Akmal Nasery Basral
Sang Pencerah pertama-tama harus dibaca lebih dulu sebagai sebuah karya yang lahir dari rahim genre novel sejarah.
Dalam tulisan berjudul Keluwesan Sang Pencerah (Republika, 5/9/2010), Priyantono Oemar mengupas novel saya Sang Pencerah: Novelisasi Kehidupan Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Perjuangannya Mendirikan Muhammadiyah secara cukup analitis. Pada tulisan utama, data-data dalam novel itu dibandingkan Priyantono dengan data-data dari Muhammadiyah Jawa (Ahmad Najib Burhani) dan Tafsir Jawa Keteladanan Kiai Ahmad Dahlan (GRAy Koes Moertiyah dan HM Nasruddin Anshary Ch). Kebetulan ketiga karya di atas terbit bersamaan tahun ini.
Sementara pada sub tulisan (boks) berjudul "Menghalau Kristenisasi", Priyantono bahkan membandingkan dengan lebih banyak buku lagi seperti Sedjarah Geredja di Indonesia (Muller Kruger, 1959), Sejarah Pertemuan Kristen dan Islam di Indonesia (Jan S. Aritonang, 2005), dan masih banyak lagi. Kegairahan luar biasa Priyantono dalam mengupas akurasi peristiwa-peristiwa faktual dalam kehidupan Kiai Dahlan, seperti terlihat dalam buku-buku pembanding yang digunakan, membuat Priyantono melupakan satu fakta terpenting; bahwa Sang Pencerah adalah novel sejarah, bukan sebuah karya yang ditulis dengan pretensi untuk menjadi buku (non-fiksi) sejarah seperti buku-buku pembanding yang digunakannya.
Kondisi itu membuat Priyantono terpeleset lebih jauh dalam pengabaian kadar sastra novel Sang Pencerah, dan luput membandingkannya dengan karya-karya yang lebih cocok berada pada satu koridor literer, ambillah contoh, novel Jejak Sang Pencerah (Didik L Hariri) atau Tonggak Sang Pencerah (Yazid R Passandre), dua karya yang juga terbit tahun ini dan sama-sama memotret sosok Kiai Ahmad Dahlan dari bingkai novelisasi sejarah.
Jika Priyantono lebih cermat dalam membaca sub judul novel Sang Pencerah, dan menakar lebih dalam dari perspektif literer yang merupakan ibu kandung dari novel sejarah (selain akurasi peristiwa sejarahan yang menjadi bapak kandungnya), niscaya hasil pembacaan Priyantono tidak akan membuat Sang Pencerah sebagai novel sejarah terlihat sebagai anak piatu karena hanya menekankan pada satu orang tua saja.
Novel sejarah
Semangat Priyantono yang meluap-luap untuk "memvalidasi" dan "memverifikasi" banyak peristiwa penting dalam novel Sang Pencerah, dan membandingkannya dengan buku-buku non-fiksi yang tidak ditulis para penyusunnya dengan spirit fiksionalisasi bukan fiktifisasi sejarah, sama banalnya dengan menakar kualitas sebuah t-shirt dari tata nilai sebuah kemeja.
Sebab, kendati kedua busana itu, katakanlah, sama-sama terbuat dari katun, tentu saja ukuran keindahan estetika dan fungsional dari t-shirt dan kemeja tetap tak sama. Begitu juga dengan novel sejarah dengan buku (yang berpretensi menjadi acuan) sejarah. Tolok ukur yang digunakan harus ditapis secara lebih jernih.
Kritikus dan pengajar sastra Dr Nathan Uglow dari Universitas Leeds, Inggris, mendefinisikan novel sejarah (historical novel) sebagai "…sebuah genre kesusastraan yang ditandai usaha untuk menggabungkan alur penceritaan dramatik yang kuat dan kondisi psikologi kemanusiaan yang meyakinkan, dalam sebuah bingkai peristiwa atau tokoh yang spesifik. Biasanya didasari riset mendalam terhadap rangkaian kejadian, lokasi, karakter, seperti halnya adat tradisi yang saat itu berlaku, gaya busana, cara berpakaian, dan lain-lain." (The Literary Encyclopaedia, 2002).
Dalam ulasan Priyantono, hampir seluruh elemen yang disebutkan Uglow di atas luput dilakukan. Dalam soal pembongkaran mushala (Langgar Kidul) milik Kiai Dahlan umpamanya, Priyantono lebih tertarik untuk mengupas ihwal referensi pembongkaran itu dari buku apa, ketimbang menakar dari sudut pandang alur dramatik pengisahan dan turbulensi psikologi manusia, yang lebih merupakan ciri karya sastra. Dari sudut pandang literer, hasil pembacaan yang muncul bisa seperti ini: seperti apakah kiranya perasaan yang dialami seorang kiai, yang sepanjang hidupnya menyerukan inti ajaran bahwa "Allah itu Maha Besar (Allahu Akbar)" seperti dialalami Kiai Dahlan, tapi di depan matanya sendiri, segerombolan orang dengan menyebut asma yang sama, justru merobohkan rumah ibadah tempatnya menyebarkan ajaran agama?
Pilihan Priyantono untuk tidak memperlakukan Sang Pencerah dari cara pembacaan dekat (close reading) yang lebih bermuatan sastrawi, melainkan memperlakukan novel ini seperti secuplik objek telaah di bawah "mikroskop" buku-buku non-fiksi - yang sesungguhnya masih bisa diperdebatkan juga validitasnya membuat pembaca akan mendapatkan kesan bahwa peristiwa dan sosok sejarah hanya bisa dipahami dengan jalan tunggal: karya non-fiksi.
Padahal, meminjam sinyalemen kritikus sastra Nirwan Dewanto, "hanya dengan pembacaan dekat kita dapat mengenali sebuah puisi atau sebuah novel sebagai pengetahuan sekaligus sumber penciptaan baru" (Kalam edisi 22: "Sastra Bandingan").
Akurasi sejarah
Catatan kedua menyangkut tafsir sejarah yang bergelimpangan di sekujur tubuh tulisan Priyantono, terutama pada boks "Menghalau Kristenisasi". Pada baris terakhir alinea kedua tulisan itu, Priyantono menulis: Data 1890 ini dipakai Akmal untuk dialog di tahun 1888. Intinya, Priyantono ingin menunjukkan bahwa saya, sengaja atau tidak sengaja, melakukan kekeliruan dengan menempatkan data historis pada tahun yang salah.
Ini lagi-lagi menunjukkan cara pandang Priyantono yang terbelenggu dari akurasi sejarah semata, dan gagal untuk melihat dari cara pandang seorang novelis. Dalam paparan sebelumnya, Priyantono menulis: Kakak ipar Dahlan menyebut pengikut Sadrach lebih dari 5.000 orang. Disebutkan, sebagian besar pengikutnya berada di Jawa Timur - penyebutan ini tentu tidak tepat, karena keberhasilan di Jawa Timur adalah kerja keras Coolen beserta murid-murid Jawanya. Untuk bagian ini Akmal memakai referensi MC Ricklefs (Sejarah Indonesia Modern 1200-2004), yang menyebutkan data 1890 pengikut Sadrach hampir 7.000. Data 1890 ini dipakai Akmal untuk dialog di tahun 1888.
Inilah risiko terbesar pembacaan yang keluar dari pretensi karya yang sedang ditelaah, yang membuat Priyantono terpeleset pada tiga kesalahan sekaligus. Pertama, bahwa yang berbicara di dalam dialog itu bukan Akmal Nasery Basral sang penulis (seperti dalam buku-buku non-fiksi), melainkan Kiai Noor, kakak ipar Kiai Dahlan, yang juga seorang saudagar batik, dan karena itu banyak melakukan perjalanan ke luar Kauman, sehingga tahu (paling tidak pernah mendengar) adanya kristenisasi terhadap bangsawan Pakualaman pada 1887.
Kedua, dengan pengetahuan Kiai Noor, yang tidak terdidik sebagai akademisi untuk mencatat detil rincian akurasi data, maka sinyalemen Kiai Noor bahwa "pada 1888 sudah lebih dari 5.000 orang dikristenkan" (sementara data historis versi Ricklefs pada 1890, tercatat hampir 7.000 orang), justru sebuah pernyataan yang bisa dipertanggungjawabkan silogismenya yakni karena di tahun 1890 sudah ada hampir 7.000 orang yang berpindah keyakinan, maka di tahun 1888 besar kemungkinan "sudah lebih dari 5.000 orang."
Ketiga, dan menurut saya kesilapan Priyantono yang paling fatal, adalah meski saya sudah menyebut rujukan karya legendaris Prof MC Ricklefs Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (Serambi, 2005 dari versi Inggris A History of Modern Indonesia since c. 1200, Stanford University Press, 1993), sebagai sumber "ucapan" Kiai Noor pada bagian ini, penilaian Priyantono bahwa "penyebutan ini tentu tidak tepat" adalah statemen yang justru harus dibuktikan terhadap karya ilmiah Ricklefs, sejarawan dari Universitas Cornell yang berulangkali menerbitkan karya ilmiah dengan subyek sejarah Mataram, Kartasura, dan Yogyakarta.
Tentu saja Priyantono berhak meragukan klaim Ricklefs di atas, dan membandingkan dengan sumber lain, dalam hal ini penginjil Muller Kruger (1959). Tapi, penyebutan "tentu tidak tepat" terhadap hasil studi seorang sejarawan profesional seperti Ricklefs hanya dari satu buku lain yang masih perlu diteliti juga validitasnya, bukanlah hal yang "sudah pasti tepat" dari elan kesejarahan.
Begitu juga dengan kronologi dialog dan perdebatan terbuka (open baar) antara Kiai Dahlan dengan sejumlah pendeta dan pastur Kristen, serta tulisan (dokumentasi) rencana debat antara Kiai Dahlan dengan Dr Zwijner yang ditulis oleh Ki Hajar Dewantara di harian Darmo Kondo.
Priyantono tampaknya gagal melihat esensi seluruh rangkaian proses itu sesungguhnya bukan pada tahun-tahun terjadinya dialog atau perdebatan, melainkan pada keinginan melakukan dialog yang ditunjukkan Kiai Dahlan dalam menghadapi dialog antariman, satu hal yang jarang dilakukan kiai lain pada waktu itu. Di sini, lagi-lagi bingkai pandang pembacaan dekat (close reading) dibutuhkan untuk bisa menakar kelindan alur, dan apa peran episode itu bagi seluruh struktur pengisahan.
Di bagian akhir "Menghalau Kristenisasi", Priyantono menulis: "Sultan menebus dosa dengan mendukung penuh pendirian Muhammadiyah. Sultan memberi uang dan tanah untuk sekolah-sekolah Muhammadiyah demi tujuan menahan Kristenisasi dan pengaruh budaya Barat di Jawa (Muhammadiyah Jawa, hlm 69).
Pada bagian ini, Priyantono yang sebelumnya ingin menunjukkan adanya konsistensi pada tahun-tahun peristiwa akhirnya terjebak sendiri dalam setting waktu yang sudah sangat jelas pada novel Sang Pencerah: Bahwa novel ini berakhir pada saat Muhammadiyah resmi berdiri. Novel Sang Pencerah belum mengancik saat Muhammadiyah mulai beroperasi sebagai sebuah mesin organisasi yang mempunyai daya tawar dengan kekuasaan, termasuk dengan mendapatkan berbagai kompensasi dari Sri Sultan.
Di sinilah pentingnya mengapa Sang Pencerah pertama-tama harus dibaca lebih dulu sebagai sebuah karya yang lahir dari rahim genre novel sejarah, dan tidak dipandang sebagai sejarah an sich yang harus diverifikasi seluruh data yang diungkapkan dari paradigma sejarawan belaka. Setelah itu, barulah Sang Pencerah, bersama novel-novel sejarah tentang Kiai Dahlan lainnya, bisa ditakar kontribusinya bagi pemahaman yang lebih memadai terhadap sosok kharismatis ini.
Sunday, September 26, 2010
Perlunya Keluwesan Menakar Novel Sejarah
Republika, Minggu, 26 September 2010 pukul 10:36:00
Labels:
Book Review
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment