Priyantono Oemar
Di Keluwesan Sang Pencerah , saya sengaja menutup tulisan dengan ''penebusan dosa'' Sultan berupa sokongan dana dan tanah untuk Muhammadiyah. Ini ada kaitannya dengan pernyataan Sultan di prolog Sang Pencerah : Sultan mendorong Ahmad Dahlan untuk membuat organisasi di bidang agama, yang serupa dengan Boedi Oetomo.
Pada 1904 itu, kita bisa mengembangkan imajinasi bahwa Kalifatullah Panatagama itu telah gusar dengan ''dampak'' dari izin yang ia berikan kepada para misionaris. Bangsawan-bangsawan Pakualaman semakin banyak yang masuk Katolik. Pastur Franz van Lith -yang kemudian diajak dialog oleh Dahlan memberikan kontribusi terhadap meningkatnya jumlah pemeluk Katolik di Pakualaman.
Ketika RM Sudarto pada 1900 ditolak masuk Europeesche Lagere School (ELS), van Lith-lah yang menyalurkan cucu ke-7 Pakualam III dari Pangeran Sasraningrat itu masuk ke sekolah Katolik. Berikutnya, empat adik RM Sudarto juga disalurkan van Lith ke sekolah-sekolah Katolik, baik di Yogyakarta maupun di Muntilan. Kelimanya kemudian dikenal sebagai tokoh-tokoh Katolik. (BS Dewantara, Nyi Hajar Dewantara , hlm 38-40).
Sejak 1904, Lith menekuni dunia pendidikan dan mendirikan sekolah guru di Muntilan. ''Anak laki-laki yang masuk sekolah ini semuanya Muslim. Mereka semua tamat sebagai orang Katolik.'' (Karel Steenbrink, Orang-orang Katolik di Indonesia Jilid 1 , hlm 384).
Tentu saja, Muhammadiyah tak memerlukan posisi tawar untuk mendapatkan bantuan Sultan, karena Sultanlah yang mendorong pendiriannya. Maka, jika Akmal mengembangkan narasi tentang ''penebusan dosa'' ini di Sang Pencerah , tentu saja masih bisa dimaklumi, kendati realisasi bantuan dana dan tanah itu terjadi setelah 1912.
Jika Akmal mau memperdalam narasi ''penebusan dosa'' Sultan ini, ia bisa menggali lebih dalam kondisi psikologis Dahlan. Dahlan yang abdi dalem Keraton mencoba memperbarui praktik keagamaan dan kemudian tetap harus taat pada tradisi Jawa, telah memiliki konflik psikologis saat harus "protes" kepada Sultan. Ia memilih berbicara dengan Sultan di kamar gelap, demi tidak menatap langsung muka Sultan. Dan, kemudian kondisi psikologis seperti apa yang dimiliki Dahlan ketika harus berhadapan dengan Sultan untuk membahas semakin banyaknya pemeluk Kristen di pusat kekuasaan?
Akmal menolak memasukkan ''penebusan dosa'' ini ke Sang Pencerah , karena peristiwanya setelah Muhammadiyah berdiri. Tapi, dialog-dialog antaragama yang kejadiannya jauh di atas tahun 1912 justru menjadi kisah tersendiri di Sang Pencerah . Saya memilih mengomentari rangkaian peristiwanya, karena untuk spirit toleransi Dahlan dari peristiwa dialog itu sudah gamblang dalam Sang Pencerah .
Rencana dialog dengan Dr Samuel Marinus Zwemer (bukan Zwijner) sebenarnya terjadi 10 tahun setelah Muhammadiyah berdiri. Misionaris Yahudi-Amerika yang bertugas di Asia itu sangat pedas mengecam Islam. Ia berkunjung ke Jawa pada 1922.
Dengan Pendeta D Bakker, Dahlan memiliki jadwal dialog bulanan. Bakker bertugas di Kebumen mulai 1900 dan pernah mencoba masuk ke komunitas Sadrach, tapi ditolak (Th Sumartana, Mission at the Crossroads , 1991). Di setiap dialog, menurut Herman L Beck ( www.kitlv-journals.nl ), Bakker didampingi Offringa dokter ini mulai bertugas di Yogyakarta pada 1912.
Untuk dialog dengan van Lith, sangat janggal jika dikatakan dialog tak berlanjut di waktu-waktu berikutnya karena van Lith meninggal. Lith meninggal pada 9 Januari 1926, Dahlan wafat pada 23 Februari 1923. Apa mungkin arwah Dahlan yang berdialog dengan Lith? Jika ternyata dialog itu terhenti karena Dahlan keburu wafat, berarti dialog dilakukan di periode 1920-an.
Dialog dengan Hendrikus van Driesche (bukan van Driesse) juga dilakukan di akhir dekade 1910-an. Nama van Driesse -lihat ejaannya-- hanya saya dapati di buku Muhammadiyah Setengah Abad: Makin Lama Makin Tjinta (1912-1962) , buku yang juga menyebut van Lith meninggal sebelum dialog dengan Dahlan membuahkan hasil.
Driesche resmi bertugas di Yogya sejak Maret 1919. Tapi, pada 1917 ia sudah ditugasi mendekati para bangsawan Yogya untuk rencana pembangunan sekolah Katolik di Yogya. Kepada para bangsawan, ia menyatakan sekolah ini akan netral. Tapi, setelah sekolah berjalan, di tahun kedua, separuh siswanya (dari 200 siswa) mengikuti pelajaran katekismus. (Abdurrachman Surjomihardjo, Kota Yogyakarta Tempoe Doeloe, Sejarah Sosial 1880-1930 , 2008).
Riset yang lemah
Dengan riset yang kurang memadai, Akmal keliru dalam membangun narasi. Untuk kasus sadrach misalnya, andai Akmal memegang data penginjil Wilhelm, tentu ia akan membisiki Kiai Noor dengan data ini. Akmal boleh saja tidak mempercayai Wilhelm -satu-satunya penginjil Belanda yang diterima di komunitas Sadrach sebagai guru hingga 1890-91 (di tahun ini pengikut Sadrach mencapai lebih dari 9.000 orang). Tapi, dengan data itu, maka Kiai Noor tentu akan lebih memilih mengkhawatirkan banyaknya Muslim Yogyakarta yang masuk Kristen (lebih dari seribu orang pengikut Sadrach pada 1889), ketimbang jauh-jauh menunjuk ke Jawa Timur. Salah pula.
Jumlah pengikut Sadrach di pusat kekuasaan itu sudah layak dirisaukan, apalagi Yogya yang berpenduduk 651.123 orang hanya memiliki 485 haji dan 187 guru agama. Ini tentu layak masuk rangkaian peristiwa di Sang Pencerah .
Saya tak meragukan data Ricklefs. Saya mengatakan "tidak tepat" bukan untuk data Ricklefs, melainkan penggunaannya untuk menggambarkan situasi di tahun yang berbeda dan untuk penyebutan sebagian besar pengikut Sadrach ada di Jawa Timur. Ricklefs tak menyebut satu kata pun soal itu.
Kalimat Ricklefs Antara tahun 1855 dan 1963, anggota pribumi gereja-gereja di Jawa Timur yang dibaptis dari 2.000 menjadi 60.000 orang, sebuah angka pertumbuhan yang lebih besar dibanding dengan pertumbuhan penduduk bukanlah kalimat untuk menjelaskan kerja Sadrach. Akmal lewat email menyatakan, ''Tahun 1855 itu usia Kiai Sadrach sudah 20-an tahun, dan masuk akal jika semangatnya untuk melakukan pembaptisan terhadap pribumi sedang bergelora.''
Pada 1855, Sadrach baru berkenalan dengan JE Jellesma (penginjil di Mojowarno), saat ia nyantri di Jombang. Ia baru terbujuk masuk Kristen atas pengaruh Hoezoo, penginjil Semarang yang pindah ke Mojowarno pada 1860. Sadrach dibaptis pada 1867 dan wafat pada 1924.
Saya menduga Ricklefs mengutip Philip van Akkeren (buku Akkeren yang disebut di buku Ricklefs, adalah terbitan 1970). Dalam buku Sri and Crist (koleksi saya terbitan 1969), Akkeren menampilkan tabel pertumbuhan pemeluk Kristen/Katolik di Jawa Timur yang meningkat 2.900 persen pada 1960 (58 ribu orang, sebanyak 36 ribu di antaranya memeluk Katolik) dari situasi 1855 (2.000 orang). Sementara, pertumbuhan penduduk Jawa Timur kurun 1860-1960 terlihat "hanya" 500 persen (dari 12,7 juta menjadi 63,5 juta).
Dengan mengutip Dr Nathan Uglow dari Universitas Leeds, Inggris, Akmal justru memberitahu adanya kelemahan di Sang Pencerah . Nathan menegaskan bahwa selain menggabungkan alur cerita dramatik yang kuat dan kondisi psikologis kemanusiaan yang meyakinkan, novel sejarah juga didasari riset yang mendalam terhadap rangkaian kejadian, lokasi, karakter. Akmal tak melakukan riset secara mendalam terhadap rangkaian peristiwa.
Saya sengaja tak membahas sisi alur cerita dan kondisi psikologis sang tokoh, karena justru mengikuti Akmal yang sangat peduli pada data dan fakta peristiwa. Ia sudah memulainya sejak prolog. Riset jauh lebih penting, karena ia akan menghasilkan perspektif literer yang tepat.
Tentu saja, saya tak hendak menganggap Sang Pencerah sebagai buku sejarah. Karena itu, di Keluwesan Sang Pencerah saya tak mempermasalahkan fiktif-tidaknya tokoh maupun dialog-dialognya, kendati warga Muhammadiyah berharap yang dikisahkan adalah yang sesuai kenyatan. Maka, ketika "riset mendalam'' -salah satunya tentang rangkaian peristiwa dialog antaragama gagal menghadirkan akurasi rangkaian peristiwanya, saya mencoba membahasnya.
Catatan kaki
Di bagian-bagian tertentu ia juga memberi catatan kaki. Dalam hal kecil, tentang lagu Ilir-ilir misalnya, Akmal perlu memberi catatan kaki soal adanya klaim dua pencipta lagu itu. Tapi, untuk kasus tahun kapan Dahlan naik haji pertama, ia tak memberikan catatan kaki. Akmal memilih menampik Dahlan naik haji pertama pada 1890. Alat kontrolnya, kata dia, pada 1890 anak pertama Dahlan lahir, sehingga tak mungkin Dahlan berada di Makkah.
Tapi, bisa saja lain kisahnya jika Akmal memilih Dahlan berhaji pertama seusai menikah seperti yang dinyatakan sumber-sumber lain. Dan, itu bukannya tidak mungkin. Jangan lupa, kebiasaan di Jawa saat itu: Orang yang akan bepergian jauh dan lama justru dinikahkan terlebih dulu. Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) juga mengalami itu, sebelum ia melanjutkan belajar ke Batavia. Karena ia masih remaja, statusnya masih nikah gantung (tak boleh bercampur suami-istri sebelum ia lulus dari STOVIA).
Tapi, sudahlah, mungkin lebih tepat jika tulisan saya muncul sebelum Sang Pencerah masuk ke penerbit. Apa boleh dikata, Sang Pencerah sudah diedarkan dan menjadi hak pembaca untuk menilainya. (-)
No comments:
Post a Comment