Wednesday, December 9, 2009

Gerakan Kultural Muhammadiyah

Republika, [04-11-2008]

Almisar Hamid
Mantan Aktivis IMM dan Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta

Tulisan Deni al Asy'ari mengenai Runtuhnya Gerakan Kultural Muhammadiyah (Republika, 24/10) menarik disimak. Ia melihat keterlibatan Muhammadiyah secara praktis dalam ruang politik semakin kentara, terutama setelah berdiri Partai Matahari Bangsa (PMB) yang menurut dia didukung oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr Din Syamsuddin.

Din Syamsuddin, menurut Deni, di samping mendukung berdirinya PMB secara terang-terangan juga melibatkan diri dengan berbagai pernyataan yang menunjukkan kesiapannya menjadi petinggi republik ini (presiden atau wakil presiden). Sekalipun fenomena yang demikian tidak semuanya didukung oleh pimpinan dan warga Muhammadiyah, warga Muhammadiyah nyatanya tidak dapat mengelak akan adanya bayang-bayang pergeseran posisi dan peran Muhammadiyah sebagai gerakan kultural yang idealnya mengabdi untuk kepentingan bangsa dengan mengayomi semua partai politik (parpol) dengan posisi yang sama selama bertujuan mendorong amar makruf nahi munkar ke arah gerakan politik.

Akan tetapi, menurut Deni, yang terjadi justru sebaliknya, adanya upaya pemihakan yang dilakukan oleh salah satu pimpinan Muhammadiyah, seperti Ketua Umum Pusat Muhammadiyah terhadap salah satu partai politik. Hal ini setidaknya bisa dicermati melalui berbagai pernyataan yang diberikan oleh Ketua Umum Pusat Muhammadiyah terhadap PMB dalam berbagai kegiatan partai yang berlambang matahari merah ini yang secara terbuka ditafsirkan memberikan dukungan terhadap partai tersebut.

Menurut Deni, langkah-langkah tersebut tentu saja tidak ada salahnya. Tetapi, berpijak pada khittah Muhammadiyah yang menjunjung tinggi etika berpolitik atau meminjam istilah Prof Dr HM Amien Rais yang menggunakan prinsip high politic, tentu saja manuver maupun berbagai pernyataan yang dikeluarkan oleh petinggi Muhammadiyah tersebut akan dapat mencederai cita-cita dan idealisme Muhammadiyah karena dinilai menunjukkan keberpihakan terhadap parpol tertentu.

Sekilas tentang PMB, partai itu memang didirikan oleh kader-kader muda Muhammadiyah yang sebagian masih duduk di pengurus Pimpinan Pusat (PP) Pemuda Muhammadiyah. Orang nomor satu PMB saat ini, Imam Addaruqutni (mantan politisi PAN), adalah mantan ketua umum PP Pemuda Muhammadiyah menggantikan Hajriyanto Y Tohari ( saat ini menjadi politisi Partai Golkar).

Sebelum Hajriyanto, PP Pemuda Muhammadiyah dipimpin oleh Din Syamsuddin. Dia imam saat ini yang juga dipercaya memimpin salah satu badan di bawah Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah.

Seperti di pusat di mana anggota pengurus PMB banyak yang merangkap menjadi pengurus Pemuda Muhammadiyah, begitu juga di tingkat wilayah dan daerah. Mereka sebagian juga masih aktif menjadi pengurus Pemuda Muhammadiyah, bahkan pengurus Muhammadiyah.

Penting diketahui, Muhammadiyah adalah gerakan kultural/gerakan membangun masyarakat madani atau masyarakat utama, istilah Muhammadiyah. Di antara konsep masyarakat utama yang dirumuskan Muhammadiyah itu adalah hadirnya sistem dan tatanan sosial yang memberikan kemudahan, perlindungan, persamaan, kemerdekaan, dan terbebasnya individu-individu anggota masyarakat dari belenggu dan kondisi hidup yang tidak manusiawi (miskin, bodoh, terbelakang).

Salah satu yang digarap oleh Muhammadiyah sebagai gerakan kultural sejak awal berdirinya adalah bidang pendidikan dengan membangun sekolah sebanyak-banyaknya. Mengapa pendidikan ?

Meminjam pandangan Amien Rais, mantan Ketua PP Muhammadiyah, karena kebodohan telah menjadi musuh terbesar umat Islam dan mustahil umat Islam dapat membangun masa depan yang lebih baik bilamana kebodohan dan keterbelakangan tetap saja melekat lengket dalam kehidupan mereka. Suksesnya Muhammadiyah membangun sekolah sebanyak-banyaknya ditopang oleh doktrin yang disebutnya sebagai pencerahan umat yang terus dipegang oleh para kader Muhammadiyah.

Adapun politik dalam konsep gerakan kultural Muhammadiyah bukan politik praktis, politik mengejar kekuasaan, tetapi politik amar ma'ruf nahi munkar. Di sini setidak-tidaknya Muhammadiyah mampu menjadi kelompok penekan yang andal dalam mengawal jalannya kekuasaan. Amien Rais menyebutnya sebagai high politic atau politik luhur.
Langgengnya gerakan Muhammadiyah, menurut Amien Rais, juga ditopang oleh doktrin yang disebutnya tidak berpolitik praktis. Sepintas sikap Muhammadiyah seperti ini ada yang menilai tidak bijak karena bagaimana mungkin dakwah dalam arti rekonstruksi sosial dapat berhasil bila dijauhkan dari politik praktis.

Masalahnya, kata Amien, Muhammadiyah membangun masyarakat. Membangun katakanlah infrastruktur dalam jangka panjang, Muhammadiyah tidak ingin mengambil short cut atau jalan pintas politik dengan membangun kekuasaan dan berambisi ikut berebut kekuasaan dengan kekuatan-kekuatan politik yang ada.

Logika Muhammadiyah adalah dengan membina masyarakat lewat siraman nilai-nilai Islam, Muhammadiyah berarti telah ikut mempersiapkan manusia-manusia yang berakhlak, memegang nilai-nilai dan norma-norma moral secara kuat. Dengan begitu, tatkala manusia-manusia tersebut masuk ke gelanggang politik praktis, mereka tidak akan menjadi homo politicus yang mengejar kekuasaan demi kekuasaan semata.

Dengan kata lain, mereka akan mampu menolak proses dehumanisasi dalam dirinya. Mereka akan memandang kekuasaan politik sebagai amanat untuk menyejahterakan rakyat.
Amien menyebut salah satu rahasia kelestarian dan kestabilan Muhammadiyah terletak pada kepiawaiannya menghindari politik praktis. Pengalaman menunjukkan, bila kepentingan politik sudah masuk ke dalam tubuh sebuah organisasi nonpolitik, maka organisasi tersebut menjadi rawan konflik dan perpecahan.

Hingga saat ini Muhammadiyah sebagai gerakan kultural terlihat konsisten menghindari politik praktis. Masalahnya, ternyata godaan politik terhadap kader-kader Muhammadiyah sulit dibendung. Seperti kader bangsa Indonesia lainnya, kader Muhammadiyah juga banyak yang siap menjadi pemimpin bangsa, termasuk Din Syamsuddin dan sebelumnya Amien Rais untuk menjadi presiden.

Melihat aturan Muhammadiyah tentang politik bagi anggota, sebenarnya sudah ada sejak lama. Seperti Keputusan Muktamar 40 di Surabaya 1978 yang berbunyi: 1) Muhammadiyah adalah gerakan dakwah Islam yang beramal dalam segala bidang kehidupan manusia dan masyarakat, tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan dan tidak merupakan afiliasi dari sesuatu partai politik atau organisasi apa pun, 2) Setiap anggota Muhammadiyah sesuai dengan hak asasinya dapat tidak memasuki atau memasuki organisasi lain sepanjang tidak menyimpang dari anggaran dasar, anggaran rumah tangga, dan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Persyarikatan Muhammadiyah

Berdasarkan aturan di atas dapat dipahami bahwa Muhammadiyah memberi kebebasan kepada anggota dan kadernya memasuki atau tidak memasuki organisasi lain sepanjang tidak bertentangan dengan Muhammadiyah. Masalahnya, bagaimana jika kader Muhammadiyah memegang jabatan rangkap seperti menjadi pengurus di PMB atau partai lainnya?
Perlu diingat, ketika Amien Rais memimpin Partai Amanat Nasional dan ikut bertarung menjadi calon presiden, ia tidak lagi menjadi ketua PP Muhammadiyah. Artinya, Amien Rais tidak memiliki jabatan rangkap ketika itu.

Bagaimana dengan Din Syamsuddin yang dinilai dekat dengan PMB yang notabene adalah wilayah politik praktis walaupun ia tidak duduk di PMB? Perlukah ada regulasi dari PP Muhammadiyah atas perilaku politiknya?

Ikhtisar:
- Muhammadiyah terlihat konsisten menghindari politik praktis.
- Masalah muncul karena ada godaan politik terhadap kader-kader Muhammadiyah.
(-)

No comments:

Post a Comment