Monday, December 7, 2009

Rekonstruksi Teologi Muhammadiyah

Suara Merdeka, [Senin, 11 November 2002]

Oleh: Bahrun Surur-Iyunk

MENURUT hitungan tahun Masehi, hari ini tanggal 11 November 2002, Muhammadiyah sedang memasuki usianya yang ke-90. Dalam usia sepanjang sembilan dekade itu, gerakan sosial Islam modernis ini telah menghasilkan banyak karya (amal saleh), terutama di bidang pendidikan, sosial, dan kemanusiaan.

Tidak hanya berupa taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, rumah sakit dan poliklinik, panti asuhan dan lembaga-lembaga perekonomian. Tetapi, lebih dari itu, karya intelektual dan pemikiran keislaman yang tersebar luas juga mampu memotivasi umat Islam Indonesia untuk berintrospeksi diri.

Dalam konteks kekinian, gerakan amal dan pemikiran itu seringkali tidak seimbang. Penggelembungan amal usaha di berbagai bidang kurang dibarengi dengan elaborasi normativitas ajaran yang seharusnya menjadi landasan dalam bergerak. Akibatnya, apa yang dijalankan Muhammadiyah dengan amal usaha itu tidak lebih dari sekadar rutinitas dan aktivitas organisasi.

Lebih parah lagi, karena tipisnya landasan ideologis (teologis) keislaman, amal usaha itu pada gilirannya menjadi sangat kapitalis-pragmatis, mencari untung belaka.

Hingga di sini, Muhammadiyah yang kini banyak digerakkan oleh kalangan intelektual muslim terkemuka negeri ini patut merekonstruksi teologi gerakan yang lebih solid dan kontekstual bagi perkembangan zaman. Bukankah tantangan umat Islam awal abad ke-20 tidak sama dengan abad ke-21 yang kompleks dan global ini?

Dari Kritik

Sejak tahun 1970-an hingga tahun 1980-an, bahkan sampai tahun 1990-an, pemikiran Islam yang mencerminkan isu pembaruan berkembang dengan pesat. Ide-ide yang dimunculkan memang sering menimbulkan perdebatan di kalangan intelektual tua dan muda Islam yang bersifat retoris dan tidak substantif. Tetapi, mesti diakui gagasan ini muncul dan dipengaruhi oleh faktor-faktor historis-sosial, budaya dan politik, baik lokal maupun global.

Kecenderungan pencarian "jati diri" pemikiran Islam tersebut mau tidak mau akan melibatkan umat Islam dalam situasi yang kontroversial. Di satu sisi memang akan merangsang untuk berpikir lebih cerdas dan maju dalam memahami normativitas ajaran Islam dan berupaya mengaktualisasikan dalam kehidupan nyata yang lebih kontekstual. Tetapi, pada lain sisi, langkah ini akan menimbulkan polarisasi dan membuka peluang konflik horisontal dan juga pluralisme dalam lingkaran keumatan Islam.

Perkembangan pemikiran semacam ini pada gilirannya juga mempengaruhi Muhammadiyah, baik dalam aspek pemikiran ideologis, masuk dalam sebuah gagasan zaman dan menjadi "gap internal" pimpinan. Atau, mulai dipertanyakannya Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid yang intens dalam berijtihad.

Dengan kata lain, Muhammadiyah dianggap sudah tidak lagi berperan sebagai gerakan tajdid, karena kurang mampu menjawab problem-problem sosial umat Islam.

Berawal dari kritik dan tantangan krisis ini tercipta tonggak sejarah pemikiran baru, di mana Muhammadiyah "berani" mengakomodasi kelompok cendekiawan (intelektual) untuk masuk ke dalam jajaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Dalam pandangan KHA Azhar Basyir (1986) kala itu, gerak langkah Muhammadiyah pasca-Muktamar 1985 lebih dinamis lagi dibandingkan dengan gerak sebelumnya yang lebih didominasi kalangan ulama.

Dominasi, kalau bukan hegemoni, intelektual di tingkat elite (pusat) dan berkurangnya peran ulama, yakni ulama dalam arti sebagai seorang yang menguasai ilmu-ilmu khusus keislaman, dalam Muhammadiyah memang banyak mendapat sorotan. Pada Muktamar ke-42 tahun 1990 di Yogyakarta, misalnya, seakan-akan muncul dilema antara Muhammadiyah dipimpin oleh KHA Azhar Basyir MA, yang mewakili figur ulama, dan M Amien Rais sebagai representasi cendekiawan atau intelektual.

Bahkan, menjelang Muktamar ke-43 di Banda Aceh sorotan itu semakin santer, karena ada indikasi, sepeninggal Kiai Azhar Basyir, Muhammadiyah mengalami kelangkaan ulama dalam pengertian tradisional.

Kecenderungan kepemimpinan dan pemikiran Muhammadiyah yang demikian pada gilirannya benar-benar terjadi pada waktu berikutnya. Sisi positif dari kecenderungan ini adalah, Muhammadiyah mengalami perkembangan pemikiran dan wawasan keislaman yang cukup maju. Muncul pula penafsiran-penafsiran baru terhadap ideologi-ideologi Muhammadiyah yang selama ini dianggap taken for granted dan menjadi ketidaksadaran kolektif.

Rekonstruksi Teologi

Dengan demikian, setidak-tidaknya, muncul suatu upaya untuk menggesekkan kembali secara tajam normativitas agama dengan historisitas realitas sosial, serta bertambahnya khazanah metodologi aktualisasi doktrin Islam dalam sejarah (amal usaha).

Meskipun tidak secara sistematis terbangun dalam konstruksi pemikiran yang kokoh dan utuh, namun generasi baru ini juga mulai mempertanyakan kedudukan beberapa pemikiran yang disah-formalisasikan dalam (khittah) Muhammadiyah.

Dapat dipahami upaya itu dilakukan sebagai bagian dari dinamika dan sekaligus untuk "menjawab" kritik yang banyak dilontarkan dan berkembang dalam masyarakat.

Salah satu yang menarik dari respons itu adalah sejak pertengahan 1980-an muncul kesadaran baru untuk menyelesaikan masalah kesenjangan antara pemikiran keagamaan sebagai landasan teologis dalam praksis sosial (amal usaha) yang cenderung menggelembung saja.

Dalam pada itu, adalah sebuah keniscayaan bagi Muhammadiyah untuk mengukuhkan kembali citra-dasar gerakannya yang ikhlas dan etis-emansipatoris.

Caranya, Muhammadiyah mau tidak mau harus mensistematisasi ulang wawasan keimanan atau teologinya yang berkaitan dengan berbagai problem kemodernan dan kemanusiaan.

Karenanya, Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam sebagai "ruh agama" Muhammadiyah sudah waktunya untuk mendiversifikasi diskursus "keilmuan"-nya, tidak hanya fiqh oriented.

Terlalu naif jika manhaj Tarjih yang fiqhiyyah dan wawasan keimanan model Wahabi, sebagaimana yang dituliskan dalam Himpunan Putusan Tarjih dan banyak kesempatan di Suara Muhammadiyah, dipakai terus untuk memecahkan kompleksitas persoalan zaman.

Apalagi tantangan dunia global dan kemanusiaan-universal semakin beragam dan pemecahannya pun sudah tidak cukup hanya dengan satu perspektif, melainkan butuh "saling menyapa" (adopsi dan adaptasi), bila perlu "dikawinkan", antar-wacana.

Masalah terorisme, misalnya, Muhammadiyah perlu menunjukkan kepada publik sebuah "teologi anti-terorisme".

Untuk itu semua, Muhammadiyah secara keseluruhan perlu memekarkan wilayah kerja ijtihad dan tajdid-nya. Selama ini tajdid masih dipahami sebagai "pemurnian agama".

Sedangkan wilayah kerja ijtihad pun dibatasi pada masalah-masalah hukum Islam (fiqhiyyah).

Ini berarti (warga) Muhammadiyah masih "terjebak" hanya kepada wilayah agama dan harus dientaskan pada spektrum pemikiran yang lebih luas. Walhasil, Muhammadiyah mendesak untuk merekonstruksi citra-ciri-dasar perjuangannya yang bernafaskan keimanan yang inklusif, santun dan kondusif bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tidak hanya dalam skala nasional tetapi juga di tingkat dunia global. (18)

- Bahrus Surur-Iyunk alumnus Studi Filsafat Islam Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

No comments:

Post a Comment