Wednesday, September 1, 2010

Djarnawi Hadikusumo

Dirilis oleh Kantor Yogyakarta
Saturday, 23 October 2004
DJARNAWI HADIKUSUMO
( 4 Juli 1920 - 26 Oktober 1993)

A. Latar Belakang Keluarga dan Pendidikannya
Djarnawi Hadikusumo dilahirkan pada hari Ahad, tanggal 4 Juli 1920 di Kampung Kauman, Yogyakarta. Nama kecilnya adalah Djarnawi. Setelah dewasa, di belakang namanya ditambah dengan nama Hadikusumo. Selanjutnya, untuk mengetahui latar belakang keluarganya dapat ditelusuri dari nama belakangnya tersebut.

Nama Hadikusumo adalah nama seorang tokoh Muhammadiyah yang juga murid dari K.H. Ahmad Dahlan. Di dalam Muhammadiyah, nama Hadikusumo lebih dikenal dengan sebutan Ki Bagus Hadikusumo. Dia adalah ayah dari Djarnawi. Adapun ibu dari Djarnawi adalah Siti Fatimah/Fatmah.

Apabila dirunut silsilahnya, dari garis keturunan ayahnya, Djarnawi berasal dari keturunan keluarga Raden Kaji Lurah Hasyim, yaitu seorang abdi dalem santri yang menjabat sebagai lurah bidang keagamaan di keraton Yogyakarta pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VII. Sementara dari garis ibunya, dia termasuk keturunan Raden Kaji Suhud yang juga seorang abdi dalem santri keraton Yogyakarta. Dengan latar belakang seperti itu, berarti Djarnawi berasal dari lingkungan keluarga yang berkultur abdi dalem dan santri. Hanya saja, pada perkembangannya kemudian dia lebih tumbuh menjadi seorang santri yang taat dan ulama yang disegani dari pada menjadi seorang abdi dalem.

Pada dasarnya, Djarnawi lahir dari keluarga yang berkecukupan. Hanya saja, atas permintaan salah seorang kerabat ayahnya yang bernama Ibu Sodik, Djarnawi diminta untuk diasuhnya. Selama satu tahun, dia diasuh oleh Ibu Sodik yang sampai usia senja belum dikaruniai keturunan. Oleh karena itu Ibu Sodik sudah lanjut usia dan sering sakit, maka Djarnawi dikembalikan kepada orang tuanya. Tidak lama setelah kembali ke pangkuan orang tuanya, ibunya wafat. Untuk mengasuh anak-anaknya yang masih kecil, Ki Bagus kemudian menikah lagi dengan Ibu Moersilah. Untuk selanjutnya, di bawah pengasuhan Ibu Moersilah itulah Djarnawi menapak masa remaja dan dewasanya.

Sementara itu, latar belakang pendidikan yang dialami Djarnawi sangatlah sederhana. Pendidikan formal yang mula-mula ditempuhnya adalah di sekolah Bustanul Athfal Muhammadiyah di Kauman. Selanjutnya, secara berturut-turut dia meneruskan ke jenjang berikutnya, yaitu ke Standaardschool Muhammadiyah dan Kweekschool Muhammadiyah. Pada tahun 1935 Kweekschool Muhammadiyah diubah menjadi Madrasah Mu`allimin Muhammadiyah. Di Madsasah Mu`allimin Muhammadiyah itulah tempat terakhir pendidikan formal Djarnawi Hadikusumo.

Dari uraian di atas tampak bahwa latar belakang pendidikan Djarnawi semuanya berada di lembaga pendidikan Muhammadiyah. Demikian pula guru-guru yang pernah membimbingnya sebagian besar adalah tokoh dan ulama Muhammadiyah, seperti K.H. Mas Mansur, K.H. Faried Ma`ruf, K.H. Abdul Kahar Mudzakir, Siradj Dahlan dan H. Rasyidi. Selain itu, ketika bertugas di Sumatera, dia juga sempat berguru kepada Buya Hamka dan Buya Zainal Arifin Abbas.

B. Aktivitas Djarnawi di dalam Muhammadiyah
Gerakan Muhammadiyah bagi Djarnawi bukanlah sesuatu yang asing lagi. Sejak masih usia kanak-kanak, dia sudah begitu akrab dengan lingkungan dan kultur Muhammadiyah. Apalagi keluarganya adalah keluarga aktivis gerakan Muhammadiyah. Selain itu, semua pendidikan formalnya dia tempuh di lembaga pendidikan Muhammadiyah. Dengan demikian, hubungan Djarnawi dengan gerakan Muhammadiyah sangatlah dekat yang kemudian dapat diketahui dari bebarapa aktivitasnya setelah dewasa.

Aktivitas Djarnawi di dalam gerakan Muhammadiyah mulai dijalankan sejak dia lulus dari Madrasah Mu`allimin Muhammadiyah Yogyakarta sebagai tempat penggodokan kader-kader guru dan juru dakwah Muhammadiyah. Pada saat itu, tepatnya tahun 1937 setelah lulus dari Madrasah Mu`allimin Muhammadiyah dia diberi tugas HB. Muhammadiyah (Pimpinan Pusat Muhammadiyah) untuk menjadi guru agama Islam dan juru dakwah pada sekolah Muhammadiyah di daerah Perkebunan Merbau, Medan (Sumatera Utara). Setelah itu, pada tahun 1938 sampai tahun 1942 dia dipercaya menjadi kepala sekolah Muhammadiyah di Medan. Selanjutnya, sejak tahun 1944 sampai 1949 dia dipercaya untuk menjadi kepala sekolah di sekolah Muhammadiyah Tebingtinggi, hingga September 1949, kemudian Djarnawi pulang ke Yogyakarta.

Selain aktif di lembaga pendidikan Muhammadiyah, Djarnawi juga tercatat sebagai seorang aktivis organisasi Muhammadiyah sebagai seorang pengurus. Untuk aktivitasnya itu, Djarnawi juga memulainya ketika masih di Merbau. Pada saat itu, dia aktif sebagai pengurus grup (ranting) Muhammadiyah Merbau. Ketika pindah ke Tebingtinggi, dia aktif di Muhammadiyah Cabang Tebingtinggi. Aktivitas Djarnawi di organisasi Muhammadiyah meningkat setelah dia pulang ke Yogyakarta pada tahun 1949. Saat itu dia mulai tercatat sebagai salah seorang anggota Majlis Tablig Pengurus Pusat Muhammadiyah hingga tahun 1962.

Selanjutnya, pada tahun 1962 Muhammadiyah menyelenggarakan Muktamar ke-35 di Jakarta. Dalam Muktamar tersebut dia terpilih sebagai sekretaris II Pengururs Pusat Muhammadiyah. Sesudah itu, pada Muktamar Muhammadiyah yang ke-36 di Bandung tahun 1967 dia terpilih sebagai ketua III Pengurus Pusat Muhammadiyah. Untuk pereode-pereode berikutnya, dia diangkat menjadi sekretaris PP. Muhammadiyah berdasarkan hasil Muktamar Muhammadiyah ke-40 di Surabaya tahun 1978. Kemudian sebagai wakil Ketua PP Muhammadiyah berdasarkan hasil Muktamar Muhammadiyah ke-41 di Surakarta tahun 1985 dan sebagai anggota PP. Muhammadiyah dengan mengetuai bidang Tajdid dan Tablig yang mengkoordinasi Majlis Tarjih, Tablig, Pustaka serta Lembaga Dakwah Khusus berdasarkan hasil Muktamar Muhammadiyah ke-42 di Yogyakarta tahun 1990.

Aktivitas lainnya di dalam organisasi Muhammadiyah juga tampak di lembaga Perguruan Pencak Silat Tapak Suci Putera Muhammadiyah (Lembaga Tapak Suci). Di lembaga ini nama Djarnawi tercatat sebagai salah seorang tokoh utama ketika didirikan pada tanggal 31 Juli 1963. Saat itu, dialah tokoh yang merumuskan do`a dan ikrar perguruan Tapak Suci pada upacara peresmiannya. Di dalam kepengurusan lembaga Tapak Suci yang pertama, nama Djarnawi diposisikan sebagai pelindung. Selanjutnya, sejak tahun 1966 sampai 1991 dia dipilih sebagai Ketua Umum lembaga perguruan pencak silat milik Muhammadiyah itu.

Dipercayanya Djarnawi untuk menduduki posisi Ketua Umum itu karena dia dipandang sebagai seorang tokoh yang mumpuni, baik di bidang keagamaan, kepemimpinan maupun bidang beladiri. Untuk bidang yang pertama dan kedua telah dia buktikan melalui aktivitasnya sebagai pengurus Muhammadiyah. Sementara untuk bidang yang terakhir, dia dikenal sebagai salah seorang pendekar besar Yogyakarta. Di kalangan para pendekar perguruan Tapak Suci, dialah tokoh yang menciptakan delapan jurus utama perguruan tersebut. Selanjutnya delapan jurus itu dapat dikembangkan menjadi puluhan dan bahkan ratusan jurus spektakuler. Kepandaian Djarnawi dalam hal ilmu bela diri pencak silat tersebut dipelajarinya semasa mudanya di Kampung Kauman. Selain itu, ketika bermukim di Sumatera dia sempat berguru ilmu silat kepada Sutan Chaniago dan Sutan Makmun, dua orang pendekar besar di Wilayah Sumatera utara.

Sosok Djarnawi sesungguhnya adalah sosok seorang aktivis gerakan Muhammadiyah, baik dilihat dari latar belakang keluarga, pendidikan dan lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, dalam berkiprah di Muhammadiyah pun tidak tanggung-tanggung. Dia tidak hanya menfokuskan kiprahnya pada aktivitas secara praktis saja, tapi juga berusaha menyumbangkan ide-ide dan pemikirannya untuk membesarkan Muhammadiyah. Kiprah Djarnawi melalui pemikiran-pemikirannya tersebut mulai muncul sejak dia duduk di dalam Kepengurusan Pusat Muhammadiyah pada tahun 1962. Pada saat itu, dia bersama-sama dengan H. AR. Fachruddin dan HM. Mawardi diberi tugas untuk menggodok bahan-bahan rumusan Kepribadian Muhammadiyah yang telah disampaikan oleh tokoh-tokoh senior Muhammadiyah seperti K.H. Fakih Usman, K.H. Faried Ma`ruf, K.H. Wardan Diponingrat, Hamka, M. Djindar Tamimy dan M. Shaleh Ibrahim. Melalui kerja keras, akhirnya rumusan Kepribadian Muhammadiyah dapat diselesaikannya.

Sumbangan pemikiran Djarnawi lainnya bagi dinamika Muhammadiyah juga tampak pada era 1980-an. Saat itu Muhammadiyah sedang dihadapkan pada persoalan asas tunggal Pancasila yang kontroversial. Setelah melalui pembahasan, pemikiran dan perhitungan yang cukup seksama, akhirnya pada Muktamar yang ke-41 di Surakarta pada tahun 1985 Muhammadiyah menerima kedudukan Pancasila sebagai asas tunggal ormas/orpol. Djarnawi termasuk salah seorang anggota tim perumus, Djarnawi berpandangan bahwa Muhammadiyah bersedia menerima Pancasila sebagai asas tunggal karena sila Ketuhanan Yang Maha Esa diartikan sebagai keimanan kepada Allah SWT. Penafsiran arti sila pertama dari Pancasila tersebut menurutnya adalah untuk menghindari agar Muktamar tidak lagi menolak asas Pancasila, maka Muhammadiyah akan sulit terlepas dari perpecahan dan pembubaran yang tentu sangat merugikan Muhammadiyah sendiri.

Apa yang dikemukakan Djarnawi di atas mengingatkan semua orang pada sikap ayahnya ketika terjadi ketegangan berkaitan dengan rumusan dasar negara Indonesia pada masa-masa awal kemerdekaan. Penerimaan Muhammadiyah terhadap asas Pancasila akhirnya melegakan semua pihak. Oleh karena itu Muhammadiyah dianggap telah lulus dari salah satu ujian berat yang pernah dihadapinya dalam perjalanan sejarahnya. Muktamar yang berjalan penuh dengan ketegangan itupun kemudian ditutup dengan rasa haru dan gembira pada tanggal 11 Desember dengan diiringi lagu Mars Milad Muhammadiyah yang diciptakan Djarnawi pada sekitar tahun 1976.

C. Aktivitas Djarnawi di Bidang Politik.
Selain dikenal sebagai seorang tokoh Muhammadiyah, Djarnawi juga dikenal sebagai seorang politikus. Hanya saja, tidak seperti aktivitasnya di Muhammadiyah yang sudah digelutinya sejak usia dini, di bidang politik dia mulai aktif setelah menginjak usia dewasa. Aktivitas Djarnawi berkaitan dengan bidang politik diawali sekitar tahun 1945. Pada saat itu sampai sekitar tahun 1949 dia bergabung di dalam Bataliyon Intimewa TNI (sekarang Kopasus) Brigade XII Daerah Sumatera Utara. Hanya saja, pada saat dia pulang kembali ke Yogyakarta, karir tersebut terputus.

Aktivitas Djarnawi di bidang politik mulai terlihat lagi setelah memasuki pertengahan dekade 1960-an. Antara tahun 1966 sampai 1971 dia tercatat sebagai anggota MPRS/DPRGR. Sementara itu, pada waktu yang hampir bersamaan, pada bulan Februari 1968 berdiri Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Orang kemudian dipercaya untuk menjadi Ketua Umumnya adalah Djarnawi Hadikusuma. Jabatan tersebut dipegangnya hingga bulan November 1968. Selanjutnya, pada tanggal 4-7 November 1968 Parmusi menggelar kongres. Di dalam kongres tersebut Mr. Moh. Roem terpilih sebagai Ketua Umumnya. Hanya saja, karena dia adalah eks tokoh Masyumi, sehingga kemunculannya tidak direstui oleh pihak pemerintahan. Sebagai alternatifnya, maka Djarnawi kembali diangkat sebagai Ketua Umum Parmusi untuk kedua kalinya.

Jabatan sebagai Ketua Umum Parmusi yang kedua itu dipegangnya hingga tahun 1970. Pada tahun itu di dalam tubuh Parmusi mulai terjadi perpecahan yang kemudian memunculkan kudeta atau pembajakan atas kepemimpinan Djarnawi oleh H.J. Naro beserta para pendukungnya. Peristiwa tersebut terjadi tanggal 17 Oktober 1970. Dengan adanya kejadian itu, maka di dalam tubuh Parmusi muncul dualisme kepemimpinan, yaitu kepemimpinan Djarnawi dan H.J. Naro. Dualisme kepemimpinan dia dalam tubuh Parmusi itu akhirnya berakhir setelah pemerintah sebagai pembina kehidupan parpol turut campur dengan mengangkat H.S. Mintaredja sebagai ketua Umum Parmusi pada tanggal 20 November 1970. Dengan begitu, berakhirlah masa kepemimpinan Djarnawi di dalam Parmusi.

Setelah tidak lagi menjadi Ketua Umum Parmusi, pada awalnya ada upaya untuk memposisikan Djarnawi sebagai anggota Majelis Pertimbangan Partai Parmusi. Hanya saja, upaya itu digagalkan oleh H.S. Mintaredja, sehingga secara praktis Djarnawi tersingkir dari Parmusi. Pemotongan terhadap karir politik Djarnawi tersebut dilakukan karena sikapnya dianggap bertentangan dengan pihak pemerintah. Begitulah, sejak saat itu sampai akhir hayatnya, Djarnawi kembali ke basik awal gerakannya, yaitu Muhammadiyah. Apalagi pada saat itu Muhammadiyah telah memutuskan untuk kembali kepada jati dirinya sebagai gerakan sosial keagamaan.

D. Karya-karyanya.
Selain dikenal sebagai seorang aktivis dan praktisi, ternyata Djarnawi juga seorang pemikir atau penulis yang produktif. Itulah kelebihan Djarnawi dibandingkan dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah lainnya yang seangkatan dengannya. Menurut salah seorang putranya, yaitu Ir. Gunawan Budiyanto, MP. bahwa sampai masa akhir hayatnya setidaknya Djarnawi sudah menulis sekitar 20 buah karya tulis selain beberapa tulisan lepasnya di berbagai media cetak, seperti Suara Muhammadiyah, Suara `Aisyiyah, Kedaulatan Rakyat, Jawa Pos dan The Indonesia Times.

Apabila dirinci, tulisan-tulisan karya Djarnawi dapat diklasifikasikan menjadi lima bidang, yaitu bidang keislaman, sastera, kristologi, sejarah dan pendidikan. Dari kelima bidang itu, tulisan yang paling banyak adalah di bidang keislaman sekitas tujuh buah, yaitu : Risalah Islamiyah (1973), Kitab Tauhid (1987), Ilmu Akhlak (1990), Kitab Fekih (t.t.), Ahlus Sunnah Wal Jama`ah (t.t.), Bid`ah Khurafat (t.t.), Menyingkap Rahasia Maut (t.t.), dan Jalan Mendekatkan Diri Kepada Tuhan (t.t.).

Adapun di bidang sastera karya tulis Djarnawi semuanya berjenis novel. Di bidang ini ada enam karya yang dihasilkannya, yaitu Korban Perasaan (1947), Penginapan di jalan Sunyi (1947), Orang dari Marotai (1949), Pertentangan (1952), Angin Pantai Selatan (1954) dan Di Bawah Tiang Gantungan. Untuk karyanya yang terakhir itu adalah terjemahan dari Guillotine, novel tentang pergolakan pada saat Revolusi Perancis. Hanya saja hasil terjemahan tersebut belum sempat diterbitkan.

Sementara di bidang sejarah (Islam) dia menulis sebanyak tiga buah, yaitu Aliran-Aliran Pembaruan Islam : Dari Jamaluddin Al-Afghani sampai K.H. Ahmad Dahlan (t.t.), Matahari-Matahari Muhammadiyah (t.t.) dan Derita Seorang Pemimpin : Riwayat Hidup, Perdjoangan dan Buah Pikiran Ki Bagus Hadikusuma (1979). Di bidang Kristologi dia menulis dua buah buku, yaitu Sekitar Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru (t.t.) dan Buku Kristologi (1982). Di bidang pendidikan dia hanya menulis sebuah buku yang diberinya judul Pendidikan dan Kemajuan (1949).

E. Penutup
Djarnawi Hadikusuma meninggal dunia pada usia 73 tahun, tepatnya pada tanggal 26 Oktober 1993. Dia meninggalkan seorang isteri, yaitu Sri Rahayu dan tujuh orang putera. Sebenarnya putera Djarnawi ada sepuluh, tetapi yang tiga orang meninggal ketika masih kecil. Adapun tujuh anak tersebut adalah Siswanto D. Kusumo (dokter), Hartono (Wiraswastawan), Pitoyo Kusumo (Notaris), Darmawan Susanto (Wiraswastawan), Sri Purwaningsih (Pegawai Negeri), Ahmad Poernomo (PNS) dan Gunawan Budiyanto (PNS).

Terakhir diperbaharui ( Sunday, 12 December 2004 )

No comments:

Post a Comment