Saturday, September 11, 2010

Muhammadiyah, nasib bangsa, dan agama

Duta Masyarakat, Selasa, 06 Juli 2010

Muhammadiyah, nasib bangsa, dan agama

Meskipun Islam tidak akan hapus dari dunia, namun dia mungkin hapus dari Indonesia, kalau umatnja tidak membelanja. Demikian kata almarhum KH A Dahlan. (Dr Hamka: 1939).

Kata-kata pendiri ormas besar Muhammadiyah itu menunjukkan betapa kegelisahan seorang da'i (juru dakwah) terhadap hasil jerih payah yang telah dilakukannya. Sosok KH A Dahlan, yang juga seperguruan dengan pendiri Ormas Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asy'ari, tidak lagi dapat diragukan kiprahnya dalam gerakan dakwah Islamiyah.

Muhammadiyah yang keberadaannya menjadi ormas kedua setelah NU adalah bukti nyata betapa sosok KH A Dahlan sangat besar jasanya dalam bidang dakwah. Maka menjadi tidak mengherankan saat dirinya begitu perhatian terhadap keberadaan Islam di negara Indonesia sebagaimana perkatannya yang diabadikan Dr Hamka dalam buku Tasauf Modern.

Kehawatiran KH A Dahlan hingga detik ini memang belum begitu terasakan. Dalam catatan sejarah, negara Indonesia pernah memiliki umat Islam dengan persentase 90 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Pada sensus penduduk tahun 2000, hanya tercatat 88,22 persen penduduk Indonesia yang menganut agama Islam. Jumlah ini tergolong besar dan tidak menjadi masalah besar. Artinya, secara kuantitas umat Islam di negara Indonesia masih menjadi mayoritas dibandingkan umat yang lain. Kendati kini jumlah umat Islam menduduki peringkat teratas di negara Indonesia, bukan berarti agama Islam akan terus eksis di bumi Nusantara ini selamanya.

Keberadaannya agama Islam di Indonesia tak terlepas dari sosio-historis yang begitu kompleks dan panjang. Perkawinan peradaban setempat dengan nilai-nilai keagamaan tak terlepas dari wajah agama (Islam) yang selalu ramah lingkungan. Meminjam istilah majalah internasional Newsweek, Islam Indonesia merupakan Islam with a smiling face.

Wajah Islam yang menawan tersebut mulanya ditunjukkan oleh para da'i dari Arab Saudi yang berniaga di tanah Nusantara. Mereka tidak pernah menunjukkan sikap agresif, beringas, intoleran, penuh kebencian, dan segala hal yang berbau permusuhan kepada masyarakat setempat. Dalam mendakwahkan ajaran agama Islam pun mereka selalu bersikap lembut, toleran, dan penuh dengan nuansa kedamaian.

Dakwah dilakukan dengan cara menyesuaikan dan menanamkan nilai-nilai religi ke dalam adat setempat yang tidak bertentangan dengan agama, mendekati pamong desa hingga menikahi wanita-wanita setempat, utamanya anak keturunan orang berpengaruh. Dari sinilah ajaran agama Islam yang tadinya nol persen step by step meluas ke berbagai penjuru daerah.

Dakwah ini juga dilanjutkan oleh Wali Songo. Lihatlah betapa kiprah Sunan Kalijaga dan murid-muridnya begitu santun dalam mendakwahkan agama Islam di tanah Jawa. Sunan Kalijaga yang terkenal dengan sifat akomodatifnya terhadap tradisi lokal, berhasil mendidik para penguasa pribumi tentang Islam yang damai, toleran, dan spiritual. Sementara para muridnya, antara lain Sultan Adiwijoyo, Juru Martani, dan Senopati ing Alogo, berhasil menyelamatkan dan melestarikan nilai-nilai luhur tersebut, yang manfaatnya tetap bisa kita nikmati hingga detik ini.

Prinsip Bhinneka Tunggal Ika-nya Mpu Tantular seakan mendarah daging pada dakwah sunan kalijaga dan murid-muridnya. Di samping itu, prinsip yang ada dalam ushul fiqh, al-muhafadlatu ala al-qadimi as-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidil al-ashlah (melestarikan perkara lama yang baik dan memungut perkara baru yang lebih baik) pun selalu terpupuk dan menjadi sandaran laku Sunan Kalijaga dan murid-muridnya. Dengan begitu, dakwah Islam dapat berjalan dengan baik dan mendapat hasil yang memuaskan.

Selanjutnya, para pendiri bangsa pun selalu mewarisi sifat toleran dan penuh kedamaian dalam menunjukkan agama Islam di tanah air tercinta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tercinta ini. Lihatlah betapa saat awal berdirinya negara Indonesia tak lepas dari jerih payah para pejuang Islam. Mereka sangat bisa untuk menjadikan bentuk negara ini. Namun para pendiri bangsa ini selalu bersikap toleran kepada seluruh lapisan masyarakat, termasuk dalam menentukan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.

Memang Pancasila secara kemasan tidak berlabel Islam. Namun begitu para pendiri bangsa, termasuk Soekarno, sang plokamator yang sempat menyatakan sekali Muhammadiyah tetap Muhammadiyah, tidak sekadar mengiyakan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Ada banyak hal yang menjadi pertimbangan para pendiri bangsa sehingga Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara. Dalam Pancasila, meski secara kemasan tidak berembel-embel Islam, sebenarnya sangat Islami. Sila-sila yang ada dalam perut Pancasila merupakan ajaran-ajaran agama yang ada dalam Islam.

Hanya saja mereka mengemasnya dalam bentuk yang lain dengan mendasarkan pada pesan-pesan utama dalam agama (maqashid al-syari`ah), kemaslahatan umum (al-mashlahat al-`ammah) atau juga sering disebut the common good.

Dengan kesadaran demikian, mereka menolak pendirian atau formalisasi agama dan menekankan substansinya. Mereka memposisikan negara sebagai institusi yang mengakui keragaman, mengayomi semua kepentingan, dan melindungi segenap keyakinan, budaya, dan tradisi bangsa Indonesia. Dengan cara demikian, melalui Pancasila mereka menghadirkan agama sebagai wujud kasih sayang Tuhan bagi seluruh makhluk-Nya (rahmatan lil-`alamin) dalam arti sebenarnya. Dalam konteks ideal Pancasila ini, setiap orang bisa saling membantu untuk mewujudkan dan meningkatkan kesejahteraan duniawi, dan setiap orang bebas beribadah untuk meraih kesejahteraan ukhrawi tanpa mengabaikan yang pertama. (Abdurahman Wahid-ed: 2009).

Terkait dengan Muhammadiyah, dakwah versi KH A Dahlan yang santun terhadap sesama perlu mendapat perhatian khusus. Jika tidak, keresahan yang telah diupayakan Prof Dr Abdul Munir Mulkhan tidak berarti apa-apa. Tahun 2005, Prof Dr Abdul Munir Mulkhan prihatin dengan keadaan desa kecilnya, Sendang Ayu, Lampung yang notabene awalnya menganut Muhammadiyah dengan penuh kedamaian, menjadi ribut karena dimasuki ajaran agama Islam keras dan intoleran. Islam yang tadinya bersahaja berubah menjadi agama yang menakutkan. Dari kasus ini dirinya menerangkan kepada warga bahwa Muhammadiyah memiliki cara yang santun dalam menyelesaikan perbedaan dan tidak memberi ruang kepada kelompok Islam garis keras karena dianggap membahayakan.

Keprihatinan ini dituliskan dan dipublilkasikan di Suara Muhammadiyah dan akhirnya mendapat respons besar-besaran dari seluruh lapisan Muhammadiyah. Farid Setiawan, Ketua Umum Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPD IMM) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah salah satu dari komponen Muhammadiyah yang memberi respon besar atas kegelisahan Prof Dr Abdul Munir Mulkhan.

Dalam artikel yang ditujukan untuk menanggapi tulisan Prof Dr Abdul Munir Mulkhan, Farid Setiawan mendesak agar Muhammadiyah segera mengamputasi virus kanker yang menurut dia sudah masuk kategori stadium empat. Bahkan dalam salah satu tulisannya dirinya menuangkan judul "Ahmad Dahlan Menangis (Tanggapan terhadap Tulisan Abdul Munir Mulkhan)." Dan sadarkah Muhammadiyah akan ancaman yang tidak sekadar membumihanguskan ormasnya, namun agama Islam dan bangsa Indonesia ini? Wallahu a`lam

ANTON PRASETYO
adalah Ketua Jam`iyyah Qurra' Wal Huffadz PP Nurul Ummah dan Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

No comments:

Post a Comment