Wednesday, December 2, 2009

Imitatio Islam ala Kaum Muda Muhammadiyah

Ismatillah A Nu’ad*

Resensi buku, judul: Muhammadiyah Progressif: Manifesto Pemikiran Kaum Muda. Editor: Abd Rohim Ghazali, Zuly Qodir, Ahmad Fuad Fanani, dan Pradana Boy ZTF. Penerbit JIMM dan LESFI. Cetakan pertama tahun 2007. Tebal xxviii + 675 halaman.

Kaum muda adalah anak dari sebuah jaman (al-Rajulu ibn bi’atihi), begitulah kira-kira sebuah pepatah Arab menyebutkan, atau Hadis Nabi mengatakan subbanul yawm rijalul ghad (kaum muda hari ini adalah generasi penerus masa akan datang).

Buku setebal 675 halaman lebih berjudul Muhammadiyah Progressif: Manifesto Pemikiran Kaum Muda ini, sangat relevan jika dikaitkan dengan pepatah Arab maupun Hadis Nabi itu. Didalamnya berisi banyak manifesto intelektual yang mencerahkan dari kaum muda Muhammadiyah yang kemudian sering disebut-sebut sebagai Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) untuk membongkar kejumudan berpikir yang berkembang dalam peta pemikiran Islam di Indonesia pada umumnya. Buku suntingan yang berisi 39 tulisan dari para aktifis JIMM ini sekaligus menandai eksistensi kaum muda di tengah jaman modernitas-globalisasi.

Semangat gerakan intelektual yang dilakukan JIMM seperti tertuang dalam buku ini, pada derajat tertentu sebenarnya tak jauh berbeda dengan gerakan reformasi yang dilakukan kalangan muda Kristen, dimana ketika itu di usung oleh tokoh-tokoh seperti Martin Luther, Kalvin, Hus, Zwingli dan Wycliffe di jagat Eropa sekitar abad ke-15. Jika gerakan reformasi Kristen lebih banyak berkaitan dengan persoalan-persoalan tindakan moral yang mencoba ingin mengembalikan lagi sehingga sesuai dengan ajaran-ajaran Kristus (imitatio Christi). Maka gerakan JIMM memfokuskan pada bidang discourse karena menurut klaim gerakan ini, telah terjadi penyempitan terhadap makna Islam yang dilakukan kalangan konservatif dalam internal Muhammadiyah khususnya, yang di usung kalangan tua, lalu membuat ajaran Islam menjadi kurang sesuai dengan konteks perubahan (h. 22), seperti isu-isu yang menyangkut relevansi antara Islam dan demokrasi, pluralisme, civil society, hermeneutika kitab suci, multikulturalisme, inklusifisme, liberalisme, dan isu-isu yang berkembang di era globalisasi lainnya. Untuk merelevansikan ajaran Islam dengan semua isu itu, perlu dikembalikan pada sumber-sumbernya, lalu ditafsirkan lagi dengan semangat perubahan.

Jarak serta rentang yang sudah semakin jauh dari lokus kenabian, telah membuat ajaran-ajaran Islam terdistorsi lewat perjalanan sejarah yang tentunya dilakukan oleh para penafsir risalah. Dari titik itulah kemudian diyakini, setiap jaman yang menandai masa, akan muncul para mujaddid. Dalam pengertian bukan sebagai pembaru, karena agama tak ada yang perlu diperbarui, tetapi mereka sebagai pelaku yang bertugas untuk mengembalikan ajaran agama sehingga sesuai lagi seperti yang diajarkan para Nabi (imitatio fidei atau mengembalikan ajaran agama sesuai seperti ajaran para Nabi). Maka dari itu, setiap muncul “gerakan pembaruan” seperti JIMM, sebenarnya bukanlah ingin memperbarui agama, karena tak ada yang perlu diperbarui darinya, tetapi ingin mengembalikan lagi peran dan fungsinya supaya berjalan sebagaimana mestinya.

Kritik para mujaddid muda Muhammadiyah dalam buku ini, disodorkan karena munculnya kecenderungan yang semakin kuat, dimana banyak kalangan tua Muhammadiyah yang kelewat literalistik dalam mendekati teks-teks sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Sementara kaum muda menghendaki adanya penyegaran dan tafsir baru yang agak progresif dan liberal sehingga ajaran Islam bisa lebih relevan dengan konteksnya. Sukidi sendiri, salah seorang aktifis JIMM, memang menyebut gerakan JIMM sebenarnya telah keluar dari mainstream Muhammadiyah sebagai gerakan puritan atau dengan istilah lain unintended consequences dengan gerakan Muhammadiyah (h. 409).

Puritanisme selama ini selalu dilekatkan kepada setiap “gerakan pembaruan”, ciri-ciri umumnya seperti menyerukan supaya kembali pada al-Qur’an dan Sunnah, menolak taklid, bid’ah dan khurafat, serta menyerukan pentingnya melakukan ijtihad. Namun sayangnya, ijtihad dalam pengertian itu, peranan rasio dibatasi fungsi optimalnya sehingga tak ada kebebasan berpikir lagi didalamnya. Atau dengan istilah lain, ijtihad hanyalah sekedar untuk apologi defensif yang berguna untuk membuktikan kebenaran al-Qur’an dan Sunnah. Sementara kedua sumber itu sebenarnya tak perlu pembuktian pembenaran, karena memang sudah benar, sehingga yang harus dilakukan adalah bagaimana mengkritisi dan mengkontekstualisasinya sehingga relevan dengan pemikiran serta perkembangan isu-isu kontemporer.

Kaum muda Muhammadiyah ini meyakini bahwa Islam memiliki potensi untuk melahirkan pluralitas kebenaran. Atau istilah lainnya, al-Qur’an sendiri melahirkan double discourse (h. xvii), sehingga sebenarnya tak ada yang dimaksud sebagai kebenaran tunggal itu. Pluralitas penafsiran terhadap Islam terlahir bukan karena adanya pemikiran yang ingin mendewakan akal untuk memahami ajaran agama, tetapi karena potensi dasar Islam sendiri yang memang sangat rasional. Dengan mengutip Ashgar Ali-Engineer, seorang pemikir muslim liberal dari India itu, kaum muda Muhammadiyah meyakini bahwa penafsiran yang beragam terhadap Islam adalah sesuatu yang inheren, itu bisa terjadi karena teks-teks al-Qur’an sangat kaya serta bisa didekati dengan berbagai cara. Selain itu, penggunaan bahasa-bahasa metafora dan alegori dalam al-Qur’an menunjukan bahwa semuanya ingin membawa makna sosial dan kultural yang amat kaya, sehingga pemaknaannya pun bisa berubah sesuai dengan latar belakang sosio-kultural. Faktor sosial dan kultural seringkali memainkan peran penting untuk memahami teks-teks al-Qur’an. Karenanya para pemikir yang tumbuh dalam masyarakat modern dengan tradisi intelektualnya masing-masing akan cenderung memahami teks secara berbeda dengan mereka yang mempelajari teks berdasar semangat abad pertengahan (medieval ethos). (h. x)

Oleh sebab itulah, perkembangan pemikiran dan pemahaman yang cenderung mengarah pada konservatisme, tentu saja tak bisa diterima oleh kalangan muda JIMM, karena bagi mereka meyakini pasti ada kebenaran lain yang mungkin lebih mendekati pada kebenaran substantif. Lagipula, kebenaran Islam dari produk pemikiran jaman dulu seperti digunakan kalangan konservatif sudah pasti tidak sesuai lagi dengan jaman dimana kita hidup sekarang.

Ada tujuh fokus pemikiran dari para aktifis JIMM yang kemudian menjadi bab-bab dalam buku ini. Bab pertama, menyangkut hermeneutika, dalam arti mengajukan supaya umat Islam umumnya mempertimbangkan lagi pembacaan (penafsiran) terhadap Islam yang baru dari sebelumnya. Bab kedua, menegaskan pentingnya supaya menyadari bahwa kehidupan ini sangatlah multikultural, perbedaan seharusnya tak membuat sekat eksklusifitas, melainkan sebaliknya justru harus membuka diri dari perbedaan-perbedaan yang ada. Selain itu, secara khusus menyerukan supaya Muhammadiyah kembali pada gerakan dakwah kultural, karena kaum muda ini meyakini pola pengembangan dakwah harus berjalan bottom-up, bukannya top-down. Bab ketiga, menekankan bahwa dalam kehidupan modern, demokrasi merupakan keniscayaan serta perangkat mutakhir yang diyakini bisa membawa pada derajat keadilan untuk kehidupan masyarakat, bukannya semacam sistem teokrasi (atau penegakan syariah dan semacamnya), yang membawa-bawa risalah keagamaan untuk sepenuhnya diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Bab keempat, mengingatkan bahwa Islam adalah agama yang terbuka untuk berdialog dengan peradaban manapun. Umat Islam semestinya menyemai keinginan untuk bekerjasama, bukannya menghendaki the clash of civilization, yang misalnya direpresentasi dengan keberadaan gerakan radikal dan aksi terorisme atas nama agama itu. Bab kelima, menegaskan bahwa pluralisme agama adalah suatu kemestian, karena iman yang diyakini dalam setiap manusia berbeda-beda. Karena itulah, penghargaan terhadap pluralitas itu mestinya lebih dominan, ketimbang mempertahankan arogansi claim of salvation dan claim of truth. Bab keenam, inisiatif tentang pentingnya membumikan kesetaraan dan keadilan gender. Stigma yang selama ini melekat dalam masyarakat muslim salah satunya karena belum adanya penghormatan terhadap hak-hak kaum perempuan secara maksimal, sehingga pemupukan kesadaran supaya menghormati hak-hak kaum perempuan itu perlu segera dibumikan. Bab terakhir, tentang pentingnya menjadikan masyarakat muslim sebagai civil Islam, karena dengan tipikal masyarakat seperti itulah peradaban Islam relevan dengan kehidupan modern.

Menurut Zakiyuddin Baidhawy salah satu penulis dalam buku ini, hal pertama yang harus dilakukan untuk melangkah menuju progresifitas Islam itu adalah soal penafsiran (hermeneutika) terhadap teks kitab suci. Menurutnya, teks kitab suci tidak memiliki makna yang statik, tetapi dinamis karena bersimbiosis dengan kondisi-kondisi jaman (h. 103). Dalam hermeneutika Islam, seorang penafsir haruslah berasumsi bahwa al-Qur’an sebagai teks merupakan makhluk bisu, statik dan tak sadar. Al-Qur’an baru bisa berbunyi ketika manusia secara sadar melafalkannya, memperdengarkannya sehingga terasa hadir di dalam benak dan telinga para pemirsa. Hanya lewat para pembaca dan penafsirnyalah al-Qur’an memperoleh kembali kehidupan dan dinamikanya yang tak terlepas dari gerak ruang dan waktu (h. 119).

Atas dasar pembangunan serta pengembangan teori-teori hermeneutika semacam itulah rupanya JIMM ditempatkan sebagai kelompok liberal dari dalam tubuh Muhammadiyah. Dalam tipologi gerakan pemikiran, JIMM sebenarnya satu genre dengan Jaringan Islam Liberal (JIL) yang selama ini di usung kalangan muda Nahdlatul Ulama (NU), yang juga melakukan penafsiran baru terhadap Islam. Dalam arus gerakan baik di Muhammadiyah maupun NU, terdapat kesadaran dikalangan mudanya untuk memproduksi gagasan-gagasan Islam yang mengecambah agak liar dan kritis, sebut saja fenomena itu sebagai post-Muhammadiyah-NU (h. viii). Meskipun sebenarnya bukan fenomena baru, karena setiap generasi baik di Muhammadiyah dan NU, selalu muncul dalam setiap periodisasinya, gagasan-gagasan yang menyegarkan yang ditelurkan kaum mudanya. Namun agak berbeda dari sebelumnya, kemunculan gerakan JIMM maupun JIL kini, ditanggapi secara resistantif dikalangan tua dari organisasi Muhammadiyah dan NU sendiri, serta membawa dampak resistansi pula dalam masyarakat Islam secara massif. Sampai-sampai Majlis Ulama Indonesia sendiri membuat fatwa haram terhadap paham liberal, pluralisme dan sekularisme yang selama ini di usung baik oleh JIL maupun JIMM.

Selain itu, fakta bahwa kelahiran JIMM maupun JIL segera mengkutubkan gerakan intelektual Islam paling tidak pada tiga kubu. Pertama, mereka yang memiliki paham konservatif, atau dalam penyebutan lain fundamentalistik. Kedua, mereka yang memiliki paham liberal, yang lazimnya diwakili kalangan muda, seperti JIMM maupun JIL sendiri. Ketiga, mereka yang memiliki paham moderat, yang lazimnya tidak terbawa pada arus konservatisme maupun liberalisme. Namun tipologi yang ketiga ini menolak jika kemoderatan dipahami sebagai tidak memiliki sikap karena berada di titik tengah antara liberalisme dan konservatisme. Justru kemoderatan dipahami sebagai landasan supaya umat Islam kembali pada ajaran tauhid, ajaran yang rahmatan lil’alamin.

Dari titik itulah, sebenarnya para pengamat menyangsikan tesis Samuel Huntington tentang the clash of civilization itu, karena yang terjadi bukan saja ketegangan diantara peradaban Islam, Barat dan Konfusianisme, melainkan justru ketegangan yang terjadi diantara kelompok Islam itu sendiri (the clash within Islam), utamanya antara kelompok liberal dan fundamentalis. Kalangan liberal yang memperjuangkan kebebasan berpikir seperti dilakukan JIMM maupun JIL jelas mendapat resistansi yang keras dari kelompok fundamentalis Islam. Yang sangat disayangkan dari kelompok JIMM atau JIL adalah ketika kelompok fundamentalis tak hanya melakukan advokasi atas isu-isu penerapan prinsip-prinsip Islam yang sangat ketat, tetapi juga melegalisasi kekerasan sebagai sarana untuk menegakan prinsip-prinsip itu.

Menariknya, kelompok fundamentalis Islam ini tidaklah tunggal. Dalam artikel berjudul Anatomy of Salafi Movement yang ditulis oleh Quintan Wiktorowicz, seperti dikutip dalam buku ini, mengidentifikasi adanya tiga varian kelompok salafi, yaitu purist, politicos, dan jihadis. Kelompok pertama memberikan penekanan pada metode Non-kekerasan seperti dakwah, purifikasi dan pendidikan. Kelompok kedua, menekankan penerapan kredo salafi yang Anti-pluralisme, pada arena politik, yang oleh mereka dianggap sangat penting karena politik secara langsung memberikan pengaruh terhadap keadilan sosial. Sedangkan jenis ketiga, mengambil posisi yang jauh lebih militan dan mengusung keyakinan bahwa situasi yang dihadapi umat Islam saat ini menyerukan adanya kekerasan dan revolusi. (h. vi)

Nah, fokus utama lahirnya JIMM seperti tersurat dalam buku ini, sebenarnya ingin mengkritik kelompok fundamentalis-purist itu. Terlebih-lebih lagi tipologi purist berada didalam internal gerakan Muhammadiyah sendiri. Diyakini oleh JIMM, paska Muktamar Muhammadiyah tahun 2005, kecenderungan gerakan Muhammadiyah mengerucut ke arah fundamentalis-purist. Kemenangan Din Syamsuddin oleh banyak pihak dianggap sebagai salah satu tonggak paling mendasar bagi pergeseran itu, karena peristiwa itu menandai dominasi kaum konservatif (h. iii). Lahirnya JIMM bertujuan agar Muhammadiyah tidak stagnan dan lambat dalam merespon perkembangan jaman serta dinamika ilmu pengetahuan dan pemikiran. Menurut JIMM, selama ini Muhammadiyah terlihat maju dan modern dalam organisasi dan pengelolaan amal usaha, namun mundur dan terbelakang dalam bidang pemikiran karena terus digelayuti oleh kelompok fundamentalis-purist yang seakan-akan menutup diri dengan perubahan dan wacana pemikiran baru.

Akhirnya, buku ini sungguh sangat layak di baca kaum muda dari kalangan manapun, yang menginginkan inspirasi serta pencerahan intelektual untuk perubahan. Proficiat!

Ismatillah A. Nu’ad, Associate Researcher Kantata Research Indonesia, Partisipan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah

Retrieved from: http://ismatillahnuad.wordpress.com/2008/10/17/imitatio-islam-ala-kaum-muda-muhammadiyah/

No comments:

Post a Comment