Friday, September 17, 2010

NU Versus Muhammadiyah

Tempo, 8-7-2000 / 21:51 WIB

Dalam sebuah kesempatan, Nurcholis Madjid pernah wanti-wanti, jika Gus Dur "jatuh" dari kursi kepresidenan pada Agustus mendatang, massa akan membaca kejatuhan Gus Dur itu akibat ulah Amien Rais. Yang merisaukan, persepsi seperti ini tidak mustahil akan memicu konflik horizontal pada tingkat massa--antara anggota Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

Ramalan Cak Nur, demikian ia biasa disapa, mungkin tidak mengada-ada. Ini lebih merupakan bacaan Cak Nur yang cukup realistis terhadap kondisi sosio-kultural sebagian besar umat Islam Indonesia. Tak bisa dipungkiri, sebagian umat Islam masih terjebak pada sekat-sekat primordialisme keagamaan yang sempit. Lagi pula, persaingan antara NU dan Muhammadiyah bukan sesuatu yang a-historis. Pengikut NU dan Muhammadiyah pernah terjebak pada pertentangan tajam dalam waktu yang cukup panjang.

Pertentangan NU-Muhammadiyah sebenarnya tidak bisa dibaca sebagai pertentangan antar sekte dalam sebuah agama. Sebab, sejauh menyangkut doktrin-doktrin keagamaan yang prinsip, baik NU dan Muhammadiyah masih ada dalam koridor yang sama. Perbedaan hanya terjadi dalam soal metode, bagaimana mereka "menghampiri" Islam sebagai sebuah ajaran dan merealisasikannya dalam kehidupan keseharian.

Meminjam bahasa kalangan pengamat Islam Indonesia, NU sering dicap sebagai kaum "tradionalis", sedangkan Muhammadiyah dicap kaum "modernis". Julukan ini tentu tidak berlaku dalam standar yang ketat. Sebab, perbedaan keduanya tidak selalu hitam putih. Seringkali, pebedaannya hanya bisa dilihat dengan cara membaca persinggungan sejarah antara kedua organisasi itu.

Seperti diketahui, lahirnya Muhammadiyah merupakan lanjutan gerakan pembaruan dan pemurnian Islam yang berawal di Timur Tengah, awal abad 20-an. Saat itu, sejumlah tokoh Islam yang belajar di Timur Tengah, misalnya K.H. Ahmad Dahlan, banyak terpengaruh pemikiran tokoh pembaruan Islam, seperti Muhammad Abduh, Jamaludin Al-Afghani, dan Rasyid Ridha. Mereka sampai pada kesimpulan, kondisi umat Islam di berbagai belahan dunia ada pada titik nadir kemunduran. Disamping secara politik umat Islam didominasi kolonialisme, secara pemikiran pun, mereka terjebak pada kebekuan (jumud).

Para pembaru meyakini, penyebab kemuduran umat Islam sebenarnya terletak dalam diri umat Islam sendiri. Ada kesalahan dalam tradisi berpikir yang berbuah kekeliruan dalam kebiasaan beramal. Dalam tatanan pemikiran, umat Islam setidaknya terjebak pada dua hal. Pertama, mereka terjebak pada pakem bahwa penafsiran ajaran Islam telah final, seiring dengan berlalunya kegemilangan generasi sahabat dan para ulama terdahulu (generasi para tabi'in dan tabi'it tabi'in). Para sahabat dan ulama terdahulu dianggap telah menyediakan jurisprudensi yang lengkap dan berlaku sepanjang zaman. Karena itu, disimpulkan, penafsiran ajaran Islam untuk menjawab tantangan zaman (ijtihad) tidak diperlukan. "Pintu ijtihad telah tertutup," demikian kalimat yang sering didengungkan.

Kedua, sebagian umat Islam terjebak pada "aliran teologi" yang berbau "fatalis". Mereka meyakini, dalam hubungan antara manusia dengan sang pencipta, manusia berada dalam posisi yang "serba ditentukan" (predestinated). Manusia sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk membentuk masa depannya. Meskipun manusia diwajibkan berusaha (al-kasb), usaha manusia sama sekali tidak akan mempengaruhi hasil akhirnya. Teologi yang kurang menghargai "kehendak bebas" (free will) ini diyakini para pembaru sebagai warisan teologi Jabariyah (teologi "keterpaksaan" manusia).

Kedua kekeliruan di atas diyakini telah membuat umat Islam tidak kreatif dalam berpikir dan malas dalam membangun peradaban. Karena itu, para pembaru menyerukan agar umat Islam bersedia menelaah ulang doktrin-doktrin Islam. Doktrin Islam harus dijelaskan kembali dalam bahasa yang bisa diterima alam pikiran modern. Keyakinan mereka: Islam merupakan agama yang meletakkan akal pada posisi yang sangat penting. Untuk itu, dalam tataran konkrit, sedikitnya mereka mendakwahkan dua hal: membuka kembali pintu ijtihad dan memperkenalkan teologi Qadariyah (teologi yang sangat menghargai free will manusia).

Di sisi lain, para pembaru pun melihat, dalam praktik beribadah dan bermuamalat, sebagian umat Islam memiliki kebiasaan untuk merujuk pada karya-karya ulama mazhab tertentu. Kaum pembaru menilai kebiasaan ini sebagai kesalahan. Ini bisa menumbuhkan fantisme mazhab yang berlebihan dan bisa menjadi bibit perpecahan. Untuk itu, para pembaru menyerukan, umat Islam hendaknya kembali kepada Al-Quran dan Al-Sunnah (kodifikasi hukum yang berasal dari ucapan dan perbuatan Nabi Muhammad). Dalam semangat itu, Mereka ingin membersihkan Islam dari segara tradisi "keberhalaan" (paganis), takhayul (khurafat), dan bid'ah (amal ibadah yang dibuat-buat). Untuk itu, mereka hanya membolehkan segala praktik ibadah yang memiliki landasan hukum yang pasti dalam Al-Quran atau As-Sunah. Amalan di luar itu, meskipun memiliki argumentasi dari karya-karya ulama, bisa saja dianggap menyimpang.

Tatkala Muhammadiyah menghembuskan semangat pembaruan ke Indonesia, yang pertama kali terusik ketenangannya adalah kalangan ulama pesantren. Keterusikan ini bukan semata karena kekhawatiran kehilangan privilege. Tapi, jika sampai terjadi perubahan mendanak, ulama mengkhawatirkan terjadinya "goncangan" pemahaman di kalangan umat Islam. Maklum saja, sesuai dengan riwayat penyebarannya yang lebih mengandalkan akulturasi ketimbang konfrontasi, ajaran Islam yang dipertahankan para ulama adalah ajaran Islam yang moderat, toleran terhadap tradisi, dan masih mengakui relativisme internal. Toleransi ajaran ulama pesantren tampak pada kesediaan mereka membiarkan praktik ritual yang bernuansa Hindu-Budha, seperti peringatan hari ke-7, ke-40, dan ke-100 kematian seseorang.

Semangat yang menggebu kalangan pembaru serta kekukuhan ulama pesantren dalam mempertahankan tradisi kerap berada dalam posisi yang berhadap-hadapan. Ini menjadi awal konflik antara kaum "modernis" dan kaum "tradisionalis". Puncaknya, pada 1927, kalangan ulama pesantren Jawa mendirikan organisasi Nahdatul Ulama (NU). Terlepas dari argumentasi formal yang dikemukakan pendiri NU, para sarjana yang mengamati dinamika sejarah Islam Indonesia, menganggap kehadiran NU sebagai reaksi atas gerakan pembaruan, khususnya yang dilancarkan Muhammadiyah.

Proses selanjutnya mirip dengan proses dialektika. Setelah sekian lama terjebak pada kebiasaan saling "hantam", diam-diam di antara NU dan Muhammadiyah pun tercapai kesepakatan. Pertikaian tak perlu dilanjutkan. Kedua belah pihak mungkin sama-sama menyadari bahwa perbedaan antara mereka bukan dalam prinsip, melainkan hanya dalam "cabang" (furu'iyah). Karena itu, dalam masa revolusi fisik, pemimpin NU dan Muhammadiyah bahu-membahu dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan.

Sayang, proses politik pasca kemerdekaan kembali menyeret NU dan Muhammadiyah ke dalam hubungan yang tidak harmonis. Berbeda dengan persinggungan masa awal, ketegangan NU-Muhammdiyah kali lebih sering disebabkan "kecemburuan" elit politik kedua pihak. Di masa demokrasi parlementer, misalnya, hubungan mesra NU-Muhammadiyah berakhir ketika NU keluar dari Masyumi. Usut punya usut, alasannya tersiratnya, elit NU merasa sakit hati karena tokohnya hanya diberi tempat di Majelis Syuro Masyumi. Perlakuan ini diam-diam dianggap penghinaan tidak langsung. NU hanya dianggap mampu mengurusi agama, tapi masih perlu belajar dalam berpolitik.

Perseteruan politik pun berlangsung hingga zaman demokrasi terpimpin. Tatkala Soekarno mempermainkan "poros" Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme) untuk mengimbangi lawan-lawan poltiknya, elit NU bersedia untuk mewakili unsur agamanya. Sebaliknya, elemen Muhammadiyah dalam Masyumi dengan tegas menentang ide Nasakom. Di era Orde Baru, sikap keras sejumlah tokoh Islam telah melemparkan NU dan Muhammdiyah ke luar lingkaran kekuasaan. Pada masa ini, Islam politik menjadi kekuatan politik kedua--setelah komunisme--yang di-black list Orde Baru.

Bersamaan dengan keterpinggiran secara politik, gerakan pemikiran Islam pun lagi-lagi mengalami kemandekan. Pada masa krisis inilah tampil pemikir-pemikir muda Islam. Yang menonjol antara lain Abdurrahman Wahid, Amien Rais, Nurcholis Madjid, dan Jalaluddin Rakhmat. Dengan gayanya masing-masing, mereka kembali menyerukan pentingya pembaruan pemikiran Islam. Dalam tradisi keagamaan, mereka pun sampai pada prinsip yang cukup arif tapi progresif: "Memelihara tradisi lama yang baik; mengambil hal baru yang lebih baik". Mungkin karena prinsipnya inilah, para pengamat asing menyebut generasi ini sebagai kaum "neo-modernis".

Memasuki awal 1990-an, pragmatisme politik Orde Baru sempat mengubah arah angin politik. Dengan menggunakan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia) dan Habibie sebagai brokernya, Soeharto mencoba mendulang dukungan politik dari kalangan Islam. Tapi, itu pun baru mengakomodasi kalangan "Islam kota": kalau bukan modernis, ya neo-modernis. Sedangkan kalangan Islam tradisonalis--kalangan pesantren NU--tidak juga diberi tempat.

Era reformasi seolah memberi peluang semua kekuatan politik (termasuk Islam modernis dan tradisionalis) untuk berlaga. Perhelatan Pemilu 1999 pun telah menaikan Gus Dur dan Amien Rais ke puncak piramida kekuasaan. Sayangnya, belum genap satu tahun, "kemesraan" di tingkat elit mulai berlalu. Mereka kembali mempertontonkan dagelan yang tak sedap dipandang mata. Mereka saling gertak akan saling "menjewer". Yang mengkhawatirkan , jika "adu jewer" di tingkat elit ini sampai diterjemahkan sebagai himbauan "adu-jotos" di tingkat massa. Terlebih lagi kalau adu jotosnya antara massa NU dan massa Muhammadiyah. Itu hanya akan menorehkan sejarah kebangasaan dan "keagamaan" yang sangat memalukan. Semoga saja tidak! (Jajang Jamaludin/dari berbagai sumber)

Picture: Presiden Abdurrahman Wahid tampak bercakap-cakap denga Ketua MPR RI Amien Rais pada pembukaan Muktamar Muhamddiyah ke-44 di Stadion Utama Senayan , Sabtu 8 Juli 2000. (Foto: Dita Alangkara/AP)

http://www.tempo.co.id/harian/fokus/31/2,1,4,id.html

No comments:

Post a Comment