Monday, June 28, 2010

Watak Politik Muhammadiyah

Kompas, Selasa, 29 Juni 2010 | 04:16 WIB
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Murid-murid SMP Muhammadiyah 1 Simpon berbusana pakaian adat Nusantara saat mengikuti pawai menyambut Satu Abad Muhammadiyah di Kota Solo, Jawa Tengah, Senin (14/6). Pawai yang diikuti ribuan pelajar sekolah Muhammadiyah se-Solo itu juga untuk menyemarakkan persiapan Muktamar Ke-46 Muhammadiyah yang akan digelar pada bulan Juli di Yogyakarta.

Oleh Edy M. Ya`kub

Tidak seperti halnya dengan Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah merupakan persyarikatan yang tidak pernah terlibat langsung dengan politik praktis.

Kalau NU pernah menjadi partai politik yakni Partai NU (1955), maka Muhammadiyah tidak pernah mengalaminya, kecuali empat model "pernikahan" dengan parpol.

Persyarikatan yang didirikan di kampung Kauman, Yogyakarta pada 18 November 1912 atau bertepatan dengan 8 Dzulhijah 1330 Hijriah itu pernah melakukan "pernikahan resmi" dengan parpol ketika menjadi anggota istimewa dari Masyumi.

Namun, gerakan Islam modernis yang didirikan KH Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis itu juga pernah melakukan "pernikahan siri" dengan parpol ketika pendirian Parmusi (Tanwir Ponorogo).

Selain itu, Muhammadiyah pernah melakukan "nikah mut`ah (kontrak)" ketika sebagian pengurusnya terlibat dalam pendirian PAN, tapi akhirnya ditinggalkan parpol bentukan Amien Rais itu.

Model paling akhir justru bukan "pernikahan", melainkan "perceraian" organisasi pemurnian dan pembaruan Islam itu dengan parpol sebagaimana dirumuskan dalam Tanwir Denpasar (2001).

"Relasi Muhammadiyah dengan parpol itu sebenarnya sudah cukup jelas, karena Muhammadiyah secara historis tidak boleh berpolitik praktis," kata Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Din Syamsudin, di Surabaya (16/3/2010).

Setelah menjadi pembicara utama dalam seminar pramuktamar di Gedung PW Muhammadiyah Jatim, ia mengatakan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah itu mencakup seluruh bidang kehidupan, termasuk politik.

"Tapi, politik dan partai politik itu berbeda. Sejak sidang tanwir di Denpasar pada tahun 2001, Muhammadiyah bertekad mengintensifkan politik kebangsaan, sehingga Muhammadiyah tetap terlibat dalam politik," katanya.

Sedari Sidang Tanwir Denpasar itu, Muhammadiyah sudah memutuskan tidak ada hubungan struktural dan afiliasi dengan parpol mana pun.

"Masalahnya, memang terletak pada penerapan terkait era sekarang yang bersifat multipartai. Ada yang berharap netralitas Muhammadiyah itu pasif, tapi kita sudah sepakat dengan netralitas aktif," katanya.

Dalam netralitas aktif itu, katanya, Muhammadiyah akan ke mana-mana, sehingga keterlibatan warga Muhammadiyah dalam politik praktis akan ada di PAN, PMB, PPP, Golkar, PDIP, Partai Demokrat, dan sebagainya.

"Jadi, Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam tidak mungkin untuk tidak berpolitik, karena Islam juga mengatur segala aspek kehidupan, termasuk politik, tapi khusus politik praktis akan ke mana-mana," katanya.

Amar makruf nahi munkar
Secara historis, politik yang melekat pada Muhammadiyah adalah politik kebangsaan yang sering disebut dengan politik "amar makruf nahi munkar" (mengajak ke kebaikan dan mencegah kemungkaran).

Bahkan, para pemimpin terdahulu di Muhammadiyah sangat aktif berpolitik seperti KH Ahmad Dahlan di Budi Utomo atau KH Mas Mansur dalam BPUPKI.

"Artinya, Muhammadiyah itu tidak segan-segan menjadi pengeritik paling depan jika pemerintah bertindak salah, tapi Muhammadiyah juga akan menjadi pendukung terdepan jika pemerintah memang benar," kata Din Syamsudin.

Oleh karena itu, katanya, Muktamar Satu Abad di Yogyakarta akan menjadi pertaruhan gerakan penjaga "perjalanan" sejarah bangsa itu dalam memberikan sumbangsih untuk bangsa dan negara.

Pandangan senada diungkapkan Ketua Lembaga Amil Zakat Infaq Shodaqoh (LAZIS) PP Muhammadiyah, Hajriyanto Y. Tohari, yang juga salah seorang politikus Muhammadiyah.

"Secara organisasional, Muhammadiyah memang menyatakan dirinya sebagai tidak memiliki afiliasi politik dengan partai politik mana pun, tidak berpolitik praktis, dan membebaskan warganya untuk memilih dalam pemilihan umum atau pilkada," katanya.

Masalah itu sudah selesai dan sudah berjalan bertahun-tahun, sehingga tidak ada seorang pun warga atau aktivis Muhammadiyah yang menyatakan keinginan untuk mengubahnya dalam Muktamar ke-46 di Yogyakarta pada 3-8 Juli 2010.

"Parpol itu sangat penting dan strategis, termasuk untuk menegakkan dakwah Islam melalui tangan negara, tapi wilayah yang penting itu sengaja tidak dipilih oleh Muhammadiyah yang sejak kelahirannya telah memosisikan diri sebagai gerakan Islam nonpolitik," katanya.

Hal itu, katanya, karena Muhammadiyah menyadari bahwa persentuhan dengan dunia politik itu cukup rumit.

"Sekali melibatkan diri dalam pergumulan politik kekuasaan, ketika itu pula centang-perenang dan konflik di dalam maupun keluar akan terjadi, yang pada akhirnya membuat gerakan Islam ini kehilangan kepribadian," katanya.

Namun, katanya, Muhammadiyah tidak boleh alergi dengan politik atau kekuasaan.

"Yang perlu dijaga hanyalah bagaimana agar kita tidak terjebak oleh isu-isu politik praktis yang tidak menguntungkan. Berpikir strategis dalam rangka menatap masa depan," katanya.

Agaknya, watak persyarikatan Muhammadiyah dalam relasi dengan politik adalah "amar makruf nahi munkar" yakni tidak berpolitik praktis, tapi berperan kritis dalam perpolitikan nasional.

No comments:

Post a Comment