Thursday, September 16, 2010

Dari Ahmad Dahlan Sampai Amien Rais

Tempo, 8-7-2000 / 19:59 WIB

Muhammadiyah, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, didirikan K.H. Ahmad Dahlan tangal 8 Zulhijah 1330 (18 November 1912) di Yogyakarta. Muhammadiyah dikenal sebagai organsisasi yang menghembuskan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia. Organisasi ini bergerak di berbagai bidang kehidupan umat, terutama pendidikan.

Pada 29 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Tapi tidak segera dikabulkan. Pemerintah Hindia Belanda baru mengakui keberadaan Muhamadiyah pada 22 Agustus 1914, melalui Surat Ketetapan Pemerintah No. 81/1914. Izin ini pun hanya berlaku untuk wilayah Yogyakarta; artinya, organisasi Muhammadiyah hanya boleh berdiri dan bergerak di Yogyakarta

Ada sejumlah alasan yang dikemukakan K.H. Ahmad Dahlan ketika mendirikan organisasi ini. Pertama, Sebagian umat Islam tidak memegang teguh Al-Qur’an dan Sunah dalam beramal, sehingga takhayul dan syirik merajalela. Akibatnya, amalan-amalan sebagian dari mereka merupakan campuran anatara tradisi agama Hindu, Budha, dan Islam.

Kedua, lembaga pendidikan agama yang ada pada waktu itu dinilai tidak efisien. Pesantren, yang menajdi lembaga pendidikan kalangan bawah bumi putera, pada masa itu sudah dinilai tidak sesuai lagi dengan tuntutan kebutuhan masyarakat.

Ketiga, kemiskinan menimpa rakyat Indonesia, terutama umat Islam, yang sebagian besar adalah petani dan buruh. Orang muslim yang kaya hanya mementingkan dirinya sendiri. Mereka sering lupa menunaikan kewajiban membayar zakat. Akibatnya, hak-hak orang miskin terabaikan.

Keempat, kebanyakan umat Islam hidup dalam alam fanatisme yang sempit, bertaklid buta, serta berfikir secara dogmatis. Kehidupan umat Islam diwarnai konservatisme, formalisme, dan tradisionalisme.

Budi Utomo

Melihat keadaan umat Islam seperti ini, didorong oleh pemahamannya terhadap ajaran Islam, K.H. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah sebagai organisasi pembaharu. Ia mengajak umat Islam untuk kembali menjalankan syariat sesuai tuntuan Nabi Muhammad SAW.

Sudah sejak masa awal kelahirannya, aktivitas Muhammadiyah meliputi berbagai hal. Misalnya, membersihkan Islam di Indonesia dari pengaruh-pengaruh non-Islam. Hal ini dilakukan dengan mempergiat penyelidikan ilmu agama Islam, untuk menguji kemurniannya. Juga, mengadakan reformasi doktrin Islam, sesuai dengan alam pikiran modern.

Masih berkaitan dengan ajaran Islam, dilakukan juga reformasi pengajaran agama Islam. Antara lain dengan memberikan pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah Belanda dan mendirikan sekolah-sekolah sendiri yang berbeda dengan sistem pesantren.

Lebih luas lagi, Muhammadiyah berusaha menyadarkan soal beragama, dan berusaha memperbaiki kehidupan umat. Ini agar benteng umat –tak terkecuali semua lapisan masyarakat, pemuda, wanita, pelajar, dan rakyat biasa—menjadi kukuh.

Untuk mencapai cita-citanya, organisasi ini mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, mengadakan rapat-rapat dan tabligh untuk membicarakan masalah-masalah Islam. Organisasi ini pun mendirikan wakaf dan masjid, menerbitkan buku, brosur, surat kabar, dan majalah.

Dalam mengarahkan kegiatannya, pada masa awalnya organsisasi ini tidak mengadakan pembagian tugas yang jelas antara anggota dan pengurus. Hal ini semata-mata karena keterbatasan gerak yang dimiliki Muhammadiyah.

Daerah persebaran Muhammadiyah mulai diperluas setelah tahun 1017. Tahun itu Budi Utomo mengadakan kongres di Yogyakarta, tepatnya di rumah K.H. Ahmad Dahlan. Saat itu, K.H. Ahmad Dahlan bisa meyakinkan peserta kongres. Sehingga, cabang-cabang Muhammadiyah di Jawa dapat diterima keberadaannya.

Tahun 1920, untuk pertama kalinya, Muhammadiyah menyempurnakan anggaran dasar organisasinya. Ini dilakukan untuk menunjang kegiatan perluasan jangkauan organisasi dan kegiatan Muhammadiyah.

Menentang UU Larangan Sekolah Liar

Tahun 1920-an merupakan masa perluasan Muhammadiyah ke luar pulau Jawa. Dengan upaya yang serius, penyebaran organisasi Muhammadiyah berkembang pesat. Pada tahun 1925, organisasi ini telah memilki 29 cabang dengan 4.000 anggota, memiliki delapan Holands Indische School (HIS, setaraf sekolah dasar), satu sekolah guru di Yogyakarta, 32 sekolah dasar lima tahun, satu Schakelschool, 14 madrasah dengan 119 guru dan sekitar 4.000 murid.

Tahun 1927, Muhammadiyah mendirikan cabang-cabangnya di Bengkulu, Banjarmasin, dan Amuntai. Sementara itu, pada tahun 1929, pengaruh Muhammadiyah mulai tersebar di Aceh dan Makasar, dan memiliki 19.000 anggota.

Meski Muhammadiyah mendapatkan pengakuan hukum dari pemerintah kolonial Belanda, tidak berarti Belanda menyenangi organisasi ini. Bahkan, sifat gerakan Muhammadiyah dicurigai bisa membangkitkan rasa nasionalisme bangsa Indonesia. Karena itu, pemerintah Belanda merasa perlu berhati-hati terhadap gerakan kultural ini. Subsidi yang diberikan pemerintah Belanda tidak membuat Muhammadiyah selalu patuh. Hal ini antara lain terbukti dari sikap Muhammadiyah yang menentang keras udang-undang larangan sekolah liar yang dikeluarkan Belanda (Wilde School Ordonantie).

Kini Muhammdiyah mempunyai sejumlah majelis, biro, dan organisasi otonom. Majelis itu adalah Majelis Tabligh, Majelis Tarjih, Majelis Pembina Kesejahteraan Umat (PKU), Majelis Penidikan dan Pengajaran, Majelis Pustaka, Majelis Ekonomi, dan Majelis Wakaf dan Kesejahteraan. Biro organisaniya adalah Biro Kader, Biro Organisasi, dan Biro Hubungan Luar Negeri. Sedangkan organisasi otonom Muhammadiyah adalah Aisyiah, Nasyiatul Aisyiyah (NA) untuk pemudi, Ikatan Pelajar Muhaamdiyah (IPM), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Pemuda Muhammadiyah, Ikatan Sarjana Muhammdiyah, Ikatan Guru Muhammdiyah, dan Ikatan Seni Budayawan Muhammadiyah.

Meski menyatakan diri sebagai organsisasi non-politik, Muhammadiyah tidak sama sekali menyeterilkan diri aktivitas politik. Muhammadiyah tidak melarang anggotanya untuk masuk partai politik --K.H. Ahmad Dahlan sendiri adalah anggota Syarekat Islam. Selama kurun 1945-1959, Muhammadiyah ikut menggagas pendirian dan menjadi anggota istimewa Partai Masyumi. Pada tahun 1968, Muhammadiyah kembali memfasilitasi pendirian Partai Muslimin Indonesia (Parmusi).

Hiruk-pikuk perpolitikan tahun 1998, kembali menggoda Muhammadiyah untuk ambil bagian. Sidang Tanwir 1998 di Semarang memberikan amanat kepada PP Muhammadiyah agar melakukan ijtihad (terobosan) politik untuk mendirikan partai politik. Sebagai tindak lanjutnya, Sidang pleno Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah pada 22 Agustus 1998 memberikan izin kepada M. Amien Rais untuk melepaskan jabatan sebagai ketua PP Muhammadiyah dan selanjutnya memimpin Partai Amanat Nasional (PAN). (Jajang Jamaludin/ dari berbagai sumber)

http://www.tempo.co.id/harian/fokus/31/2,1,2,id.html

Tabel 1. Urutan Kepemimpinan PP Muhammdiyah (1912-2000)

No. Urut Nama
1 K.H. Ahmad Dahlan
2 K.H. Ibrahim
3 K.H. Fakhruddin
4 K.H. Mas Mansyur
5 Ki Bagus Hadikusuma
6 Buya Haji Ahmad Rasyid Sutan Mansyur
7 K.H. Yunus Anis
8 K.H. Ahmad Badawi
9 K.H. Faqih Usman
10 K.H. Abdurrazaq Fachruddin
11 K.H. Ahmad Azhar Basyir, M.A.
12 Prof. Dr. H.M. Amien Rais, MA
13 Prof. Dr. H. Ahmad Syafi’i Ma’arif

Tabel 2. Jaringan Organisasi Muhammadiyah (2000)

Tingkat Struktur Jumlah
Pimpinan Wilayah (PW) 26
Pimpinan Daerah (PD) 295
Pimpinan Cabang (PC) 2.461
Pimpinan Ranting (PR) 6.098

Tabel 3. Potensi Amal Usaha Muhammadiyah (2000)
Jenis Amal Usaha Jumlah
Sekolah Dasar (SD) 1.128
Sekolah Menengah Pertama (SMP) 1.179
Sekolah Menengah Umum (SMU) 509
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 249
Madrasah Diniyah/Ibtidaiyah (MD/MI) 1.768
Madrasah Tsanawiyah (MTs) 534
Pondok Pesantren 55
Universitas 32
Sekolah Tinggi 52
Akademi 45
Politeknik 3
Rumah Sakit/Poliklinik 312
Panti Asuhan dan Santunan 240
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) 19
Baitul Tamwil (BTM) 190
Koperasi 808

No comments:

Post a Comment