Download review Sang Pencerah, Muhammadiyah Jawa, & Tafsir Jawa Keteladanan Kiai Ahmad Dahlan
Oleh: Priyantono Oemar
Area permainan gobak sodor menjadi salah satu area terlihatnya kepemimpinan Ahmad Dahlan di masa kecil. Di area gobak sodor, ia mengatur strategi agar teman-temannya bisa lolos dari kepungan lawan.
Lingkungan keluarga kemudian banyak memupuknya. Anggota keluarga besarnya -dengan caranya masing-masing– mendukung dirinya sepenuhnya.
Kegusaran sosialnya muncul ketika melihat ibu sahabatnya harus berutang hanya untuk mengadakan tahlil 40 hari sepeninggal ayah sahabatnya itu. Sampai dewasa, dahlan terus mendakwahkan bahwa tahlil bukan suatu keharusan. Apalagi jika dengan tahlil beramai-ramai itu, malah mengganggu tetangga yang sedang butuh istirahat. Dalam kasus berbeda, masih sering pula terjadi saat ini, mengadakan pawai kendaraan saat pengajian sehingga jalanan macet karena dipakai parkir kendaraan.
Ahmad Dahlan (bernama kecil Muhammad Darwis) tumbuh di lingkungan religius di dalam keraton: Kauman. Ia beruntung memiliki lingkungan yang tepat dan mendukung. Ayahnya selalu bisa menenangkan kegundahannya. Pamannya –yang kemudian juga mertuanya– sering menasihatinya soal keteguhan hati dan pengendalian diri. Istrinya -yang tak perlu istikharah untuk memilih Dahlan sebagai suami, karena sudah yakin akan kepribadian Dahlan– bisa membesarkan hatinya
”Ini kondisi yang menjadi rumit. Kalau yakin pendapatmu yang benar, kau harus perjuangkan meski kau harus dicopot dari jabatanmu sekarang, Dahlan,” ujar Kiai Fadlil, paman sekaligus mertua Dahlan, saat Dahlan harus menghadapi pembongkaran mushala oleh orang-orang yang tak setuju dengan dirinya. (Sang Pencerah, hlm 243-244).
Tak banyak referensi soal pembakaran ini, sehingga banyak orang Muhammadiyah juga tak tahu ada peristiwa ini. Akmal memakai rujukan buku KH Ahmad Dahlan: Amal dan Perjuangannya karya Junus Salam (1962).
Dahlan saat itu sudah diangkat sebagai khatib Masjid Gede, menggantikan ayahnya yang telah meninggal. Menjadi khatib adalah kesempatan baginya untuk bisa memandang langsung wajah Sultan dari posisi yang jauh lebih tinggi dari Sultan -hal yang sering ia bayangkan di masa kanak.
Dalam kesempatan pertama khutbah di masjid itu, Dahlan langsung menyinggung soal kemudahan yang diberikan agama. ”Merahmati itu artinya melindungi, mengayomi, membuat damai, tidak mengekang atau membuat takut umat, atau membuat rumit dan berat kehidupan Muslim dengan upacara-upacara dan sesajen yang tidak pada tempatnya,” ujar Dahlan.
Tapi, untuk perayaan grebeg yang diadakan Keraton –yang dianggap sebagai bagian dari dakwah Islam– Dahlan tak mengkritiknya. Untuk menyampaikan pandangannya, ia memilih tak bertatap muka dengan Sultan, karenanya ia bertemu di ruang gelap (Purifying the Faith: The Muhammadijah Movement in Indonesian Islam, JL Peacock, 1992). Rupanya, sebagai orang Keraton, ia masih harus rendah hati dan patuh menjunjung budaya Jawa.
Suatu ketika, ia pernah menyatakan ”para anggota Muhammadiyah harus menaruh segenap perhatian pada beberapa tradisi Jawa yang tampak menyimpang dari aturan-aturan Islam.” Dahlan jelas tidak terganggu. Ia merasa ”bahwa secara perlahan-lahan tradisi-tradisi itu akan melemah seiring gerak evolusi dan perubahan sebagai akibat kemajuan dalam pendidikan.” (Muhammadiyah Jawa, 2010)
Sosok Dahlan
Membaca Sang Pencerah kita akan bisa melihat sosok Dahlan yang melampaui kemampuan pemuda-pemuda Kauman di masanya. Tegas dalam hal prinsip, tapi bisa kompromis dalam hal metode -dan ia mempunyai cara sendiri dalam berdakwah.
Dahlan digambarkan sebagai sosok yang mengayomi, toleran, terbuka, visioner, tak menilai orang dari luaran, dan sebagainya. Sifat-sifat kepemimpinan Dahlan ini digambarkan secara detail sesuai dengan nilai-nilai kepemimpinan Jawa. (Tafsir Jawa Keteladanan Kiai Ahmad Dahlan, hlm 33-95).
Ia berani mengenakan jas dengan tetap berserban ketika mengikuti acara-acara Boedi Oetomo atau mengajar di Kweekschool. Adalah Dahlan yang pertama kali mengajar agama di Kweekschool. Dalam penelitiannya tentang pemberontakan petani di Banten pada 1888, Sartono Kartodirdjo menyebutkan Yogyakarta yang berpenduduk 651.123 jiwa pada 1887 hanya memiliki 187 guru agama dan 485 haji.
Dahlan juga bisa memanfaatkan biola untuk mengajarkan agama kepada anak-anak, untuk mendorong mereka mencari jawaban, sebelum ia memberikan jawaban. Ia tetap pada pilihannya itu, meski hal itu bisa mengundang salah pengertian. ”Kenapa main musik londo, Kiai?”
Dahlan harus menghadapi berbagai rintangan, termasuk ketika langgarnya dirobohkan orang-orang utusan Kiai Penghulu, hingga ia pergi diam-diam dari Kauman. Dia dicap kafir, karena mengusulkan perubahan arah kiblat dengan berpatokan pada alat kompas dan peta yang dibuat kaum kafir, karena pakaiannya, karena biolanya, dan sebagainya.
Ia merasa sudah tak ada tempat dan tak ada yang bisa ia perbuat lagi di Kauman. Tapi, kakak iparnya, Kiai Saleh dan istrinya, mencegahnya di stasiun dan memberikan dukungan mental kepadanya.
”Mereka akan semakin tegar jika ada kau di samping mereka, bukan meninggalkan mereka di tengah kesulitan,’ ujar Kiai Saleh. ”Seorang pemimpin yang baik di mata Allah tidak akan pernah meninggalkan keluarga dan umatnya, sebesar apa pun kesulitan yang sedang dihadapinya,” ujar Nyai Saleh. (Sang Pencerah, hlm 260).
Menghalau Kristenisasi
Versi Sang Pencerah, sepulang dari Tanah Suci pada 1888, Dahlan menerima kabar dari kakak iparnya soal adanya bangsawan Pakualaman yang telah dikristenkan oleh Kiai Sadrach. Sadrach adalah penyebar Injil di Purworejo yang memakai idiom-idiom Islam, yang di kemudian hari mengubah nama menjadi Raden Mas Ngabehi Surapranata (surapranata berarti pahlawan ketertiban).
Dalam dialog, kakak ipar Dahlan menyebut pengikut Sadrach telah menjadi lebih dari 5.000 orang. Disebutkan, sebagian besar pengikutnya di Jawa Timur –penyebutan ini tentu tidak tepat, karena keberhasilan di Jawa Timur adalah kerja keras Coolen beserta murid-murid Jawanya. Untuk mendukung bagian ini, Akmal memakai referensi MC Ricklefs (Sejarah Indonesia Modern 1200-2004) yang menyebutkan data 1890 pengikut Sadrach hampir 7.000. Data 1890 ini dipakai Akmal untuk dialog di tahun 1888.
Pada 1888, Sadrach -yang dibaptis pada 1867 dan mulai memimpin persekutuan di Karangjoso pada 1870, menggantikan Ny Philips yang ia bantu sejak 1869– tentu belum memiliki pengikut sebanyak itu. Menurut catatan penginjil Wilhelm, pengikut Sadrach baru 3.000 orang pada 1889. Sebanyak 1.013 orang di antaranya berada di Karesidenan Yogyakarta. Sisanya menyebar di Bagelen, Banyumas, Tegal, dan Pekalongan. (Sedjarah Geredja di Indonesia, Muller Kruger, 1959).
Setelah mendapat cerita sepak-terjang Sadrach, Sang Pencerah melanjutkan cerita tentang Dahlan yang mencoba berdialog dengan para pendeta/pastur/misionaris. Dahlan ingin penyebaran agama tetap dalam semangat tanpa saling menyakiti. Dialog terakhir dilakukan dengan dr Zwijner, yang ia tantang: Jika ia kalah berdebat, ia rela masuk Kristen, tapi jika Zwijner yang kalah, Zwijner harus rela masuk Islam. Debat dengan Zwijner batal, dan Ki Hajar Dewantara menulis hal itu di Darmo Kondo.
Akmal mempunyai cara sendiri dalam mununjukkan tahun peristiwa. Peristiwa penghancuran langgar, misalnya, ia jelaskan dengan kalimat ”Mataku sempat melihat sobekan kalender basah akibat tersiram hujan. Tertulis di situ 1899”. Tapi, ia gagal menunjukkan tahun peristiwa dialog Dahlan-para pendeta/pastur itu. Ia mengakhiri cerita di bagian ini dengan alinea ”Pergantian abad Masehi yang hanya tinggal beberapa bulan lagi sebelum memasuki tahun 1900…” Ini memberi gambaran bahwa peristiwa Dahlan menjalin dialog antaragama terjadi di tahun-tahun sebelum 1900.
Tentu Akmal tahu, Ki Hajar Dewantara pertama kali menulis pada 1910, lewat Medden Java dan De Express di Bandung (Nyi Hajar Dewantara, BS Dewantara, 1979). Darmo Kondo pun baru mulai terbit pada 1903, yang kemudian mulai Januari 1911 terbit dalam bentuk majalah hingga 1930-an.
Kemungkinan, dialog Dahlan dengan para pendeta justru baru dimulai di atas tahun 1900. Dialog dengan Pastur van Driese dilakukan, setelah Dahlan intens bergaul dengan kalangan nasionalis (ini tentu di tahun-tahun awal Boedi Oetomo), dan dialog dengan Pendeta Bakker dilakukan di Jetis (ini tentu setelah Dahlan mengajar di Kweekschool).
Purbawakatja memiliki catatan tentang persahabatan Dahlan dengan Pastur van Lith ketika ia menjadi murid Dahlan pada 1914-1918. Van Lith adalah pastur pertama yang diajak dialog oleh Dahlan. ”Antara lain beliau bersahabat dengan Pastur van Lith di Muntilan yang merupakan tokoh di kalangan keagamaan Katholik. Dan, suatu keajaiban pada waktu Kiai Dahlan tidak ragu-ragu masuk gereja dengan pakaian hajinya.” (Muhammadiyah Gerakan Pembaruan, Haedar Nashir, 2010).
”Kisah-kisah (episode Kiai Dahlan-para pendeta) itu saya kumpulkan pada satu bagian saja untuk tidak muncul berulang-ulang pada penceritaan lain, karena penekanan pada kisah ini adalah bahwa Kiai Dahlan lebih mengutamakan dialog (open baar sebagai istilah saat itu) dengan pemuka agama lain, ketimbang melakukan atau menyerukan tindakan anarkis kepada para muridnya,” jelas Akmal memberi alasan.
Tapi, kurang tepat mengurai kegusaran Dahlan tentang Kristenisasi berangkat dari kiprah Kiai Sadrach. Sebab, Kiai Sadrach dan penginjil-penginjil pribumi, dalam menyebarkan Injil tak menyakiti umat Islam. Mereka menempatkan Injil sebagai ngelmu yang di setiap debat terbuka selalu bisa mengalahkan ngelmu Islam yang dimiliki orang-orang Islam.
Tradisi saat itu memang demikian, yang kalah berguru kepada yang ngelmu-nya lebih tinggi. Maka, Sadrach dengan cepat bisa mengkristenkan orang-orang Jawa. (baca juga Sejarah Pertemuan Kristen dan Islam di Indonesia, Jan S Aritonang, 2005).
Hal-hal yang menyakitkan justru muncul dari penginjil Belanda -hal yang lebih tepat menjadi penyebab Dahlan harus berdialog dengan para pendeta/pastur. Penginjil-penginjil Belanda menggunakan pendekatan pengobatan untuk merekrut orang-orang Jawa agar beralih ke Kristen. Juga lewat perekonomian dan sekolah. (lihat Tumbuh Dewasa Bertanggungjawab, CW Nortier, 1981 –terjemahan dari terbitan 1939– dan lihat juga Benih yang Tumbuh VII, Handoyomarno, 1976).
Akan lebih mengena jika Akmal mengurai kegusaran Dahlan terhadap Kristenisasi, berawal dari pemberian izin Sultan kepada para misionaris di Yogyakarta. Kristenisasi di Yogyakarta berkembang pesat setelah pada 1889 Sultan -atas tekanan Belanda– memberi izin kepada para misionaris di Yogyakarta menyebarkan Kristen di Jawa.
Izin ini keluar sebelum Dahlan berangkat haji pertama pada 1890, di usia 22 tahun -tahun Dahlan berhaji pertama yang dicatat A Mukti Ali (1957), H Soedja (1989), dan MY Asrofie (1983) di buku masing-masing. Di Sang Pencerah, Akmal memakai referensi website Muhammadiyah yang menyebut Dahlan berhaji di usia 15 tahun berdasarkan buku KH Ahmad Dahlan: Riwayat Hidup dan Perjuangannya, karya Sutrisno Kutojo dan Mardanas Safwan (1991).
Sultan kemudian menebus dosanya itu dengan mendukung penuh pendirian Muhammadiyah yang akan menghalau Kristenisasi. Menurut penuturan kerabat Keraton yang diwawancara Ahmad Najib Burhani pada 2003, Sultan memberi uang dan tanah untuk sekolah-sekolah Muhammadiyah demi tujuan menahan Kristenisasi dan pengaruh budaya Barat di Jawa. (Muhammadiyah Jawa, hlm 69).
Sultan juga mengungkapkan penyesalannya, lantaran “kesewenangan” Kiai Penghulu yang membuat Dahlan harus mengundurkan diri dari khatib Masjid Gede. Sikap Kiai Penghulu yang selalu apriori terhadap Dahlan itu membuat kita bisa tertawa bersama Sultan di bagian akhir novel ini.
Kiai Penghulu menolak pendirian Muhammadiyah hanya karena Dahlan, menurutnya, memiliki motif pribadi hendak menjadi residen. Dalam surat permohonan, disebut Dahlan sebagai presiden Muhammadiyah. ”Jadi, Kiai Penghulu tidak tahu bedanya president dan resident?” (Priyantono Oemar, Wartawan Republika)
Sumber: Republika, 05 September 2010 “Keluwesan Sang Pencerah”
No comments:
Post a Comment