JAKARTA, KOMPAS.com - Aksi teror tidak hanya mengguncang tata keamanan nasional, tapi juga wajah Islam ikut terbawa. Pelaku teror yang mengatasnamakan Islam cukup mengundang reaksi dari banyak pihak. Di tengah situasi demikian, saat proses hukum pascapeledakan bom Mega Kuningan masih berlangsung, duet intelektual Muhammadiyah menerbitkan buku Kristen Muhammadiyah Konvergensi Muslim dan Kristen dalam Pendidikan. "Kelahirannya sangat tepat, soalnya ekstremisme dan terorisme sedang berkembang. Itu merupakan bentuk intolerisme," komentar Suyanto, Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional, dalam peluncuran buku terbitan Al-Wasat Publishing House di Gedung Muhammadiyah Jakarta, Senin (10/8).
Buku karangan Abdul Mu'ti dan Fajar Riza Ul Haq ini memang mengisahkan toleransi antara minoritas Islam dengan mayoritas Kristen baik Katolik maupun Protestan dalam wadah pendidikan Muhammadiyah. Buku yang merupakan bagian dari desertasi Mu'ti ini memaparkan bagaimana SMA Muhammadiyah di Ende diterima baik oleh masyarakat yang mayoritas beragama Katolik. Bahkan 2/3 muridnya beragama Katolik. Bagi mereka ini disediakan guru agama Katolik secara tersendiri. Bagitu pula dengan SMP Muhammadiyah di Serui Teluk Cenderawasih Papua dan SMA Muhammadiyah di Putussibau Kalimantan Barat.
Selain di Putussibau perguruan yang dirintis Kyai Haji Ahmad Dahlan itu, menyediakan guru Kristen atau Katolik dan tidak mewajibkan memakai jilbab bagi yang non-Muslim. Dengan demikian, menurut Suyanto, melalui buku ini orang bisa mengembangkan pendidikan partisipatif yang menjamin toleransi. "Pada prinsipnya orang akan cepat belajar kalau ada contoh-contohnya. Ini contoh baik untuk mengajari anak-anak dalam toleransi keberagaman," tuturnya.
Adapun menurut Abdul Malik Fadjar, mantan Menteri Pendidikan Nasional pada Kabinet Gotong Royong, buku setebal 269 halaman ini menarik karena mampu menggugah kita bersama, bahwa bumi nusantara ini memerlukan upaya konvergensi untuk mencari titik temu kemajemukan dalam menyongsong Indonesia baru. "Oleh karena itu, saya yakin Indonesia mampu menjadi juru bicara perdamaian dunia," lontarnya.
Lain lagi pendapat Bambang Pranowo. Ia berpendapat karya paduan mantan ketua umum PP Pemuda Muhammadiyah dan direktur program Ma'arif Institute ini menepis paradigma Muhammadiyah yang puritan, tidak toleran dan tidak bersahabat dengan tradisi lokal. Dari awalnya Muhammadiyah lekat dengan anti TBC (takhayul, bid'ah dan khurafat), namun akhirnya dikembalikan pada lambang matahari. "Sinarnya memancar pada siapapun di manapun. Menyinari dengan amal karyanya terutama melalui pendidikan," papar Bambang.
Sinar itu kini memacar di Ende, Serui dan Putussibu. Mereka hadir karena mereka melihat titik temu kepentingan dakwah dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini terbukti, dengan melihat 2 alasan tertinggi kenapa banyak anak Katolik dan Protestan bersekolah di Muhammadiyah, yakni karena bagus dan murah. "Musuh kita sebagai musuh bersama adalah kemiskinan. Siapapun yang concern pada hal ini akan diterima," ucap Bambang.
Saat ini, Fadjar menambahkan bahwa Muhammadiyah yang katanya puritan ternyata telah berintegrasi dengan lahirnya Muhammadiyah-Nahdlatul Ulama (MuNU) dan Marhaenisme-Muhammadiya (Marmud). "Namun sekarang sudah tambah satu lagi, Krismuha atau Kristen-Muhammadiyah. Krismuha adalah orang Kristen yang sangat memahami, menjiwai dan mendukung Muhammadiyah," tandasnya.
No comments:
Post a Comment