Senin, 11 Januari 2010 13:35
Membaca sepintas tentang judul dalam tulisan ini mungkin terkesan aneh. Gus Dur yang dalam hal ini adalah KH.Abdurrahman Wahid dijajarkan dengan Muhammadiyah. Bukankah semestinya Gus Dur lebih tepat diperbincangkan dengan NU atau Nahdlatul Ulama’. Bukankah Gus Dur dan Muhammadiyah sudah jelas adalah dua identitas yang jelas-jelas berbeda.
Perbincangan tentang Gus Dur dan NU, terasa sudah biasa. Gus Dur tidak akan bisa dipisahkan dari NU. Gus Dur adalah cucu pendiri NU, semua orang sudah mafhum. Gus Dur pernah menjadi Ketua PB NU sejak tahun 1984, terpilih dalam Muktamar di Situbondo, dan baru setelahnya digantikan oleh KH Hasyim Muzadi hingga sekarang. Selain itu, Gus Dur adalah pendiri PKB, partai politik kaum Nahdiyin. Itu semua menjadikan antara NU dan Gus Dur tidak bisa dipisahkan.
Akan tetapi ada apa perbincangan antara Gus Dur dengan Muhammadiyah. Apakah tulisan ini akan mengarah pada perbincangan tentang Gus Dur tatkala menjadi presiden adalah didukung oleh poros tengah yang ketika itu dimotori oleh Amien Rais, yang kebetulan ia sebagai tokoh Muhammadiyah. Tentu bukan itu. Perbincangan singkat ini, mengajak untuk melihat, adakah kesamaan antara Gus Dur dan Muhammadiyah.
Saya selama ini melihat antara keduanya, ------entah disetujui atau tidak, memiliki persamaan, yaitu sama-sama dipandang sebagai gerakan pembaharuan di Indonesaia. Gus Dur, dengan berbagai pemikiran dan gerakan sosialnya, sekalipun tidak mengeklaim sebagai pembaharu, oleh berbagai kalangan dianggap telah melakukan peran-peran perubahan yang sangat mendasar. Demikian pula Muhammadiiyah, secara eksplisit menyebut dirinya sebagai organisasi pembaharu.
Selanjutnya, kalau kedua-duanya benar, disebut sama-sama sebagai pembaharu, atau katakanlah sebagai kekuatan pengubah, lalu adakah perbedaan di antara keduanya. Jika hal itu memang ada perbedaan, maka perbedaan itu berada pada wilayah mana ? Pertanyaan ini rasanya penting untuk dicarikan jawabnya. Sementara ini, saya melihat demikian, keduanya adalah sebagai pembaru, namun pendekatan yang digunakan di antara keduanya tampak amat berbeda.
Muhammadiyah yang dirintis oleh KH.Achmad Dahlan, dalam melakukan pembaharuan dengan mendirikan organisasi. Berbagai aspek keagamaan disentuh sebagai bagian dari wilayah pembaharuannya itu. Dengan sentuhan-sentuhan itu, ada beberapa aspek yang terasa berbeda dengan sebelumnya. Sehingga siapapun bisa membedakan antara NU dan Muhammadiyah. Katakanlah misalnya, orang NU dalam sholat subuh menggunakan doa kunut, sedangkan Muhammadiyah tidak. NU dalam sholat jumát menggunakan dua adzan, sedangkan Muhammadiyah hanya satu adzan saja. Jamaáh NU sholat Id di masjid, sedangkan Muhammadiyah di lapangan.
Perbedaan itu sesungguhnya sederhana saja. Bahkan akhir-akhir ini sudah semakin saling mendekat atau berbaur, setidak-tidaknya perbedaan itu semakin tidak dihiraukan. Tampak misalnya, orang NU sholat berjamaáh dengan orang Muhammadiyah, siapapun yang menjadi imam dianggap syah. Tidak sedikit orang NU sholat tarweh hanya delapan rokaát sebagaimana orang Muhammadiyah melakukannya. Demikian pula orang Muhammadiyah khutbah sholat Id di masjid, dan begitu juga sebaliknya. Hal itu sudah banyak terjadi, dan tidak dianggap sebagai sesuatu yang ganjil atau aneh. Namun dulu, diakui atau tidak, gerakan Muhammadiyah menghadapi resistensi luar biasa besarnya.
Hal itu sangat berbeda dengan pembaharuan yang dilakukan oleh Gus Dur. Sekalipun resistensi itu ada, tawaran-tawaran pembaharuan yang dilakukan oleh Gus Dur tidak sampai melahirkan perasaan khawatir atau ketakutan, kecuali beberapa pihak saja. Jika ada tokoh yang tidak menyetujui pandangan Gus Dur, paling banter, mereka hanya diam. Tokoh yang pernah menjadi Ketua PBNU dan juga pemrakarsa berdirinya PKB ini, sekalipun memiliki pikiran dan pandangan yang sangat berbeda, tetapi masih tetap diterima sebagai pimpinannya. Perubahan yang ditawarkan oleh Gus Dur tidak ada resistensi, kecuali beberapa yang tidak terlalu berpengaruh.
Kalau benar demikian, maka pertanyaannya adalah apa yang berbeda antara Gus Dur dan Muhammadiyah, jika kedua-duanya disepakati sebagai kekuatan pembaharu. Sepintas saya melihat perbedaan itu terletak pada pendekatan yang dilakukannya. Muhammadiyah dengan pembaharuannya melahirkan identitas baru, yang berbeda dari kelompok lainnya. Munculnya Muhammadiyah melahirkan, misalnya sekolah Muhammadiyah, masjid Muhammadiyah, ritual orang-orang Muhammadiyah, dan bahkan juga baju seragam Muhammadiyah dan sebagainya. Perbedaan itu kemudian melahirkan jarak. Dan dengan jarak itu, tidak jarang memunculkan perasaan berbeda, identitas berbeda, dan bahkan kemudian melahirkan kompetisi atau juga konflik. Satu sama lain, menjadi merasa tersaingi atau terganggu.
Sementara saya lihat Gus Dur, juga melakukan pembaharuan, tetapi tidak memunculkan identitas baru. Gus Dur dalam melakukan pembaharuan di tubuh NU, orang-orang NU di berbagai tingkatannya tidak pernah merasa diubah. Hal itu karena Gus Dur tidak pernah melakukan perubahan pada tingkatan identitas atau symbol-simbol. Orang-orang NU tetap saja memakai sarung dan kopyah, sholat Id di masjid, sholat tarweh 20 rokaát, dan tetap saja tahlil, talkin, dan juga ziarah kubur. Hal-hal seperti itu, oleh Gus Dur tidak pernah disentuh, melainkan tetap dijalankan sebagaimana sedia kala.
Namun jangan dikira Gus Dur tidak melakukan perubahan. Dengan berbagai langkah strategisnya, Gus Dur telah melakukan perubahan di kalangan NU sedemikian dahsyat. Perubahan itu, saya lihat terletak bukan pada wilayah-wilayah identitas yang bersifat simbolik, melainkan pada wilayah yang lebih dalam, yaitu tentang pandangan dan pemikiran, tidak terkecuali pemikiran tentang keagamaan. Jika kita mau melihat secara jeli, pemikiran-pemikiran anak muda NU, termasuk dalam pemikiran keagamaan, melalui Gus Dur menjadi terbuka luar biasa. Akan tetapi, perubahan itu seolah-olah tidak dirasakan oleh orang-orang NU sendiri.
Saya tidak bisa membayangkan, apa yang akan terjadi pada diri Gus Dur, andaikan ia dalam melakukan perubahan hanya menyentuh aspek luar yang bersifat simbolik itu, misalnya mendirikan organisasi baru sebagai tandingan NU. Gus Dur bisa jadi, akan dianggap sebagai lawan, atau setidaknya kompetitor dari kekuatan yang telah ada, yaitu NU. Gus Dur tidak melakukan itu. Akan tetapi, Gus Dur tetap memposisikan diri sebagai bagian dari NU, bahkan memimpin organisasi besar itu. Melalui posisinya itu, Gus Dur menawarkan ide-ide, pemikiran, dan pandangan baru, dan ternyata diterimanya.
Memang ada sementara tokoh atau kyai yang risau dengan pemikiran yang ditawarkan olehnya, tetapi kerisauan itu tidak sampai menganggap bahwa Gus Dur bukan sebagai bagiannya. Cucu pendiri NU ini, betapapun, -------apalagi berposisi sebagai Ketua PBNU, dianggap sebagai anutan dan bahkan sosok pemimpin yang harus diikuti dan dicintai. Bahkan Gus Dur semakin dicintai oleh semua, setelah ia meninggalkan NU untuk selama-lamanya, wafat . Gus Dur dengan pendekatannya itu ternyata berhasil melakukan perubahan pada tingkat pemikiran dan berbagai pandangan di tubuh NU secara luar biasa.
Melalui fenomena itu saya melihat, antara Gus Dur dan Muhammadiyah, keduanya telah melakukan perubahan, tetapi masing-masing menempuh pendekatan yang berbeda, dan ternyata hasilnya pun juga berbeda. Perubahan yang dilakukan oleh Muhammadiyah melahirkan perasaan dan kelompok yang berbeda. Sedangkan Gus Dur, dengan mengubah dari dalam, apalagi perubahan itu bukan berada pada wilayah simbolik, melainkan menyentuh aspek yang lebih dalam, -----berupa cara pandang, pemikiran, dan ide-ide tentang banyak hal, misalnya demokrasi, politik, social dan lain-lain, maka perubahan itu tetap terjadi dan bahkan dalam hal-hal tertentu lebih dahsyat, tanpa dirasakan. Gus Dur tetap dianggap sebagi bagiannya, dan bahkan harus dicintai dan selalu diikutinya. Wallahu a’lam.
http://www.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1278:gus-dur-dan-muhammadiyah&catid=25:artikel-rektor
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment