Thursday, August 5, 2010

Spirit Pembaruan Sang Pendobrak

Kompas, Kamis, 5 Agustus 2010 | 02:33 WIB

Oleh: Siti Muyassarotul Hafidzoh*

Judul buku : Matahari Pembaruan: Rekam Jejak KH Ahmad Dahlan
Penulis : Nasruddin Anshoriy Ch
Penerbit : JB Publisher, Yogyakarta
Cetakan : 1, Juni 2010
Tebal : 188 halaman

Muhammadiyah telah menginjak usianya yang seabad. Gerak Muhammadiyah dalam melintasi jaman terus dijalankan guna mengarungi peradaban utama dengan jejak yang bermanfaat bagi masyarakat. Jejak-jejak Muhammadiyah telah melekat dalam ruang publik bangsa Indonesia, terbukti dengan berdirinya berbagai sekolah, panti asuhan, rumah sakit, dan gerakan sosial lainnya. Semuanya telah menjadikan Muhammadiyah sebagai organisasi modern yang terus menggerakkan kemajuan umat Islam tanpa mengenal lelah, letih, dan putus asa. Gerakan Muhammadiyah sudah menjadi teraket kehidupan bagi para pengurus dan warganya untuk melanjutkan perjuangan para pendirinya.

Usia seabad yang telah tiba saat ini membukakan mata dunia bahwa Muhammadiyah berdiri bukanlah dalam ruang hampa, melainkan melalui sebuah tujuan mulia yang dipijakkan oleh pendirinya. Publik tidak akan bisa melepaskan sosok KH Ahmad Dahlan untuk membuka lembaran ke- Muhammadiyah-an. Dalam diri KH Ahmad Dahlan, gerak dan cita-cita Muhammadiyah terpantulkan. Seorang kiai yang dikenal ulet dalam berorgansasi dan berdagang ini teguh dalam menjalankan amanat agamanya dalam menggerakkan kemajuan dan kegemilangan. Kiai ini tidak mau diam diri melihat berbagai keterbelakangan umat yang sangat mengenaskan.

Sosok kiai kharismatik inilah yang direkam secara menarik dalam buku bertajuk “Matahari Pembaruan: Rekam Jejak KH Ahmad Dahlan.” KH Ahmad Dahlan, yang bernama asli Muhammad Darwis, lahir di Kampung Kauman Yogyakarta pada 1868. Ayahnya, KH Abu Bakar adalah seorang imam dan khatib Masjid Besar Kauman Yogyakarta, sementara ibunya, Siti Aminah, adalah anak KH Ibrahim, penghulu besar di Yogyakarta. Darwis ini juga diriwayatkan mempunyai keturunan dengan Maulana Malik Ibrahim, salah seorang wali penyebar agama Islam di pulau Jawa yang dimakamkan di Gresik.

Melihat rekam jejak silsilahnya, Darwis terbukti sebagai keturunan elite Islam di Jawa. Tak salah kalau sejak kecil Darwis mendapatkan pendidikan agama yang ketat dari kedua orang tuanya. Sejak kecil, Darwis sudah lancar membaca Al-Quran, juga mengkaji keilmuan dasar dalam Islam. Bukan hanya dengan ayahnya Darwis berguru, tetapi juga kepada para ulama kesohor di pulau Jawa, termasuk KH Soleh Darat, Semarang, yang juga guru RA Kartini dan KH Hasyim Asy’ari itu. Tidak puas hanya di Jawa, Darwis akhirnya berangkat menuju Tanah Suci, bukan saja untuk menunaikan ibadah haji, tetapi juga berguru dengan para ulama’ besar Indonesia yang bermukim di sana dan juga kepada para ulama’ penting yang terkenal keilmuannya saat itu (hlm. 132).

Salah satu pemikir Islam yang sangat berpengaruh dalam diri KH Ahmad Dahlan saat itu adalah Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho dari Mesir. Kedua pemikir ini telah membangkitkan spirit pembaharuan dalam dunia Islam. KH Ahmad Dahlan benar-benar merasakan ruh kebangkitan pemikiran modern dalam Islam, sehingga terpantul dalam jiwanya untuk melakukan pembaharuan di Indonesia. Jiwanya yang teguh, kuat, dan penuh gagasan, ditambah dengan rangsangan dari pemikiran Muhammad Abduh, KH Ahmad Dahlan semakin matang dirinya untuk segerak kembali ke Indonesia dalam menggerakkan kemajuan bagi masyarakat Islam.

Semangat pembaharuan dalam diri KH Ahmad Dahlan akhirnya terwujud dengan berdirinya Muhammadiyah pada 19 November 1912 M/8 Dzulhijjah 1330 H. Berdirinya Muhammadiyah menandai lahirnya era baru dalam jelajah umat Islam Indonesia. Pada awal abad ke-20, umat Islam Indonesia masih dirundung kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan. Umat Islam juga masih terjebak dalam ruang mistisisme yang sangat akut, sehingga gagal memaknai pesan kemajuan yang sedang bergulir saat itu. Melihat kondisi inilah, KH Ahmad Dahlan datang untuk mendobrak kejumudan yang terus mengepung umat Islam. Spirit pembaharuannya dibuktikan dengan mendirikan sekolah, rumah sakit, panti asuhan, dan lainnya. Semua gerakan itu menjadi ciri khas Muhammadiyah yang berbentuk amal usaha yang ikhlas dan tulus dalam mengabdikan diri kepada umat (hlm. 98).

Sebelum mendirikan Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan telah ikut serta dalam pergerakan nasional di Indonesia. Pada tahun 1909, KH Ahmad Dahlan sudah berkenalan dengan Boedi Oetomo (BO) yang kemudian menjadi anggota untuk kring Yogyakarta. Pada tahun 1010, KH Ahmad Dahlan juga menjadi anggota Jamiat Khoir, organisasi Islam yang banyak bergerak dalam bidang pendidikan dan mayoritas anggotanya adalah orang Arab. Keterlibatan KH Ahmad Dahlan dalam kedua organisasi tersebut menjadikan beliau paham dengan masalah berorganisasi dan mengatur organsiasi secara modern serta dapat mempelajari cara berorganisasi modern di kalangan Islam.

Di samping itu, watak Ahmad Dahlan sebagai pendobrak sangat penting akan lahirnya organisasi benama Muhammadiyah. Walaupun beliau hidup di lingkungan keluarga Keraton, tetapi beliau sering turun ke bawah (turba) untuk mendakwahkan Islam tanpa mengenal lelah. Diceritakan bahwa ketika beliau sakit keras, dakwah tak mengendorkan niat beliau untuk terus dijalankan. Walaupun istri dan koleganya meminta beliau untuk istirahat, permintaan itu ditolak dengan halus oleh beliau. Beliau tak rela dengan kondisi umat yang terbelakang. Bahkan beliau berdakwah sampai ke pelosok Surabaya, yakni di Gang Peneleh. Disanalah, HOS Tjokraminoto, Soekarno, Roeslan Abdulghani pertama kalinya mendengarkan penjelasan tentang Islam dari KH Ahmad Dahlan (hlm. 58).

Spirit pembaharuan sang kiai sampai detik seabad ini masih menjulang di Indonesia. Peradaban utama selalu didengungkan untuk menggerakkan perjuangan sang pendobrak. Dalam melanjutkan perjuangan ini, pesan KH Ahmad Dahlan masih snagat terasa sampai sekarang: hidupkanlah Muhammadiyah, jangan mencari kehidupan dalam Muhammadiyah!

*Pustakawan, Peneliti Center for Developing Islamic Education (CDIE) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

No comments:

Post a Comment