Tuesday, December 8, 2009

Runtuhnya Gerakan Kultural Muhammadiyah

Republika, [24-10-2008]

Oleh: Deni al Asy'ari
Mantan Ketua Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)

Bayang-bayang keterlibatan Muhammadiyah secara praktis ke dalam ruang politik belakangan ini semakin kentara. Walaupun beberapa pimpinan di organisasi modernis ini menyangkal keterlibatan maupun keberpihakan Muhammadiyah dalam politik praktis, faktanya dengan berdirinya Partai Matahari Bangsa (PMB) yang didirikan oleh sebagian besar Angkatan Muda Muhammadiyah dan didukung penuh oleh Ketua Umum Pusat Pimpinan Muhammadiyah Prof Dr H Din Syamsudidin menunjukkan fakta sebaliknya.

Apalagi, Ketua Umum Pusat Muhammadiyah yang merupakan simbol dan kunci bagi tegaknya gerakan kultural Muhammadiyah secara terang-terangan dan terus-menerus melibatkan dirinya dengan berbagai pernyataan yang menunjukkan kesiapannya untuk menjadi petinggi republik ini (presiden atau wakil presiden), sekaligus dengan memberikan dukungan penuh terhadap kehadiran PMB. Memang fenomena yang demikian tidak semuanya didukung oleh pimpinan dan warga Muhammadiyah, tetapi warga Muhammadiyah nyatanya tidak dapat mengelak akan adanya bayang-bayang pergeseran posisi dan peran Muhammadiyah sebagai gerakan kultural yang idealnya mengabdi untuk kepentingan bangsa dengan mengayomi semua partai politik dengan posisi yang sama selama bertujuan untuk mendorong amar makruf nahi munkar ke arah gerakan politik.

Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya, adanya upaya pemihakan yang dilakukan oleh salah satu pimpinan Muhammadiyah, seperti Ketua Umum Pusat Muhammadiyah terhadap salah satu partai politik. Hal ini setidaknya bisa kita cermati melalui berbagai pernyataan yang diberikan oleh Ketua Umum Pusat Muhammadiyah terhadap PMB dalam berbagai kegiatan partai yang berlambang matahari merah ini yang secara terbuka ditafsirkan memberikan dukungan terhadap partai tersebut.

Langkah-langkah tersebut tentu saja tidak ada salahnya. Tetapi, berpijak pada khittah Muhammadiyah yang menjunjung tinggi etika berpolitik atau meminjam istilah Prof Dr HM Amien Rais yang menggunakan prinsip High Politic, tentu saja manuver maupun berbagai pernyataan yang dikeluarkan oleh petinggi Muhammadiyah tersebut akan dapat mencederai cita-cita dan idealisme Muhammadiyah karena dinilai menunjukkan keberpihakan terhadap parpol tertentu.

Muhammadiyah sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh HM Junus Anis, salah satu pimpinan Muhammadiyah, Muhammadiyah tetap Muhammadiyah. Artinya, Muhammadiyah tidak akan pernah digadaikan atau terjual oleh kepentingan politik atau menjadi parpol.
Ungkapan ini muncul akibat kejengkelan HM Junus Anis yang begitu mudahnya pimpinan Muhammadiyah tergoda dengan kepentingan politik. Melalui khotbah iftitah pada muktamar ke-35 dan milad setengah abad Muhammadiyah, beliau menjawab dengan ketus: ''Silakan makan, kalau memang doyan, tapi awas kalau nanti keleleden: ditelan tidak masuk, dilepeh tidak keluar. Ingat, Muhammadiyah bukan dan tidak akan menjadi partai politik. Sekali Muhammadiyah tetap Muhammadiyah: selalu kukuh untuk melakukan dakwah amar makruf nahi munkar untuk kebaikan semua masyarakat sebagai bagian dari gerakan kultural.''

Begitu kokoh dan kuatnya pendirian HM Junus Anis untuk menjaga eksistensi Muhammadiyah sebagai gerakan kultural. Bahkan, ketika Ahmad Syafii Maarif melanjutkan kepemimpinan Muhammadiyah sangat tampak komitmen beliau untuk meneruskan semangat dan cita-cita para pendahulu pimpinan Muhammadiyah yang ingin meletakkan Muhammadiyah untuk kepentingan bangsa.

Dengan demikian, dengan kokoh beliau masuk ke dalam semua parpol tanpa menunjukkan sikap keberpihakannya terhadap salah satu parpol. Dengan adanya sikap yang demikian, Muhammadiyah akan selalu dipandang dan dilihat sebagai organisasi besar tempat banyak orang mengadu dan meminta petunjuk.

Akan tetapi, tentunya akan berbeda jika Muhammadiyah sudah menunjukkan keberpihakannya terhadap salah satu parpol atau masuk dalam ruang politik praktis. Hal ini tanpa kita sadari akan memperkecil keberadaan dan peran organisasi Muhammadiyah itu sendiri.
Muhammadiyah bagi masyarakat tidak lagi menjadi bagian atau kepemilikan dari masyarakat secara luas, melainkan sebagai bagian atau kepemilikan dari sebagian atau sekelompok orang atau partai politik tertentu. Dengan demikian, Muhammadiyah tidak bisa menjadi tenda bangsa yang seharusnya mengayomi semua kepentingan demi menjalankan misi dakwah amar makruf nahi munkir.

Apalagi, kita menyadari dunia politik (praktis) bukanlah dunia yang sesederhana sebagaimana kita memandangnya. Meminjam pendapatnya Sukardi Rinakit, misalnya, bahwa dunia politik adalah dunia yang becek dan licin.

Jika tidak hati-hati dan teliti akan bisa menjemuruskan keberadaan kita sendiri. Oleh karenanya, Ahmad Syafii Maarif pernah berujar bahwa politik itu pada dasarnya menjaga jarak, sedangkan dakwah itu merangkul. Artinya, dunia politik akan bisa menjadikan orang yang satu barisan dengan kita untuk bermusuhan jika terjadi perbedaan kepentingan. Berbeda dengan jalur dakwah yang tidak akan melihat siapa kawan dan siapa lawan, semuanya bisa dirangkul demi tegaknya amar makruf nahi munkar.

Menyangkut hal ini, catatan sejarah akan keterlibatan Muhammadiyah dalam politik praktis rasanya cukup memberikan pelajaran yang penting bagi kita, bagaimana tergelincirnya Muhammadiyah dalam ruang politik yang akhirnya tidak membawa manfaat bagi Muhammadiyah dan bangsa ini secara luas. Mulai dari keterlibatan Muhammadiyah dalam Masyumi, Perti, dan Sekber Golkar.

Untuk itu, dalam menghadapi iklim politik 2009, sebagai warga Muhammadiyah kita tentunya tetap memiliki harapan agar Muhammadiyah tetap berada di garda terdepan dalam menuntun moralitas dan perilaku politik publik agar terwujud masyarakat baldatun tayyibatun warabbun ghafur sebagaimana tujuan dari Muhammadiyah.

Untuk mewujudkan tujuan tersebut, setidaknya warga Muhammadiyah dalam menghadapi pemilu 2009 tidak mudah tergelincir dengan tampilan-tampilan kepentingan seseorang atau sekelompok orang yang nyata-nyatanya bisa menjemuruskan cita-cita Muhammadiyah. Ada pelajaran penting yang bisa kita petik dari pemilu tahun 2004 sebagai pelajaran bagi kita dalam menghadapi pemilu 2009.

Pertama, tetap istiqamah dengan perjuangan dakwah atau gerakan kultural Muhammadiyah tanpa menunjukkan keterlibatan atau keberpihakan Muhammadiyah, terutama sekali pucuk pimpinan Muhammadiyah terhadap salah satu parpol sebagaimana arahan PP Muhammadiyah dalam menghadapi pemilu 2009.

Kedua, menjauhkan warga Muhammadiyah dari berbagai rayuan politik uang maupun kepentingan politik berjangka pendek demi kepentingan satu kelompok atau parpol tertentu.
Ketiga, memilih kepemimpinan nasional baik untuk legislatif maupun eksekutif yang jujur, amanah, memiliki integritas moral dan intelektual yang tinggi, adil dan memiliki keberpihakan terhadap kepentingan nasional secara luas. Keempat, menjaga aset dan segala bentuk amal usaha Muhammadiyah dari kepentingan politik praktis perseorangan maupun kelompok. Kelima, tetap menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas, etika, kesopanan dan keadaban yang dapat menciptakan kondisi tenang, aman, dan tenteram bagi kehidupan kita berbangsa secara luas.

Ikhtisar:
- Manuver dan pernyataan petinggi Muhammadiyah dapat mencederai cita-cita dan idealisme organisasi tersebut.
- Politik pada dasarnya menjaga jarak, sedangkan dakwah merangkul.
- Muhammadiyah harus tetap berada di garda terdepan menuntun moralitas dan perilaku politik publik.

No comments:

Post a Comment