Suara Muhammadiyah, Jumat, 20 Mei 2005
Oleh: Muhsin Haryanto
Semua perbuatan manusia pasti dipengaruhi pemikiran. Manusia tidak bisa lepas dari dunia pemikiran. Sadar atau tidak, dalam kehidupan sehari-hari pun seseorang tidak lepas dari ide. Kesalehan spiritual dan atau sosial seseorang atau sekelompok orang pun tidak lepas dari ide teologi agamanya. (Kuntowijoyo, 2003: 189).
Dari tesis di atas, tidak sulit untuk mengatakan bahwa empat varian anggota Muhammadiyah dan pribumisasi Islam hasil temuan Munir Mulkhan di Kecamatan Wuluhan, Jember, Jawa Timur – yang mungkin juga ditemukan di tempat lain – adalah potret nyata implementasi pemikiran teologis yang beragam di kalangan anggota Muhammadiyah. (Mulkhan, 2000). Gejala Islam Puritan, Dahlanis, Neo-Tradisionalis dan Neo-Sinkretis – di kalangan anggota Muhammadiyah – bukan saja ada sekarang dan di Wuluhan, tetapi mengalir kapan pun di mana pun.
Untuk memahami gejala ini, menarik apa yang ditemukan oleh Fauzan Saleh (Saleh, 2004) ketika dia menulis – pada sebagian disertasinya – tentang perkembangan pemikiran teologis di kalangan Muhammadiyah. Dia katakan, meskipun secara institusional Muhammadiyah menyatakan dirinya merupakan bagian dari kelompok Ahl al-Haq wa al-Jama’ah (Yusuf, 1995: 7), namun demikian pernyataan resmi tersebut tidak seluruhnya mencerminkan kecenderungan umum anggota, simpatisan dan bahkan para Tokoh Muhammadiyah. KHA Dahlan – secara teologis – tidak bisa disamakan begitu saja dengan murid-murid dan para pengikutnya pada waktu itu, apalagi pada masa-masa selanjutnya. Begitu juga para penerusnya hingga Buya A. Syafii Maarif
Orang-orang Muhammadiyah pada umum-nya cenderung ‘bebas’ (baca: tidak terikat). Selaras dengan semangat ijtihad yang ditumbuhsuburkan oleh para pemimpinnya dari masa ke masa. Teologi (Islam) Transformatif, misalnya, dipraktikkan – di samping oleh KHA Dahlan – KH. Mas Mansoer dengan asumsinya sebagia bagian dari pemurnian akidah. Mas Mansoer, yang oleh para pengamat dikelompokkan sebagai seorang Muslim Puritan di kalangan Muhammadiyah, ternyata juga seorang Muslim Transformatif. Selaras dengan gagasan Tauhid Sosial M. Amien Rais, Dia (Mas Mas Mansoer) adalah seorang Muslim yang terbukti saleh secara spriritual dan (sekaligus) sosial. (Saleh, 2004:168).
Pada umumnya orang lebih suka melakukan generalisasi terhadap gejala-gejala yang ada di Muhammadiyah. Termasuk di dalamnya: “kecenderungan pemikiran teologisnya”. Arbiyah Lubis, misalnya, dalam kajian komprehensifnya tentang posisi doktrin antara Muhammadiyah dan Abduh menyimpulkan bahwa bangunan teologi Muhammadiyah di masa awal lebih cenderung kepada Jabariyah, dengan menggunakan pendekatan Salaf dan terbatas pada masalah-masalah yang dikupas di kalangan Asy’ariyah (Lubis, 1993: 183). Penyataan itu menjadi susah untuk dipahami bila dikaitkan dengan figur Dahlan yang lekat dengan karya-karya Abduh. Meskipun bisa juga dimaafkan bila Dahlan secara utuh tidak mengikuti pola pemikiran teologi Abduh yang lebih dekat dengan Mu’tazilah.
Karena, menurut sebagian peneliti, Dahlan disebutkan sudah membaca sebagian karya Abduh, tetapi dia lebih banyak tertarik pada gerakan keagamaan bukan pada konsep-konsep teologisnya (Hadjid. T.th.)
Generalisasi, seperti yang dilakukan Arbiyah Lubis, pada dasarnya hanya memotret sebagian kecil dan gejala pemikiran teologis Muhammadiyah pada waktu itu. Karena, tidak seluruh pemimpin, anggota dan simpatisan Muhammadiyah pada masa awal berdirinya Muhammadiyah adalah ‘cenderung’ Jabariyah dan lebih dekat kepada Asy’ariyah. Tesis tersebut sudah terbantah dengan sendirinya ketika kita cermati gerak-langkah Dahlan ketika “memberdayakan masyarakat” melalui gerakan pendidikan dan dakwah, yang kemudian diterjemahkan kembali oleh M. Amin Rais dalam Tauhid Sosialnya. Menggagas ulang gagasan cerdas Dahlan, Rais – dalam hal ini – mencoba menjelaskan bahwa Islam harus dan pasti bisa menjawab persoalan sosial-kemanusiaan di mana pun dan kapan pun (Rais, 1998: 45-79). Apa yang dialukannya bukan hal yang sama sekali baru, tetapi inilah upaya reformulasi relevansi doktrin Islam dengan realitas permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia masa kini. Rais yakin bahwa konsep tauhid dapat menjamin bahwa suatu masyarakat yang adil sejahtera dapat dibangun dengan membebaskan anggotanya dari penghisapan, feodalisme dan penolakan terhadap perbedaan kelas, ras, asal keturunan dan seterusnya (Federspiel, 1991: 69).
Seandainya keragaman pemikiran dan kebebasan berijtihad itu terus berlangsung dan terpelihara dan idealnya harus terus berlangsung di kalangan Muhammadiyah sebagaimana Dahlan Tua dan Dahlan-dahlan muda – secara cerdas dan bebas – menggagas Islam secara teroretik dan praktik, maka yang terjadi dan akan terus terjadi Muhammadiyah akan tetap menjadi surga bagi cendekiawan yang saleh. Tetapi, ironisnya suasana kondusif itu sering diganggu oleh orang-orang yang merasa paling otoritatif untuk berbicara atas nama Muhammadiyah dan mengsumsikan diri dan kelompoknya menjadi tolok-ukur kebenaran, bukan saja kebenaran – meminjam Istilah Nurcholish Madjid (Madjid, 2000) dengan huruf “k” kecil, tetapi kebenaran dengan huruf “K” besar. Munculnya seseorang dan kelompok orang yang merasa paling otoritatif untuk menafsirkan kebenaran Tuhan, dan pada akhirnya menjadikan dirinya menjadi tuhan-tuhan kecil di samping Tuhan.
Otoritarianisme Pemahaman Keagamaan
Hantu yang sangat menakutkan pada satu masa di mana kebebasan berpikir, sebagai implementasi dari semangat ijtihad, tengah menjadi gejala mondial adalah “mihnah“. Secara empiris peristiwa ini pernah terjadi pada masa khalifah Islam, dan seolah-olah sudah dianggap selesai dan tidak akan pernah terjadi lagi.
Mihnah merupakan tonggak sejarah pertumbuhan dan perkembangan pemikiran teologis Mu’tazilah. Mihnah yang mirip dengan inquisition berarti severe trial, ordinal tribulation (Hans Wehr, 1960: 895), bermakna pemeriksaan keras, cobaan berat dan kesengsaraan.
Dalam konteks Mu’tazilah, Mihnah adalah suatu pemeriksaan, penyelidikan dan pemaksaan yang dilakukan oleh kaum Mu’tazilah terhadap para qadli dan para pejabat pemerintah serta tokoh masyarakat untuk mengakui paham kemakhlukan al-Qur’an sebagaimana dianut oleh kaum Mu’tazilah (Gibb, 1974: 377). Bagi qadli dan pejabat yang menerima paham ini maka putusannya dianggap sah, demikian halnya dengan kesaksian seorang saksi. Bagi mereka yang tidak menerima paham ini siksaanlah yang mereka terima.
Gerakan Mihnah ini merupakan implikasi doktrin ketauhidan Mu’tazilah di samping doktrin yang lain yaitu Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Logika yang mereka pakai adalah dengan meyakini keqadiman al-Qur’an berarti telah berbuat syirik, syirik adalah dosa besar, dan dosa besar harus diberantas sampai keakar-akarnya meski dengan kekerasan.
Mereka. berkeyakinan bahwa satu-satunya sifat Tuhan yang betul-betul tidak mungkin ada pada makhluknya adalah qadim (Nasution, 1986: 52), dengan keyakinan semacam ini tauhid akan murni dari syirik
Di kalangan Muhammadiyah, gejala ini sudah mulai tampak. Misalnya pada kasus penerimaan Asas Tunggal, munculnya JIMM, terbitnya Tafsir Tematik, diperkenalkannya gagasan pembaruan Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, Tauhid Sosial, Dakwah Kultural dan tidak kalah serunya: “perdebatan Islam Liberal” yang sudah mengindikasikan adanya mihnah-mihnah baru yang kontra-produktif.
Pertanyaan yang perlu dilontarkan dan dijawab adalah: Mana yang lebih bercirikan Muhammadiyah dengan semangat ijtihadnya, Yang Melalukan Pembaruan Pemikiran dan tetap terbuka untuk dikritik atau Yang Mempertahankan Pendapatnya dan menutup kritik, dan bahkan mengklaim paling benar dan menganggap secara a priori bahwa yang berbeda dengannya adalah “salah”.
Pemikiran “Teologi Pluralis” dan Tanggapan Otoritarianis
Para pemikir-progresif di kalangan Muhammadiyah yang pada umumnya adalah angkatan muda, akhir-akhir ini ada yang mengajukan pemikiran bahwa kerukunan umat beragama dapat dicapai jika para pemeluk agama menganut – dan mengembangkan – teologi pluralis atau teologi inklusif. Sebaliknya, teologi eksklusif tidak kondusif dan menjadi akar munculnya konflik SARA.
Teologi pluralis, menurut mereka, melihat agama-agama lain dibanding dengan agamanya sendiri dalain rumusan: ‘other religions are equally valid ways to the same truth, Other religions speak of different but equally valid truths’, Each religion expresses an important part of the truth, Intinya, penganut teologi pluralis meyakini bahwa ’semua agama memiliki tujuan yang sama’. Dalam istilah lain, teologi pluralis dirumuskan sebagai ’satu Tuhan, dalam banyak jalan.’ Untuk menguatkan pendapatnya, mereka mengutip ucapan Rumi: “Meskipun ada bermacam-macam agama, tujuannya adalah satu. Apakah Anda tidak tahu bahwa ada banyak jalan menuju Ka’bah?” Teologi pluralis, menurut mereka, menolak paham ekslusivisme, sebab dalam eksklusivisme itu ada kecenderungan opresif terhadap agama lain. Teologi eksklusif dirumuskan sebagai pandangan yang menganggap bahwa hanya ada satu jalan keselamatan: Agama mereka sendiri. Mereka mencatat: “Pandangan ini jelas mempunyai kecenderungan fanatik, dogmatis, dan otoriterl” Dengan bahasa yang lebih sederhana bisa dirumuskan bahwa untuk terjadinya kerukunan umat beragama, maka seorang Muslim – dan pemeluk agama lain – harus menghindarkan sikap fanatik, dogmatis, dan otoriter, yang menganggap bahwa hanya agama yang dipeluknya yang benar. Pemeluk suatu agama harus menganut teologi pluralis: Ia harus meyakini bahwa agama lain juga benar, yang berbeda hanya cara saja. Tapi, tujuannya adalah sama.
Gagasan para teolog-pluralis, menurut para kritikusnya – sebenarnya merupakan gagasan lama yang dikemas dengan istilah-istilah yang lebih indah, seperti ‘inklusif, ‘pluralis’, dan sejenisnya. Ide ini sama saja dengan gagasan sinkretisme, pendangkalan aqidah, atau sekularisme, yang semakin menjadi-jadi setelah World Parliement of Religions di Chicago tahun 1993 menyepakati perlunya suatu ‘global ethics’ untuk membangun perdamaian dunia.
Gagagan teologi-pluralis ini mirip dengan gagasan Gus Dur. Sebagai sebagai Presiden RI, Gus Dur pernah mengeluarkan pernyataan yang bernada sinkretik: “Kalau kita benar-benar beragama, maka akan menolak kebenaran satu-satunya di pihak kita dan mengakui kebenaran semua pihak. Kebenaran mereka yang juga kita anggap berbeda dan kita. Ini yang paling penting. Oleh karena itu semuanya benar. Semuanya benar.” Dalam bukunya berjudul Samakah Semua Agama?, misionaris Dr J Verkuyl memuat hikayat Nathan der Weise (Nathan yang Bijaksana). Nathan adalah seorang Yahudi yang ditanya oleh Sultan Saladin tentang agama manakah yang terbaik, apakah Islam, Yahudi, atau Nasrani. Ujungnya, dikatakan, bahwa semua agama itu intinya sama saja. Hikayat Nathan itu ditulis oleh Lessing (1729-1781), seorang Kristen yang mempercayai bahwa intisari agama Kristen adalah Tuhan, kebajikan, dan kehidupan kekal. Intisari itu, menurutnya, juga terdapat pada Islam, Yahudi, dan agama lainnya.
Ungkapan penyamaan agama juga pernah diungkap oleh Mahatma Gatldhi: ‘Setelah mempelajari lama dan seksama serta melalui pengalaman, saya sampai kepada kesimpulan bahwa (1) semua agama itu benar, (2) semua agama itu memiliki beberapa kesalahan di dalamnya, dan (3) semua agama itu bagi saya sama berharganya sebagaimana agama saya sendiri yaitu Hindu.’ Menurut Gandhi, agama ibarat jalan yang berbeda-beda namun menuju titik yang sama (Gandhi, 1958).
Jadi paham persamaan agama sebenarnya bukanlah hal baru. Kaum sekular, sinkretis, bahkan kaum Zionis, pun telah mengembangkan paham ini ratusan tahun yang lalu. Jika para teolog-pluraris ikut-ikutan menyuarakan paham persamaan agama, maka mereka adalah sebenarnya hanya menjadi bagian kecil dari kampanye global dan paham sekular atau sinkretis.
Pada kutub yang lebih ekstrem, para penganut paham penyamaan agama akan meragukan kebenaran agamanya sendiri atau menganggap semua agama sama saja dan benar, tidak ada yang salah. Wacana dilematis semacam ini pernah diungkapkan oleh Ahmad Wahib dalam catatan hariannya, ‘Pergolakan Pemikiran Islam’ yang sangat kontroversial. Wahib yang sempat bergaul akrab dan diasuh selama lima tahun oleh Romo HC Stolk SJ dan Romo Willenborg, menulis: ‘Aku tak tahu, apakah Tuhan sampai hati memasukkan dua orang bapakku itu ke dalam api neraka.’ Dia berharap: “tidak.”
Bila ditelusuri secara mendalam, menurut para kritikus terhadap paham teologi-pluralis, pemikiran sinkretis yang berupaya menyamakan semua agama, pada dasarnya adalah bentuk pelecehan terhadap agama. Pemikiran sinkretis semacam itu juga pernah dikembangkan oleh kelompok organisasi rahasia Yahudi Free Masonry. Kelompok ini pernah mendirikan perkumpulan teosofi di Indonesia dengan nama Nederlandsch Indische Theosofische Vereeniging (Perkumpulan Teosofi Hindia Belanda, yang merupakan cabang dari perkumpulan teosofi yang bermarkas di Adyar, Madras, India (Saidi, 1994: 10-13).
Selain menyamakan agama-agama, kelompok ini juga berupaya menggabungkan nilai-nilai kebajikan pelbagai agama. Malah, menurut mereka, pelbagai agama itu masih harus disempurnakan lagi dengan ajaran teosofi versi mereka. Pokok-pokok ajaran teosofi di antaranya, (1) menjalankan persaudaraan tanpa memandang bangsa, agama, dan warna kulit, (2) semua agama yang digelarkan di dunia ini sama saja maksudnya. Semua agama berisi teosofi, (3) semua agama memerlukan tambahan ‘ilmu kebersihan’ seperti yang diajarkan teosofi. Secara lebih lejas, misi teosofi digambarkan oleh Ketua Theosofische Vereeniging Hindia Belanda, D Van Hinloopen Labberton, pada majalah Teosofi bulan Desember 1912:
‘Kemajuan manusia itu dengan atau tidak dengan agama? Saya kira bila beragama tanpa alasan, dan bila beragama tidak dengan pengetahuan agama yang sejati, mustahil bisa maju batinnya. Tidak usah peduli agama apa yang dianutnya. Sebab yang disebut agama itu sifatnya: Cinta pada sesama, ringan memberi pertolongan, dan sopan budinya. Jadi yang disebut agama yang sejati itu bukannya perkara lahir, tetapi perkara dalam hati, batin. Sepintas, ajaran-ajaran itu tampak indah. Padahal, ajaran-ajaran itu sebenarnya racun halus yang secara perlahan membetot keimanan seorang Muslim. Seorang Muslim yang menganut paham semacam itu, akan tidak terlalu peduli dengan konsep-konsep teologis agamanya sendiri, demi tujuan ‘persaudaraan’ kemanusiaan.
Beberapa Kerancuan Pemikiran Teologi Pluralis
HAMKA pernah menyatakan, orang yang mengatakan bahwa semua agama itu sama dan benar, sebenarnya orang itu tidak beragama. Logikanya, jika semua agama sama, maka buat apa beragama? Lalu, agama mana saja?
Bagi seorang Muslim, ‘teologi pluralis’ sangatlah aneh dan menyesatkan. Dalam tataran teologis, Islam memiliki konsep ‘eksklusif dan tegas. Hanya Islam yang benar, yang lain adalah kafir dan sesat. Hanya Islam jalan keselamatan. (QS 3:19, 3:85; 98:6; 5:72-75; dsb).
Di era 1970-an dan 1980-an, pemerintah Orde Baru dengan gerakan sekularisasinya juga sibuk membuat program pendangkalan aqidah dan ‘pengikisan fanatisme’ keagamaan. Gerakan itu disisipkan melalui buku-buku PMP yang sempat menyulut protes para pemimpin Islam. Pada intinya, program ini berusaha mengikis keyakinan keagamaan yang menganggap kebenaran hanya pada agamanya sendiri.
Jika para teolog pluralis menyatakan bahwa teologi pluralis ini akan membawa kerahmatan dan – antara lain – meminimalkan konflik SARA, Teologi sinkretis (pluralis) yang dikembangkan Orde Baru itu terbukti justeru kontraproduktif. Konflik SARA justru melonjak tajam di masa ‘orde’ itu. Data perusakan gereja yang dikeluarkan FKKI/FKKS (1997) menunjukkan lonjakan tajam perusakan/pembakaran gereja di era Orba.
Banyak analisis terhadap maraknya perusakan gereja di Indonesia di masa Orba. Yang jelas, rezim Orba melakukan penyeragaman ideologi dan ‘mengharamkan’ perdebatan (dialog) di tengah masyarakat, dan memunculkan ‘hantu SARA’. Kepemimpinan BJ Habibie yang hanya berumur sekitar 500 hari juga tak melakukan perubahan berarti dalam penyelesaian kasus konflik SARA. Masih serba tertutup dan tabu bicara soal SARA, khususnya dialog antaragama. Rezim Gus Dur, selain mengembangkan sinkretisme, juga cenderung pro-Kristen.
Masing-masing kelompok agama sebenarnya menginginkan dialog yang lebih terbuka, jujur, dan transparan, sehingga konflik ideologis tidak berlangsung dalam suasana intrik yang sangat tidak sehat, tidak jujur, dan didominasi semangat kemunafikan. Orang Kristen tidak jujur dengan proyek Kristenisasinya. Orang Islam juga enggan terbuka soal konsep-konsep ideologis dan keagamaan Islam tentang kaum Nasrani. Jika dialog agama sudah berpijak kepada ‘ketidakjujuran’ dan ‘kemunafikan’, maka dialog itu akan berujung kepada kesia-siaan.
Teologi pluralis bisa jadi pada ujungnya hanya akan mengulang tragedi konflik SARA di masa Orde baru dan mengembangkan ‘kemunafikan’ seperti ini.
Jalan Tengah: Mengedepankan Tasamuh
Dalam tahun-tahun belakangan ini semakin banyak didiskusikan mengenai kerukunan hidup beragama. Diskusi-diskusi ini sangat penting, bersamaan dengan berkembangnya sentimen-sentimen keagamaan, yang setidak-tidaknya telah menantang pemikiran teologi kerukunan hidup beragama itu sendiri, khususnya untuk membangun masa depan hubungan antaragama yang lebih baik-lebih terbuka, adil dan demokratis.
Kita semua tahu, bahwa masalah hubungan antaragama di Indonesia belakangan ini memang sangat kompleks. Banyak kepentingan ekonomi, sosial dan politik yang mewarnai ketegangan tersebut. Belum lagi agama sering dijadikan alat pemecah belah atau disintegrasi, karena adanya konflik-konflik di tingkat elite dan militer. Di Muhammadiyah pun, seandainya tidak diantisipasi, perpecahan bisa terjadi sebagai akibat dan ketidakdewasaan para pemimpin, anggota dan simpatisannya. Termasuk di dalamnya ketika menyikapi perbedaan pemikiran teologis yang berkembang di dalamnya.
Pertanyaannya: Adakah dasar teologis yang diperlukan untuk bertasamuh?
Pertanyaan ini penting, karena selama ini teologi dianggap sebagai ilmu dogmatis, karena menyangkut masalah akidah, sehingga itu tidaklah perlu dibicarakan-apalagi dalam hal antaragama. Sehingga terkesan teologi sebagai ilmu yang tertutup, dan menghasilkan masyarakat beragama yang tertutup. Padahal iklim masyarakat global dan pascamodern dewasa ini lebih bersifat terbuka dan pluralistis.
Teologi Yang Mana: Eksklusif atau Pluralis?
Memang, dalam sejarah telah lama berkembang doktrin mengenai eksklusivitas pemikiran keagamaan. Ada sekelompok yang orang yang berteriak lantang bahwa pemikiran keagamaan sayalah yang paling benar, pemikiran kegamaan yang lain lain adalah sesat dan menyesatkan. Pandangan semacam ini masih sangat kental, bahkan sampai sekarang, seperti termuat dalam tidak hanya buku-buku polemis, tetapi juga buku ilmiah.
Pandangan eksklusif seperti itu memang bisa dilegitimasikan – atau tepatnya dicarikan legitimasinya – melalui Kitab Suci al-Qur’an dan as-Sunnah dengan sejumlah interpretasinya. Tetapi itu bukan satu-satunya kemungkinan. Sejarah Kristiani pernah mencatat munculnya pemikiran teologis inklusif yang cenderung liberal. Karl Rahner, teolog besar yang menafsirkan Konsili Vatikan II, merumuskan teologi inklusifnya yang begitu terbuka, kira-kira dengan mengatakan.
“Other religions are implicit forms of our own religion” (Agama lain adalah bentuk-bentuk implisit dan agama kita).
Tulisan Karl Rahner mengenai ini dibahas dalam bab “Christianity and the Non-Chrisitian Religions” dan “Observations on the Problem of the ‘anonymous Christian’,”. Dalam pemikiran Islam, masalah ini juga terjadi secara ekspresif. Walaupun dalam Islam sejak awal sudah ada konsep “Ahl al-Kitab” (Ahli Kitab) yang memberi kedudukan kurang lebih setara pada kelompok non-muslim, dan ini dibenarkan oleh al-Qur’an sendiri, tetapi selalu saja ada interpretation away - yaitu suatu cara penafsiran yang pada akhirnya menafsirkan sesuatu yang tidak sesuai lagi dengan bunyi tekstual Kitab Suci, sehingga ayat yang inklusif misalnya malah dibaca secara eksklusif.
Kembali pada teologi eksklusif di atas, begitulah, kita baik kaum Muslim maupun umat Kristen telah mewarisi begitu mendalam teologi eksklusif yang rumusan inti ajarannya adalah – seperti ditulis oleh filsuf agama terkernuka Alvin Plantiga -”the tenets of one religions are in fact true; any propositions that are incompatible with these tenets are false” atau John Hick, “The exclusivivits think that their description of God is the true description and the others are mistaken insofar they differ from it.”
Karena pandangan tersebut, maka mereka menganggap bahwa hanya ada satu jalan keselamatan: yaitu agama mereka sendiri. Pandangan ini jelas mempunyai kecenderungan fanatik, dogmatis, dan otoriter. Secara internal, pandangan mereka itu dapat dikatakan sah-sah saja. Tetapi andaikata pandangan tersebut sudak masuk ke dalam sekte-sekte mereka yang jumlahnya ratusan, maka cara pandang tersebut akan mengakibatkan munculnya sikap tidak-toleran di kaingan internal umat Kristiani. Demikian juga, andaikata pandangan ini ditularkan di lingkungan internal Islam, maka pernyataannya bisa berbunyi: “hanya ada satu yang benar, yaitu tafsir atas Islam saya”.
Oleh karena itulah diperlukan suatu perspektif baru dalam melihat “Apa yang dipikirkan oleh suatu pemikiran keagamaan, mengenai agama lain dibandingkan dengan agama (Islam) sendiri”. Perspektif ini akan menentukan apakah seorang beragama itu menganut suatu paham keberagamaan yang eksklusif, inklusif atau pluralis. Apakah ia seorang yang terbuka atau otoriter?
Menganut suatu teologi eksklusif dalam beragama bukan hal yang sulit. Karena secara umum, sepanjang sejarah sebenarnya kebanyakan orang beragama secara eksklusif. Baru sejak 1965 lah secara resmi ada usaha-usaha global untuk memulai perkembangan teologi ke arah yang inklusif.
Dan baru belakangan ini saja berkembang teologi yang lebih pluralis – yang lebih merentangkan inklusivitas ke arah pluralis dengan menekankan lebih luas sisi yang disebut paralelisme dalam agama-agama – yang digali lewat kajian teologi agama-agama.
Teologi pluralis – secara umum – melihat agama-agama lain dibanding dengan agama-agama sendiri, dalam rumusan: Other religions are equally valid ways to the same truth (John Hick); Other religions speak of different but equally valid truths (John B Cobb Jr); Each religion expresses an important part of the truth (Raimundo Panikkar); atau setiap agama sebenarnya mengekspresikan adanya The One in the Many (Sayyed Hossein Nasr). Di sini jelas teologi pluralis menolak paham eksklusivisme, sebab dalam eksklusivisme itu ada kecenderungan opresif terhadap agama lain, termasuk di dalamnya pemikiran keagamaan.
Arti Penting Teologi Pluralis: Kasus Indonesia
Dewasa ini penerimaan atas teologi pluralis tidak bisa hanya didasarkan atas kesadaran bahwa kita ini adalah bangsa yang majemuk dan segala segi SARA-nya, sebab kalau ini pijakannya, maka kita sebenarnya berangkat dan kenyataan sosial yang terfragmentasi (terpecah-pecah) – yang karena itu diperlukan teologi pluralis sebagai cara untuk menghindari kefanatikan, jadi fungsinya hanya sebagai a negative good.
Padahal kebutuhan sekarang bukan hanya karena fakta sosiologis saja, tapi bisakah teologi pluralis itu dibangun karena begitulah faktanya mengenai Kebenaran Agama, bukan hanya karena fakta sosialnya! Teologi Pluralis adalah bagian dan – seperti sering dikatakan Nurcholish Madjid – “pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagement of diversities within the bonds of civility).
Nah, persis sejalan dengan kebutuhan itu, teologi agama-agama bisa menjelaskan alasan teologisnya mengapa suatu agama perlu masuk dalam dialog antaragama, yang didalamnya akan didalami bersama partner dialog, “a new depths of understanding of God’s saving ways”. Di sini teologi agama-agama akan mempersiapkan komunitas beragama dalam kepemimpinan teologis dalam memasuki dialog antaragama itu.
Ini penting sebab sekarang diyakini diktum: Those who know only their own religion, know none. Those who are not decisively committed to one faith, know no others. To be religious today is to be interreligious! Jika diktum ini sudah diterima, akan lebih mudahlah memasuki dialog antaragama dan selanjutnya segi teologisnya, yang dan sini pemerkayaan iman akan sangat dimungkinkan. Usaha-usaha besar pencarian “Etika Global” dari agama-agama yang populer sejak Sidang Parlemen Agama-agama (1993), akan jauh lebih mendasar jika berangkat dari dialog teologis, yang meneguhkan sikap paralelisme itu – yang mengekspresikan kesadaran “Satu Islam, dalam banyak jalan”.
Salam Pamit
Jalal al-Din Rumi, dalam perspektif tasawufnya, misalnya melukiskan pandangan pluralisnya dengan menggunakan gambaran berikut:
“Meskipun ada bermacam-macam agama, tujuannya adalah satu. Apakah Anda tidak tahu bahwa ada banyak jalan menuju ka’bah? … Oleh karena itu apabila yang Anda pertimbangkan adalah jalannya maka sangat beraneka ragam dan sangat tidak terbatas jumlahnya; tetapi apabila yang Anda perimbangkan adalah tujuannya, maka semuanya terarah hanya pada satu tujuan. “
Dengan mengutip Rumi, bukan berarti saya mengajak untuk tidak mempercayai “Islam” kita, atau bahkan mengajak murtad “bersama-sama”. Dalam semangat kesatuan inilah, kita menghargai keberbedaan. Perbedaan pemikiran ke-lslaman ini harus dikenal dan diolah lebih lanjut, karena perbedaan ini secara potensial bernilai dan penting bagi setiap orang Islam dalam memperkokoh iman dan mengembangkan amal salehnya secara kolektif.
Penulis adalah Dosen Tetap FAI-UMY dan Dosen Luar Biasa STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta
http://www.suara-muhammadiyah.or.id/new/content/view/118/27/
No comments:
Post a Comment