Monday, September 6, 2010

Prof. Din, Muhammadiyah, dan Pendidikan

Oleh St Zaili Asril *)
SEBUAH antiklimaks: Prof. DR. H. Din Syamsuddin MA, sumando Rang Minang, meraih suara terbanyak dalam pemilihan 13 formatur Muktamar Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Kamis (7/7), dan formatur bersepakat menetapkannya menjadi Ketua Umum Pucuk Pimpinan (PP) Muhammadiyah 2005-2010, dan susunan pengurus lengkap baru akan ditetapkan dalam rapat anggota PP Muhammadiyah di Yogyakarta, 17 Juli 2005 nanti.
Lalu, bagaimana kita menyambut dan memandang serta mengharapkan kepemimpinan lulusan Universitas California Los Angeles (UCLA) Amerika Serikat (AS) itu dalam mengantarkan organisasi sosial-keagamaan yang didirikan KH Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada 1912 itu menjelang/memasuki satu abad usianya pada 2012 nanti?

Kita mengenal seorang Din Syamsuddin sebagai intelektual muda (48 tahun) yang sudah naik pentas Muhammadiyah sejak terpilih jadi Ketua Pemuda Mumammadiyah di Palembang (1988). Terakhir, pemimpin kelahiran Sumbawa Besar 31 Agustus 1958 itu adalah Wakil Ketua PP Muhammadiyah dan saat ini masih menjabat Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat serta dosen pasca sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta.

Sebelumnya ia pernah jadi anggota pengurus DPP Golkar dan jadi salah seorang direktur jenderal di Departemen Tenaga Kerja. Din pernah turun ke daerah-daerah ikut memperjuangkan Prof. DR. HM Amien Rais MA menjadi presiden.

MEMIMPIN Muhammadiyah lima tahun ke depan dan menjelang satu abad usia satu abad, diperhitungkan “akan menghadapi tantangan berat”. Akankah Muhammadiyah mampu meneruskan misinya sebagai pembaharu dan mengemban misi modernisasi. Saat mencetuskan ide-ide pembaharuan pemikiran Islam awal tahun 1970-an, Prof. DR. Nurcholish Madjid MA menilai pembaharuan di Muhammadiyah berhenti, justeru pembaharuabn terjadi di organisasi kemasyarakatan Nahdlatul Ulama (NU) – selama ini NU dikatakan organisasi tradisional! NU semula berada di belakang Muhammadiyah, menampilkan diri layaknya Muhammadiyah. Tantangannya, apakah Muhammadiyah memang berhenti menjadi organisasi pembaharu!?

Muhammadiyah memiliki tiga tugas pokok: sebagai organisasi dakwah; sebagai organisasi pendidikan; dan sebagai organisasi sosial. Ketua Umum Din Syamsuddin memikul tugas berat melakukan pembenahan agar mampu menjalankan tugas-tugas pokok pada ketiga wilayah tugas utamanya itu. Tantangannya, bagaimana Din dan PP Muhammadiyah memandang situasi-kondisi persyarikatan Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah/pendidikan/sosial dan apa yangt akan mereka lakukan dalam lima tahun ke depan – termasuk kiprah organisasi di bidang ekonomi dan perdagangan di era global dan perdagangan bebas! Tantangannya, apakah Muhammadiyah perlu melakukan revitalisasi!

Khusus sebagai organisasi sosial keagamaan, Muhammadiyah menghadapi tantangan bagaimana mengambil posisi terhadap partai politik – termasuk Partai Amanat Nasional (PAN) yang umumnya adalah para kader yang semula jadi pengurus/aktivis persyarikatan. Menarik apa yang dikemukakan Din: keep close, not keep distance. Bukan “menjaga jarak yang sama”, tapi, “menjaga kedekatan yang sama” dengan partai-partai politik – termasuk PAN. Din juga menyebut istilah “dakwah politik” dan “dakwah kebangsaan” – mungkin dapat dianalogikan dengan “dakwah kultural” yang sudah lama dilansir NU (1980-an). Tantangannya, mampukah Din dan PP Muhammadiyah mengendalikan syahwat politik kader-kadernya?

Dalam konteks ini, Muhammadiyah dapat dikatakan menanggung berbagai konsekuensi saat sejumlah kadernya bedol desa menjadi pengurus PAN, sampai tidak ada kader untuk mengurus Muhammadiyah. Ketika jadi politisi, kebanyakan mereka mabuk kekuasaan dan melakukan sejumlah kebodohan yang merugikan almamaternya. Toh Muhammadyah tetap menerima kader-kadernya pulang kandang. Mantan Ketua PP Muhammadiyah Prof. DR. H. Ahmad Syafii Maarif MA berusaha keras untuk bersikap keras/tegas menghadapi mereka itu. Tantanannya, mampukah Din dan PP Muhammadiyah bertegas-tegas terhadap kader-kader mereka yang terjun ke politik praktis!?

Paling tidak menurut pandangan Munir Mulkan dan Dawam Raharjo, Muhammadiyah menghadapi tantangan kehadirannya di lapisan akar rumput. Misalnya, Muhammadiyah tidak diterima lebih dikarenakan “sikap canggung” terhadap berbagai tradisi, sebagai konsekuensi dari gerakan memberantas TBC (tahayul, bid’ah, dan churafat). Kandidat Presiden Amien Rais tidak mendapat dukungan dari masyarakat yang dikategorikan sebagai masih berpenyakit TBC (Sebut saja isu: kalau Amien jadi presiden, ia akan melarang “selamatan” dan “tahlilan”. Prof. DR. H. Azyumardy Azra MA merisaukan Muhammadiyah yang mengabaikan tasauf dan kesyahduan beribadah.

MUNGKIN itu sebabnya, Muktamar Muhammadiyah memilih 13 anggota PP Muhammadiyah yang menggabungkan kader muda dan kader berpengalaman, tapi, memberikan suara terbanyak yang begitu signifikan pada kader yang relative masih muda dan memiliki latar belakang pendidikan Barat? Mungkinkah kita mengharapkan Muhammadiyah – paling tidak dalam lima tahun ini – membangun paradigma baru dalam tubuh Muhammadiyah dan kemudian dalam kiprah sebagai potensi bangsa yang dapat menentukan arah bangsa Indonesia ke depan – Prof. Ahmad Syafii Maarif aktif dalam gerakan membangun moral bangsa dan memberantas korupsi-kolusi-nepotisme (KKN)!? (H. Sutan Zaili Asril) Satu hal yang kita selalu lupa adalah bahwasanya pendidikan dasar menengah adalah sebuah fase pembentukan mentalitas dan intelektualias bangsa. Apa dan siapa yang salah? Kurang cerdas rasanya untuk menghabiskan energi dan waktu kita untuk mendiskusikan apa dan siapa yang salah, bukan itu substansinya.

Ironisnya, kepala dinas pendidikan Kota Padang sebagai instansi langsung yang harus bertanggung jawab terhadap maju mundurnya kualitas pendidikan dengan gamblang mengatakan banyak hal yang menyebabkan anjloknya prestasi siswa kota padang tahun ini, antara lain kurangnya kepedulian masyarakat dalam menunjang aktivitas pendidikan. Masyarakat selalu menjadi objek untuk disalahkan, tidak pernah punya itikad untuk berfikir sebagai seorang top management di Dinas Pendidikan sudah gagal total dalam mengemban amanah publik.

DPRD kota Padang memberikan respon dengan sangat cepat terhadap persoalan ini, akan segera memanggil “penguasa” dinas pendidikan kota untuk meminta pertanggungjawaban terhadap hasil yang sangat memalukan ini. Kalau perlu direkomendasikan untuk mengganti dengan segera kepala dinas pendidikan. Bagaimanapun ini adalah situasi yang sangat emergency. Untuk meningkatkan kualitas pendidikan di kota Padang kita tidak punya jalan lain. Ganti kepala dinas dengan orang yang memang punya kompetensi untuk itu dan reformasi total dinas pendidikan kota padang.

Reformasi total haruslah mencakup semua komponen dalam lingkup dinas pendidikan seperti bagian-bagian atau subdin yang terlibat langsung dengan peningkatan kualitas pendidikan. DPRD kota Padang juga harus segera menaikkan anggaran pendidikan kota, kalau bisa pangkas pos-pos yang hanya sebuah pemborosan, untuk meningkatkan kualitas proses pendidikan.

Kapan lagi kita akan melakukan reformasi total pendidikan kota Padang? Masihkah kita akan membungkus kegagalan pendidikan dengan show of force atau lip sercice yang hanya akan memperbanyak dosa terhadap publik.

Keberhasilan-keberhasilan yang diperoleh kota Padang tidak akan pernah berarti apa-apa kalau kualitas pendidikan yang merupakan muara dari seluruh persoalan bangsa masih memprihatinkan. Harapan terbesar tentunya ditujukan kepada walikota Padang untuk mengembalikan citra kota Padang sebagai sebuah ”Kota Pendidikan”.

Keberhasilan sebuah masyarakat hanya bisa diukur dengan tingginya tingkat mentalitas dan intelektual masyarakatnya. Tanpa itu hanya omong kosong.*
———————————-
*Penulis adalah Presiden Gerakan Anak Sekolah Indonesia, Jepang. Dosen Teknik Industri Universitas Andalas

Retrieved from: http://kus1978.wordpress.com/2008/05/09/prof-din-muhammadiyah-dan-pendidikan/

No comments:

Post a Comment