Oleh Dr. H. Haedar Nashir, M.Si.
Sejak kelahirannya Muhammadiyah memposisikan dan memerankan diri sebagai gerakan Islam, yakni gerakan untuk menyebarluaskan dan memajukan hal-ihwal agama Islam di Indonesia. Kyai Dahlan dengan Muhammadiyah yang didirikannya bahkan sering dikategorikan sebagai bagian dari matarantai gerakan Islam pembaruan di dunia Islam seperti dipelopori oleh Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha dalam gerbong modernisme Islam abad ke-20. Maka tak diragukan lagi eksistensi dan esensi Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, bukan gerakan sosial-kemasyarakatan semata. Gerakan kemasyarakatannya hanyalah bagian atau fungsi transformasi dari gerakan Islam, bukan sesuatu yang berdiri sendiri apalagi terlepas dari gerakan Islam.
Dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah dinyatakan bahwa Muhammadiyah merupakan Gerakan Islam, berasas Islam, bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, yang gerakannya melaksanakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid, dengan maksud dan tujuan menjunjungtinggi Agama Islam sehinga terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Rumusan tersebut merupakan formulasi dari esensi dan eksistensi Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang bersifat pemurnian dan pembaruan di bawah tema utama kembali pada Al-Quran dan Sunnah yang shahihah atau maqbullah, dengan mengembangkan atau membuka pintu ijtihad untuk kemajuan umat dan kehidupan manusia.
Sebagai Gerakan Islam sebagaimana disebutkan itu, Muhammadiyah berdasarkan pada dan memiliki paham tentang Islam yang menjadi dasar dan orientasi gerakannya. Pada awalnya paham tentang Islam melekat dengan pemikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan yang menjadi pendirinya, bahkan menurut H.M. Djindar Tamimy, kelahiran Muhammadiyah justeru karena paham agama (Islam), yang menjadi jiwa, landasan, dan arah bagi kelahiran dan pertumbuhan Muhammadiyah. Berikut pandangan H.M. Djindar Tamimy, tokoh dan ideolog Muhammadiyah, mengenai keberadaan Muhammadiyah dan paham agama Islam: ”Ber-Muhammadiyah itu, harus dimulai dari dan selanjutnya harus tetap bersandar kepada pengertian/faham dan keyakinan agama, yang meliputi: a. Memahami sungguh-sungguh ajaran Agama Islam dengan tepat. b. Menyadari sungguh-sungguh bahwa untuk melaksanakan dan menerapkan ajaran Agama Islam dalam arti yang sebenar-benarnya, tidak akan dapat tanpa ”ber-Organisasi” dengan disertai ”jihad bil amwal wal anfus”.” (HM Djindar Tamimy, 1978: 3).
Rujukan paham agama Islam dalam Muhammadiyah selain melekat dengan paham Kyai Dahlan tentang Islam yang melatarbelakangi berdirinya Muhammadiyah secara ideal-teologis, secara institusinoal atau kelembagaan telah ditetapkan dalam pemikiran-pemikiran resmi Persyarikatan melalui Majelis Tarjih dan keputusan-keputuaan Muktamar atau lainnya sepanjang perjalanan Muhammadiyah. Pemikiran-pemikiran Kyai Dahlan secara tertulis berupa pokok-pokok saja seperti dalam buku ”Tujuh Falsafah Ajaran Kyai Dahlan” dan ”Tujuhbelas Ayat Al-Quran” yang ditulis K.H. R. Hadjid, selain dari gagasan-gagasan lepas yang membingkai pendirian Muhammadiyah waktu itu. Pemikiran pendiri Muhammadiyah tersebut sebenarnya perlu dditelusuri dan diformulasikan ulang, karena merupakan tonggak dari berdiri dan keberadaan Muhammadiyah generasi awal, yang membedakan dan menjadi ciri khas Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam dibandingkan dengan gerakan-gerakan Islam lainnya.
Adapun pemikiran-pemikiran formal dalam Muhammadiyah yang berkaitan dengan paham agama Islam, antara lain dapat dirujuk pada berbagai keputusan Majelis Tarjih lebih khusus lagi hasil Muktamar atau Munas Tarjih. Pemikiran-pemikiran yang telah baku seperti ”Dua Belas Langkah Muhammadiyah” dari KH. Mas Mansur, Kitab Masalah Lima (al-Masâil al-Khamsah) tahun 1954-1955, Tafsir Anggaran Dasar Muhammadiyah hasil Tanwir tahun 1951 di Yogykarata, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah hasil Tanwir Ponorogo tahun 1969, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIM) hasil Muktamar ke-44 tahun 2000 di Jakarta, dan hasil-hasil Munas Tarjih Muhammadiyah yang berkaitan dengan masalah-masalah paham agama dalam Muhammadiyah. Prinsip-prinsip pemahaman agama dalam Muhammadiyah tersistematisasi dalam Manhaj Tarjih, bukan pemahaman orang-perorang. Sedangkan pengembangan tajdid diperlukan untuk kemajuan hidup dalam satu kesatuan antara tarjih dan pemikiran Islam atau antara pemurnian dan dinamisasi sebagaimana prinsip pemahaman Islam dalam Muhammadiyah.
Muhammadiyah memandang dan meyakini bahwa ajaran Islam merupakan satu matarantai sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad, yang keseluruhannya berdasarkan Wahyu Allah dan dibawa oleh para Nabi serta Rasul Allah. Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah Agama Allah yang diwahyukan kepada para Rasul-Nya sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan seterusnya sampai kepada Nabi penutup Muhammad S.A.W., sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa, dan menjamin kesejahteraan hidup materiil dan spirituil, duniawi dan ukhrawi (Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah/MKCHM butir ke-2). Dari pandangan tersebut maka Muhammadiyah meletakkan Islam sebagai ajaran dari Allah yang selain satu juga bersifat menyejarah dengan dibawa dan didakwahkannya oleh para Nabi dan Rasul Allah dalam perjalanan sejarah umat manusia, sehingga kehadiran agama Samawi ini memang untuk rahmatan lil-‘alamin. Itulah agama Langit untuk kehidupan manusia.
Dalam pandangan Muhammadiyah bahwa ”Agama adalah apa yang disyariatkan Allah dengan perantara para Nabi-nabi-Nya, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat”. Adapun Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad S.A.W. ialah ”apa yang diturunkan Allah di dalam Qurân dan yang tersebut dalam Sunnah yang shahih, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan, serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di Dunia dan Akhirat. Agama adalah apa yang disyari‘atkan Allah dengan perantaraan Nab-nabi-Nya, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di Dunia dan Akhirat. (Kitab Masalah Lima, Al-Masâil Al-Khams tentang al-Dîn). Hal yang menraik dari paham agama menurut Muhammadiyah tersebut selain sumber ajarannya yang otentik (aseli) karena berasal dari Allah dan dibawa oleh para Nabi-nya, juga menyangkut aspek ajarannya. Bahwa ajaran Islam selain mengandung perintah-perintah (al-awâmir) dan larangan-larangan (al-nawâhi), juga mengandung petunjuk-petunjuk (al-irsyâdat).
Mengenai konsep ”irsyadat”, KH. Ahmad Azhar Basyir, memberi keterangan sebagai berikut: ”Tentang apa yang dimaksud dengan irsyadat dalam defenisi al-Din tersebut, selain al-awamir dan al-nawahi, dapat dikaitkan kepada apa yang didialogkan antara Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ketika Nabi Ibrahim menerima perintah untuk menyembelih putranya itu, di situ terdapat terdapat irsyadat bagaimana orangtua harus dekat dengan anak dalam hal melaksanakan kewajiban agama yang menyangkut pribadi anak. Juga dialog antara Nabi Musa dengan ”abdu min ibadina” sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran, yang umumnya disebut dialog Musa dengan Hidir, di situ ada irsyadat. Sehingga kecuali al-awamir (perintah-perintah) dan al-nawahi (larangan-larangan), dalam kisah para Nabi itu terdapat banyak sekali irsyadat. Dalam mengungkap hukum alam dan nikmat Allah berupa manfaat tumbuh-tumbuhan dan binatang ternak sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran, juga merupakan irsyadat Jadi banyak sekali dalam berbagai macam kegiatan hidup itu terdapat irsyadat. ” (KH. Azhar Basyir, dalam Haedar Nashir, ed., 1992: 97).
Pandangan tentang ”irsyadat” sebagaimana disebutkan KH Azhar Basyir tersebut, selain yang tersirat juga yang tersurat dalam Al-Quran, termasuk dalam kisah para Nabi, yang mengandung arti dimensi-dimensi ajaran dalam Al-Quran maupun Sunnah Nabi di samping atau selain yang mengandung aspek perintah-perintah dan larangan-larangan. Al-Quran dinyatakan Allah juga sebagai ”tibyan li-kulli syai” (penjelas segaka sesuatu), sebagai ”al-dzikr”, ”al-furqan”, ”al-huda”, dan sebagainya, yang menunjukkan keluasan dimensi ajaran Islam. Dengan demikian tampak sekali Muhammadiyah tidak meletakkan Islam semata-mata sebagai ”syariat” dalam makna hukum perintah dan larangan belaka, sebagaimana logika ”al-ahkam al-khamsah” mengenai wajib, haram, sunnat, makruh, dan mubah. Memasukkan dimensi ”irsyarat” tersebut menjadi sangat penting, karena masuk ke dimensi-dimensi makna dan arah bagi kehidupan, selain perintah dan larangan, sehingga ajaran Islam itu tidak sempit dan hanya menonjolkan satu aspek saja. Dimensi ilmu pengetahuan, pemikiran, intelektual, alam semesta, dan berbagai aspek kehidupan memperoleh rujukan dan petunjuk dalam ajaran Islam, sehingga Islam itu sangatlah luas tidak sekadar syari’at hukum perintah dan larangan semata. Pandangan Islam yang komprehensif atau menyeluruh tersebut diperkuat oleh Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah mengenai aspek ajaran Islam yang menyangkut aqidah, ibadah, akhlak, dan mu’amalat-dunyawiyah.
No comments:
Post a Comment