ke depan ini. (Salim, Suryadharma, 2009, Wawancara dengan mantan Ketua Satgas Bom Polri pada Selasa 25 Agustus di Jakarta.
Karena itu pemerintah DKI pada 11/8-2009 telah memerintahkan para lurah dan camat, untuk segera memetakan kondisi ‘kemampuan pantau’ wilayah mereka guna mempersempit ruang gerak jaringan terorisme, yang dalam 10 tahun terakhir ini telah 14 kali menggoncang Jakarta. Mempersempit ruang gerak berarti membersihkan habitat mereka. yaitu kelompok masyarakat Indonesia yang kesusupan ekstremisme. Kelompok masyarakat yang ekstrem itu ditengarai sebagai mereka yang pernah ‘menyelinap’ ikut terlibat dalam peristiwa Ambon, para buronan yang melarikan diri dari konflik Poso, beberapa di antara mantan jihadis Afghanistan yang pada 1992 membelot menjadi pro Taliban, sebahagian dari para mantan NII (Negara Islam Indonesia) dan para mantan narapidana terorisme JI. yang tidak mengalami proses deradikalisasi. Kelompok masyarakat ini mempunyai “roh” yang sama dengan aliran keras transnasional. yang kerapkali memberi stigma kafir kepada yang bukan pengikutnya. Itulah sebabnya mereka menganggap sebagai Jihad, walau dalam memerangi negara dan bangsa sendiri yang Muslim sekalipun. (Thalib, Ja’far Umar, 2009. Sel Baru Operator Teror, Majalah ‘Gatra’ hal 20, edisi No 42 Tahun 15 tgl 27 Agustus-2 Sept. (Thalib, Ja’far Umar, 2009. Sel Baru Operator Teror, Majalah ‘Gatra’ hal 20, edisi No 42 Tahun 15 tgl 27 Agustus-2 Sept.)
Gerakan Islam Transnasional
Golongan masyarakat yang menyukai kekerasan banyak yang meng-claim atau mengaku diri sebagai kaum Salafi/Wahabi, Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir, sebagaimana halnya dengan jaringan organisasi teroris di Indonesia yang mengaku diri sebagai al Jama’ah al Islamiyah. Dari ketiga golongan itu yang paling kuat adalah golongan Wahabi, terutama dalam hal pendanaan, karena mempunyai banyak sumur minyak kerajaan Arab Saudi yang melimpah. Namun demikian, ketiga gerakan transnasional ini bahu-membahu dalam mencapai tujuan mereka, yakni formalisasi Islam dalam bentuk negara dan aplikasi syari’ah sebagai hukum positif atau Khilafah Islamiyah. (Wahid, KH Abdurrahman, editor, 2009. Ilusi Negara Islam, halaman 78. Gerakan Bhineka Tunggal Ika, Jakarta)
Masyarakat garis keras lokal tidak mau disebut sebagai kaki tangan Salafi/Wahabi, karena hubungan mereka memang kepada aliran garis keras transnasional yang mengaku diri sebagai Wahabi. Golongan masyarakat aliran keras ini di Saudi Arabia disebut sebagai kaum ekstrem (ghuluw/tathorruf) (Al Hassaniy, Abuya Prof. Dr. As Sayyid Muhammad bin Alawi, 1424 H (2003 M). Ekstrem Dalam Pemikiran Agama, Pengaruhnya pada Kemunculan Terorisme dan Anarkisme. Terjemahan KH M Ihya’ Ulumiddin, 2006. halaman 11. Editor : HM Junaedi Sahal, SAg, M llyas, SPd. Surabaya, Indonesia. Judul asli : Al Ghuluw wa Atsaruhu fil Irhab wa Ifsad Al Mujtama’. Makkah Al Mukarromah, Saudi Arabia), yang bersikap berlebihan dalam memberi stigma kafir (al ghuluw fi takfir) kepada mereka yang bukan pengikutnya. Entitas yang menisbatkan diri mereka pada manhaj (metode) Salafus sholeh berorientasi kepada pemurnian tauhid (peng-Esa-an). Dari sejarahnya, kelompok ini lahir dari seorang ideolog yang bernama Syekh Muhammad bin Abdul Wahab. Karenanya, entitas ini juga populer dengan sebutan wahabi. (Ulumiddin, M Ihya’ KH, 1427 H; (2006 M), Pengantar pada buku ‘Ekstrem Dalam Pemikiran Agama; kajian Abuya Prof. Dr. As Sayyid Muhammad bin Alawi Al Malikiy Al Hassany, (terjemahan), halaman iv-v. Surabaya).
Wahabi adalah sebual sekte keras dan kaku pengikut Muhammad ibn Abdul Wahab yang lahir pada tahun 1703/1115 di Uyaynah, termasuk daerah Najd, belahan timur Kerajaan Saudi Arabia sekarang. Pemahaman ekstrem kaku, dan keras Ibn Abdul Wahab, yang terus dipelihara dan diperjuangkan para pengikutnya (Wahabi) hingga saat ini, adalah hasil dari pembacaan harfiah atas sumber-sumber ajaran Islam. Ini pula yang telah menyebabkan dia menolak rasionalisme, tradisi, dan beragam khazanah intelektual Islam yang sangat kaya. Literalisme Wahabi telah membuat teks-teks suci menjadi corpus tertutup terhadap cara pembacaan selain pembacaan secara harfiah ala Ibn Abdul Wahab. Pemahaman ini telah memutus teks-teks suci dari konteks masa risalah maupun konteks masa pembacaan. Teks-teks suci dan akhirnya Islam sendiri, tidak lagi komunikatif dengan konteks para penganutnya. Islam yang semula sangat apresiatif dan penuh perasaan dalam merespon permasalahan umat, di tangan Ibn Abdul Wahab berubah menjadi tidak peduli, keras dan tak berperasaan. Dari perspektif Ibn ‘Abdul Wahab, tujuan utama literalisme ini mungkin untuk menghindari kompleksitas pemahaman dan praktik hukum, teologi dan tasawuf umat Islam yang telah tumbuh sejak berakhirnya masa risalah.
Namun membayangkan bahwa setiap individu atau masyarakat akan mengamalkan Islam sebagaimana makna harfiah kitab suci dan Hadits, tanpa pengaruh tradisi maupun budaya setempat, tentu tidak realistis. Literalisme tertutup, dalam kebanyakan kasusnya, lebih disebabkan ketakmampuan dalam memahami kompleksitas realitas sosial dalam kaitannya dengan kompleksitas pesan-pesan luhur ajaran agama. Akibatnya, semua direduksi sesuai dengan daya tampung atau daya paham si pembaca. Dengan kata lain, keluhuran dan keluasan pesan agama kandas di keterbatasan daya pikir pembaca yang kaku. (Wahid, KH Abdurrahman, editor, 2009. Ilusi Negara Islam, halaman 62. Gerakan Bhineka Tunggal Ika, Jakarta)
Antara pendekatan tekstual dan kontekstual tidak perlu dipertentangkan. Kedua-duanya diperlukan, ada ayat-ayat yang harus dan cukup dipahami secara tekstual apa adanya, tetapi ada juga ayat-ayat yang tidak boleh tidak harus dilihat konteksnya. Tidak semua pendekatan tekstual salah, sebagaimana juga tidak semua pendekatan kontekstual benar. Masing masing ada tempatnya sendiri-sendiri. (llyas, Yunahar, 2008. Al-Qur’an AI-Karim: Sejarah Pengumpulan dan Metodologi Penafsiran dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar UMY pada 18 Nopember di Yogyakarta). Berarti tidak perlu ada unsur atau aksi kekerasan apa pun, untuk saling memaksakan pengertian atau kehendak satu sama lain.
Dalam kaitan ini Dr. (HC) KH Hasyim Muzadi (2009) mengatakan: “Orang yang memahami keimanan secara monolitik berpendapat, bahwa mereka yang tidak sepaham dengan dia berarti sudah tidak beriman. Ini sebenarnya fenomena lama, tidak hanya sekarang. Dulu pada saat Sayyidina ‘Ali Karram Allah Wajhah (semoga Allah memuliakannya) kita kenal sebuah kelompok namanya Khawarij yang mengkafirkan, semua orang di luar golongannya. Nah ini sampai sekarang reinkarnasinya masih ada, sehingga seperti Azhari datang ke Indonesia ngebom, itu dia merasa mendapat pahala” (Penjelasan DR. (HC) KH Hasyim Muzadi, 2009. Dalam: Lautan Wahyu: Islam sebagai Rahmatan lil-’Alamin, episode 3: “Umat,” Supervisor Program: H. A. Mustofa Bisri, ©LibForAll Foundation, Jakarta).l BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment