Republika, [10 Juni 2005]
KH Dr Tarmizi Taher
Ketua Dewan Direktur Center for Moderate Muslim (CMM)
Tinggal dua minggu lagi muktamar Muhammadiyah ke-45 akan digelar di Universitas Muhammadiyah Malang. Sebagian besar muktamirin adalah dai-dai Muhammadiyah di samping pengurus pusat, wilayah, daerah, dan cabang seluruh Indonesia. Muktamar ini memiliki nilai budaya yang strategis, mengingat pertemuan para pengurus dan kader Muhammadiyah ini tidak hanya dimaknai sebagai proses pergantian pengurus Muhammadiyah, melainkan sebagai ajang persilangan budaya dan informasi. Masukan-masukan brilian dari para aktifisnya mendapatkan media yang tepat, hal mana perbedaan dan benturan gagasan akan sangat bermanfaat bagi pematangan kepribadian Muhammadiyah. Khittah (1912) Muhammadiyah tercermin sebagaimana ditegaskan oleh KH Ahmad Dahlan pada saat kelahiran Muhammadiyah, yaitu dakwah Islamiyah.
Beberapa waktu lalu saya bertemu dengan cucu KH Ahmad Dahlan di Thailand. Belakangan saya tahu bahwa keluarga mereka telah tersebar bukan hanya di Thailand, melainkan juga di Singapura dan Amerika. Keluarga pendiri Muhammdiyah ini memang sudah mengglobal, tentunya kita tidak perlu menyangsikan jika pengikut Muhammadiyah pun sudah mengglobal pula. Hal ini menunjukkan bahwa Muhammadiyah memiliki pengaruh yang luas dalam dinamika nasional dan internasional.
Dari sekian organisasi sosial kemasyarakatan yang ada, daya survival Muhammadiyah cukup mengagumkan. Sungguhpun Muhammadiyah lahir dalam masa penjajahan Barat (Belanda) di Nusantara, ternyata Muhammadiyah tetap mampu bertahan, bahkan menjadi salah satu motor penggerak untuk melawan penjajah.
Tantangan terhadap Muhammadiyah kini tentu berbeda dengan tantangan di masa 'kecilnya'. Penjajahan telah selesai, namun saat ini Muhammadiyah dihadapkan pada situasi yang tidak kalah krusialnya, yaitu globalisasi. Mampukah Muhammadiyah dalam proses globalisasi ini mendorong umat Islam untuk tampil sebagai pihak yang mewarnai dan mengarahkan jalannya proses tersebut?
Jawaban atas pertanyaan tersebut tentu saja tidak sederhana sebagaimana tidak sederhananya proses globalisasi itu sendiri. Namun satu hal yang jelas adalah Muhammadiyah tidak boleh berpangku tangan melihat umat Islam menjadi korban dari arus globalisasi dan tenggelam didasarnya hanya lantaran tidak paham bagaimana berenang di atasnya.
Globalisasi sebagai suatu proses pada akhirnya akan membawa seluruh penduduk planet bumi menjadi suatu world society dan global society. Hal ini harus dipandang dan dipahami sebagai proses wajar yang tak terhindarkan yang diakibatkan oleh semakin majunya peradaban manusia di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), khususnya teknologi komunikasi dan informasi. Sebab bagaimanapun, global society yang oleh Miriam L Campanella dalam buku Transition to a Global Society diartikan sebagai an idealistic cosmopolitan and universal society that includes all the people, living on earth, without regard to cultural and ethical beliefs lambat maupun cepat akhirnya akan menjadi kenyataan.
Ini menampakkan wujudnya yang paling nyata. Peristiwa di pojok bumi manapun dengan cepat dapat dikomunikasikan ke seluruh dunia. Akibatnya manusia semakin menyadari posisinya sebagai sesama warga satu desa dunia atau a global village. Sebagaimana halnya warga desa yang saling kenal mengenal satu sama lain serta selalu saling bergotong royong dalam mewujudkan keamanan dan kesejahteraan seluruh warga, demikian pula hendaknya sikap manusia sebagai sesama warga planet bumi.
Menyadari bahwa kesatuan umat manusia adalah konsekuensi dari kemajuan peradaban manusia, maka globalisasi justru harus dihadapi dengan kesiapan untuk berlomba dalam mendakwahkan nilai-nilai Islam kepada masyarakat dunia. Dengan cara bersikap kreatif dengan menggali tak kenal henti saripati dan hikmah ajaran Islam untuk didakwahkan dan disumbangkan sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan li al-alamin) .
Tidak bisa dinafikan bahwa ada sisi lain dari globalisasi yang berdampak tidak menguntungkan bagi umat Islam. Sebab pihak yang diuntungkan adalah yang paling menguasai teknologi dan bermodal besar. Dalam situasi inilah globalisasi muncul dalam bentuk dominasi Barat terhadap negara-negara Timur (Islam). Salah satu faktor yang menyebabkan muncul dan meluasnya radikalisme serta terorisme adalah dominasi tersebut. John L Esposito misalnya, melihat bahwa dominasi Barat terhadap negara-negara Islam menyebabkan umat Islam resisten terhadap peradaban Barat. Celakanya, resistensi tersebut acapkali disertai dengan generalisasi bahwa semua yang berasal dari Barat harus ditolak dan dimusuhi.
Dengan demikian sedikit banyak globalisasi memiliki kontribusi dalam konflik Islam-Barat. Ini bukan berarti kita harus menolak globalisasi, sebab ada nilai-nilai dan produk globalisasi yang bermanfaat bagi kehidupan bersama. Globalisasi sebagai fenomena tercabutnya ruang dari waktu bukan hanya sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditampik, melainkan juga menguntungkan bagi interaksi peradaban seluruh umat manusia. Kemunculannya seiring dengan kemajuan peradaban manusia itu sendiri. Namun globalisasi sebagai sebuah ideologi, dimana liberalisme ekonomi yang menjadi spiritnya, tentu harus diwaspadai.
Yang patut diperhatikan, dunia tanpa batas menuntut kemajuan Muhammadiyah dalam memperbaiki akhlak dan moral. Betapa beratnya tugas dakwah Nasional sebagai bagian umat Islam terbesar dunia-sekaligus dengan beban citra umat dan bangsa terkorup. Namun di tengah pesimisme itu Muhammadiyah harus mampu mendorong Umat Islam Indonesia agar dapat menjadi tauladan bagi umat manusia dan jembatan Barat dengan Islam.
Dalam konteks dakwah global, Muhammadiyah memiliki kemampuan untuk mengarahkan warganya-yang sebagian besar telah mengenyam sarjana S1, S2, dan S3-untuk berpartisipasi mensosialisasikan nilai-nilai Islam moderat dalam kancah pergaulan global. Sesungguhnya mereka (warga Muhammadiyah) telah siap menjadi dai MML (Mandiri dan Multi-Lingual). Mereka berdakwah atas dasar panggilan nurani.
Dengan demikian, kita bisa berharap bahwa umat Islam tidak gampang terseret dalam menghadapi arus globalisasi. Sebagai bagian terbesar dari bangsa Indonesia, umat Islam dengan kemampuannya menggali dan mendayagunakan ajaran agamanya untuk menjawab tantangan globalisasi, justru diharapkan untuk mampu memelopori dan membawa bangsa ini tampil di gelanggang percaturan dan persaingan global tanpa kehilangan jati dirinya sebagai bangsa yang beriman dan bertakwa. Ini sekaligus merupakan upaya konkrit untuk turut mengarahkan aliran arus globalisasi.
Dengan teknologi komunikasi dan informasi dunia memang terasa menjadi sempit dan kecil. Tanpa keimanan kecanggihan produk Iptek tersebut dapat membawa manusia ke sikap sombong dan melupakan Tuhan. Namun dari sudut iman dunia yang terasa kecil itu justru mengugah agar manusia lebih merasa kecil dihadapan Tuhan Yang Maha Pencipta. Tanpa pegangan iman pola kehidupan yang makin mengglobal ini akan mudah membawa orang-orang terombang-ambing, terlanda stress dan keterasingan (alienated). Tetapi dengan keimanan orang akan tangguh menghadapinya karena proses tersebut dipahami sebagai bagian dari sunnatullah yang tak mungkin dihindari.
Rubrik ini merupakan kerja sama antara Center for Moderate Muslim (CMM) dengan Harian Umum Republika. Kritik dan saran dialamatkan ke e-mail cmm_jkt yahoo.com.
Sumber : http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=5&id=200954&kat_id=105&kat_id1=147&kat_id2=291
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment