Thursday, June 10, 2010

Relasi Muhammadiyah dan Politik: Antara Rumusan Khitah dan Kenyataan (Bagian Pertama)

Seputar Indonesia, 10 Juni 2010

Hajriaynto Y. Thohari

Secara normatif bagaimana hubungan antara Muhammadiyah dan politik sudah diatur secara jelas dan terang benderang dalam dokumen-dokumen resmi organisasi, mulai dari Mukadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, Kepribadian Muhammadiyah, Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah, Khitah Pejruangan Muhamadiyah, Khitah Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, dan Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, sampai Keputusan-keputusan Muktamar dan Tanwir. Semua itu telah membentuk sebuah khazanah yag sangat kaya dan komprehensif yang antara lain berisi ketentuan-ketentuan normatif mengenai khitah Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, dakwah, dan amar ma’ruf nahi munkar, yang bersifat nonpolitik.

DR. Haedar Nashir, seorang Ketua PP. Muhammadiyah yang paling produktif (baca: dalam mengarang), telah menulis tema besar ini dengan sangat bagus di majalah Suara Muhammadiyah yang kemudian di himpun dalam buku Muhammadiyah Gerakan Pembaruan (2010) yang beberapa waktu berselang didiskusikan di Jakarta, Yogyakarta, dan kota-kota besar lainnya. Pengetahuan dan penghayatan DR. Haedar Nashir tentang Khitah Muhammadiyah sangatlah ensiklopedis. Saya rasa sejauh menyangkut kemuhammadiyahan, dia itu “ensiklopedi berjalan” alias living encyclopedia. Bahkan tidak berlebihan apabila Dr. Haedar Nashir disebut “ideolog yang berjalan” (living ideolog).

Buku yang nyaris ensiklopedis tersebut mencakup persoalan yang sangat luas yang meliputi lima belas bab: Dari soal karakter Muhammadiyah, paham agama Islam, pemikiran ideologis, khitah perjuangan, pemikiran dakwah, tajdid, masyarakat Islam, dan lain-lainnya. Dr. Haedar Nashir menjadikan keputusan-keputusan dan dokumen-dokumen resmi Muhamamdiyah tersebut di atas sebagai sumber utamanya (primary sources atau al-mashodir al-afdholiyyah wa al-awailiyah) yang dengan demikian tidak ada yang salah dengan keseluruhan isi buku itu. Atau dengan kata lain, DR. Haedar Nashir menulis buku itu tanpa rasa bersalah sama sekali. Sebagai himpunan dan elaborasi dari ketentuan-ketentuan yang sudah baku, resmi, dan normatif tentunya memang demikianlah yang terjadi: semuanya sudah jelas, gamblang, dan terang benderang. Jadi buku ini tidak bisa dikritik!

Muhammadiyah: nonpolitik
Secara organisasional Muhammadiyah memang menyatakan dirinya sebagai tidak memiliki afiliasi politik dengan partai politik manapun, tidak berpolitik praktis, dan membebaskan warganya untuk memilih dalam pemilihan umum (baik pemilu legislatif, pemilu presiden, dan pemilukada). Soal ini sampai disini saya rasa sudah selesai. Tidak ada seorang pun warga atau aktivis Muhammadiyah yang menyatakan keinginannya untuk mengubahnya dalam Muktamar ke-46 yang akan datang. Secara organisasional memang seperti itu ketentuannya/ itu sudah berjalan berpuluh-puluh tahun yang lalu.

DR. Haedar Nashir antara lain menulis: “Khitah Muhammadiyah juga dapat dijadikan sebagai pagar pembatas agar naluri ‘primitif’ (syahwat politik) perseorangan untuk berkiprah dalam perjuangan politik kekuasaan (power struggle) atau disebut ‘politik praktis’ tidak menyeret-nyeret Muhammadiyah secara kelembagaan. Partai Politik itu sebagaimana juga kekuasaan negara sangatlah penting dan strategis, termasuk untuk menegakkan dakwah Islam melalui tangan negara. Tetapi, wilayah yang penting itu sengaja tidak dipilih oleh Muhammadiyah yang sejak kelahirannya telah memosisikan diri sebagai gerakan Islam nonpolitik dengan keyakinan bahwa dakwah di bidang pembangunan masyarakat pun tidak kalah penting dan strategisnya dengan perjuangan politik di jalur kekuasaan negara.”

Selanjutnya mari kita baca bagian lain dari buku Dr. Haedar Nashir berikutnya: "Muhammadiyah sungguh ‘kenyang’ dengan hiruk pikuk dunia politik. Muhammadiyah merasakan betul betapa rumitnya bersentuhan dengan dunia politik. Sekali melibatkan diri dalam pergumulan politik kekuasaan, ketika itu pula centang perentang dan konflik di dalam maupun keluar akan terjadi, yang pada akhirnya membuat gerakan Islam ini kehilangan kepribadian dan peran utamanya sebagai gerakan Islam yang menjalankan fungsi dakwah dan tajdid untuk menyebarkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamien di muka bumi ini (hal 250-251).

DR. Haedar Nashir dalam bab IX buku itu mendeksripsikan secara menyeluruh tentang khitah perjuangan Muhammadiyah. Meski ketika berbicara tentang bagaimana pandangan Muhammadiyah terhadap politik dan kekuasaan ada bagian tertentu dari sebuah dokumen resmi organisasi yang ditinggalkan. Dokumen yang saya maksudkan ditinggalkan ini adalah buku Islam dan Dakwah: Pergumulan antara nilai dan Realitas (1998). Buku ini oleh DR. Haedar Nashir dijadikan juga sebagai sumber utama, bahkan ditulis dalam daftar pustaka, tetapi ternyata tidak cukup fair dalam pengutipannya, terutama menyangkut pandangan Muhammadiyah tentang kekuasaan, politik, dan ekonomi. Pasalnya, dalam buku ini justru dapat ditemukan sebuah pandangan yang sangat positif dan optimistis tentang politik dan kekuasaan, yang berbeda dengan pandangan-pandangan resmi organisasi yang dikutip DR. Haedar Nashir yang sebagian cenderung pesimistis dan kurang positif.

Dalam buku resmi terbaik yang pernah diterbitkan PP. Muhammadiyah Majelis Tablig tersebut dikatakan: "Bagi seorang Muslim, kegiatan politik harus menjadi bagian integral dari kehidupannya yang utuh. Mengherankan kalau ada Muslim yang menjauhi, apalagi membenci kegiatan tertentu yang menentukan arah kehidupan dan nasibnya, misalnya menjauhi politik dan ekonomi. Kehidupan dunia harus direbut dan dikendalikan agar sesuai ajaran Tuhan (hal. 87). Dikatakan juga bahwa “Suatu gerakan Islam yang bercorak sosio-keagamaan tidak boleh alergi terhadap politik. Wawasan keagamaan justru harus menyatu dengan wawasan kekuasaan. Yang perlu dijaga adalah dan hanyalah bagaimana agar kita tidak terjebak oleh isu-isu politik praktis yang tidak menguntungkan. Berpikir strategis dalam rangka menatap masa depan yang agak jauh dari diri kita sekarang”.

No comments:

Post a Comment