Friday, January 8, 2010

Sendang Ayu: Pergulatan Muhammadiyah di Kaki Bukit Barisan

Suara Muhammadiyah, [Senin, 02 Januari 2006]

Oleh: Abdul Munir Mulkhan

http://www.suara-muhammadiyah.or.id/new/content/view/542/27/

Seolah melawan teori gejala kota, 20 tahun lalu Muhammadiyah menjejakkan
kaki di desa Sendang Ayu yang baru beberapa tahun lalu diterangi
listrik. Di daerah yang tidak tergolong makmur yang sebagian besar
penduduknya tidak lulus SD ini Muhammadiyah seolah menjadi juru penerang
dan matahari kegelapan dunia petani. Bisa jadi sulit ditemukan
padanannya ketika Islam Murni mampu hdiup secara dinamis di pedesaan di
tengah isu tentang kematian ranting dan cabang dari gerakan ini.

Penggerak utama Ranting Sendang Ayu adalah seorang transmigran spontan
dari Jember didukung beberapa tokoh dari daerah Sunda. Sejak itu
Muhammadiyah terus meluas hingga memperoleh status ranting. Menurut
penuturan seorang pengurusnya anggota Muhammdiyah di desa ini sudah
lebih dari 200 orang.

Tanda kehidupan Ranting Sendang Ayu antara lain bisa dilihat dari
kegiatan rutin warga Muhammadiyah setempat. Secara periodik ranting ini
menyelenggarakan kegiatan pengajian selain kegiatan sosial-ekonomi dan
pendidikan. Ranting ini juga mengembangkan amal-usaha produktif berupa
wakaf pohon kelapa dan tanam-tumbuh lainnya, selain kegiatan Masjid
(satu-satunya milik ranting). Dari ritual produktif inilah warga
membiayai berbagai kegiatan organisasi, ekonomi dan pendidikan anak-anak
desa setempat.

Ranting Sendang Ayu kemudian tumbuh sehingga konon menjadi basis utama
Muhammadiyah Cabang Purwodadi yang terletak di sisi selatan berbatas
dengan desa ini. Secara administrtatif Cabang Purwodadi terletak di desa
Purwodadi sebagai salah satu desa dari Kecamatan Bangunrejo. Sementara
Sendang Ayu merupakan desa yang termasuk ke dalam wilayah adminstrasi
Kecamatan Padang Ratu.

Berbagai amal usaha Cabang Purwodadi, terutama SD dan SMP yang walaupun
kurang berkembang dengan baik, tetapi bisa bertahan hingga saat ini.
Murid-murid sekolah tersebut umumnya adalah anak-anak penduduk yang
tinggal di desa Sendang Ayu. Di antara muridnya kini ada yang bergelar
magister lulusan IPB dan memegang jabatan penting di sebuah kabupaten di
Provinsi Lampung.

Belakangan ketenangan warga Muhammadiyah ranting ini mulai terganggu
oleh masuknya muballigh yang membawa pesan partai tertentu. Tradisi
pengajian seringkali membuat Muhammadiyah tidak begitu selektif dalam
menerima kunjungan muballigh dari luar daerah. Apalagi jika muballigh
tersebut mengantongi rekomendasi dari pimpinan Muhammadiyah yang lebih
tinggi.

Semula mubablligh tamu ini mengaji sebagaimana biasanya. Setelah
berlangsung beberapa kali, muballigh tersebut mulai menyerang
tokoh-tokoh lama yang sudah tiada dan mempertanyakan beberapa tradisi
ritual Muhammadiyah. Ketika tidak ada tokoh yang mampu mempertahankan
dari serangan muballigh tamu itu keyakinan atas paham Muhammadiyah
setempat mulai goyah. Lebih resah lagi ketika muballigh tamu itu mulai
menusuk jantung kesatuan kolektif berdasar dalil-dalil kesatuan umat
yang biasa diusung sebuah partai Islam yang sejak pemilu 2004 lalu
sedang naik daun.

Keterbukaan Muhammadiyah terhadap mubaligh tamu bukanlah persoalan
karena memang demikian sebaiknya bagi gerakan modernis ini. Pemanfaatan
jaringan organisasi dan tradisi pengajian bagi kepentingan politik suatu
partai Islam merupakan tindakan tidak sehat. Apalagi jika itu dilakukan
dengan mendiskreditkan tokoh yang telah tiada dan pernyataan
ketidakabsahan beberapa amalan warga setempat. Tentu cara ini baik-baik
saja sepanjang tidak diboncengi kepentingan politik penggiringan warga
agar mendukung partai tertentu. Lebih-lebih lagi ketika mubabligh tamu
itu tidak memberi kesempatan warga setempat untuk banding karena tokoh
yang diserang telah tiada.

Kita khawatir cara mubabligh tamu itu merupakan gejala umum yang
menjadikan Muhammadiyah sasaran penyebaran idealogi partai. Jika Ranting
Sendang Ayu yang terletak di daerah pelosok saja dilakukan trik-trik
yang sebut saja menebar racun menangkap mangsa, apalagi di kawasan yang
terbuka dan mudah dijangkau. Jaringan organisasi dan tradisi pengajan
dari warga Muhammadiyah memang menarik dan sasaan empuk bagi perluasan
jaringan politik. Namun perlu dipertimbangkan keresahan warga akibat
cara-cara tidak sehat yang dilakukan mubablligh tamu seperti kasus
Sendang Ayu tersebut.

Sendang Ayu adalah sebuah desa yang terletak di kaki Bukit Barisan
sekitar 60 Km dari ibukota Provinsi Lampung atau sekitar 30 Km ke arah
utara dari jalan Tanjungkarang-Kota Agung. Untuk mencapai desa ini bisa
ditempuh dengan bus dari Terminal Rajabasa ke arah Kota Agung. Di
Pringsewu lalu berganti angkutan pedesaan ke arah Padang Ratu untuk
kemudian dilanjutkan naik ojek menyusuri jalan tanah sekitar 25 menit
dari Pasar Poncowarno.

Seluruh penduduk bekerja sebagai petani tadah hujan kecuali beberapa
orang guru SD negeri dan petugas kesehatan. Belum diketahui mengapa desa
ini diberi nama Sendang Ayu, tapi desa ini cukup menarik karena
berkembangnya Muhammadiyah yang membawa pengaruh cukup penting terhadap
dinamika tradisi keberagamaan warga desa tersebut.

Sejarah Muhammadiyah Sendang Ayu dimulai ketika akkhir 1960-an, tepatnya
tahun 1966, seorang muballigh Muhammadiyah dari Jember masuk ke desa ini
sebagai transmigran spontan. Kehadiran Kiai ini ke Sendang Ayu disertai
sekitar 10 santrinya yang semula beguru kepadanya sebelum kiai ini
bertransmigrasi spontan ke Lampung. Di tempat asalnya, di Kecamatan
Wuluhan Kabupaten Jember, kiai ini memang sudah dikenal sebagai salah
seorang tokoh mubablligh Muhammadiyah.

Bersama beberapa tokoh yang lebih dahulu menetap di Sendang Ayu, Kiai
Abdul Qasim menggerakkan dakwah dari satu kampung ke kampung lain.
Dakwah Kiai Qasim dan teman-temannya itu terus berkembang melebar ke
Kecamatan Kalirejo, Bangunrejo dan beberapa kecamatan sekitar Padangratu.

Perkembangan Muhammadiyah Sendang Ayu, mungkin di tempat lain, di
masa-masa yang akan segera tiba tampaknya akan ditentukan oleh hasil
pergulatan warga Muhammadiyah setempat dengan muballigh-muballigh tamu
dengan banyak pesan politik tersebut. Sementara tidak cukup tersedia
muballigh setempat yang menguasai kitab klasik ketika tokoh lama
meninggal dunia, mereka mudah goyah oleh kefasihan lafal kitab sang
muballigh tamu yang mengobral dalil membungkus kepentingan politiknya.
Ketiadaan tuntunan politik yang jelas dan aplikabel dari Muhammadiyah
akan mudah menyeret warga di pelosok desa itu pada konflik yang
melibatkan tradisi ritual tanpa hasil sepadan, bagaikan berebut tulang
tanpa daging.

Tampaknya Ranting Sendang Ayu dan Sendangayu-Sendangayu lainnya sedang
bergulat dengan politik berbungkus kitab. Pertentangan tiada akhir bisa
membuat desa miskin itu tidak memiliki waktu untuk membenahi nasib
sosial dan ekonominya yang semakin sulit oleh kebijakan pemerintah yang
tidak memihak petani. Alih-alih pengukuhan “ideologi” dan penegasan
pemberdayaan warga petani, tradisi pengajian bisa berubah menjadi ajang
penggalangan ambisi kekuasaan penuh konflik dan sarat kepentingan elite
lokal.

Inovasi kreatif tokoh lama yang berhasil menggerakkan berbagai aksi
ritual produktif (wakaf kelapa, tanam-tumbuh dan ritual produktif
lainya) bisa berhenti bahkan berbalik penghujatan sang tokoh yang tidur
damai di alam kubur. Tradisi pengajian yang semula dilakukan untuk
memperkaya ilmu dan kearifan bisa berubah fungsi menjadi ajang debat
tentang sesuatu yang tak jelas yang jauh dari keseharian hidup petani.
Akankah rezim PP Muhammadiyah yang konon lebih memiliki komitmen pada
tradisi Islam salafi ini tinggal diam?

No comments:

Post a Comment