Seputar Indonesia, 11 Juni 2010
Hajriayanto Y. Thohari
Meski ada nuansa pilih-pilih, kita tetap harus melihat fakta bahwa implementasi atau penerapan ketentuan-ketentuan yang normatif sudah barang pasti sangat tidak sederhana. Tidak selalu ada pararelisme antara yang tertulis dan yang ternyata. Pertanyaannya disini adalah apakah pelaksanaannya atau implementasinya di lapangan semulus dengan rumusan yang normatif dan estetik itu? Apakah benar ada pararelisme antara yang dirumuskan dan yang dilaksanakan di lapangan?
Dalam kaitan ini, corak kepemimpinan Muhammadiyah sebagai pengelola dan penghela Muhammadiyah akan sangat menentukan. Pasalnya, kepemimpinan Muhammadiyah-lah yang akan memberikan respons terhadap dinamika politik yang melingkupinya dari waktu ke waktu itu berdasarkan ketentuan-ketentuan normative tersebut. Sementara para anggota hanya akan bersikap secara pasif baik setuju atau keberatan terhadap langkah-langkah pimpinannya.
Salah satu kajian tersebut adalah apa yang dilakukan DR. Alfian dalam disertasinya Islamic Modernism in Indonesian Politics, The Muhammadiyah Movement during the Dutch Colonial Period 1912-1942. Dr. Alfian mengatakan, ‘Sebagai gerakan sosial besar yang terorganisasi baik di Indonesia, Muhammadiyah tampaknya tidak mampu menghindar untuk terlibat dalam politik. Ternyata, kadang-kadang Muhammadiyah benar-benar bermain politik secara langsung dan terbuka. Pendek kata, Muhammadiyah berbeda sikap dengan yang dinyatakan dengan karakter nyatanya yang nonpolitik sebagaimana dirumuskan dalam dokumen-dokumen tersebut di atas.
Muhamamadiyah, kata Dr. Alfian, memainkan tiga peranan yang saling terkait, yaitu (1) sebagai reformis keagamaan (antara lain melakukan gerakan memurnikan agama Islam dengan antara lain memberantas takhayul, bid’ah, dan khurafat, alias TBC; (2) sebagai pelaku perubahan sosial (bertujuan memodernisasi umat muslim Indonesia agar terangkat dari ketertinggalannya mencapai tempat terhormat di dunia modern); dan (3) sebagai kekuatan politik. Peran yang ketiga ini dapat dianalisis dari: pertama, pandangan filosofis Islam (antisekulerisme atau pemisahan agama dan Negara) dan kedua, perkembangan Muhammadiyah sebagai kelompok kepentingan besar dalam politik Indonesia.
Tentu, seperti kata Dr. Alfian, “Karena Muhammadiyah sebagai kelompok kepentingan merupakan gerakan yang nyata-nyata nonpolitik, maka keterlibatannya sangat boleh jadi berbeda dengan keterlibatan organisasi-organisasi yang menjadikan politik sebagai profesinya. Sebagai organisasi nonpolitik tampaknya Muhammadiyah bila dimungkinkan, kapan saja, berupaya untuk tidask memainkan politik secara langsung dan terbuka (seperti dulu menyerahkannya pada Syarekat Islam (SI), Masyumi, Parmusi, dan seterusnya sesuai dengan situasi baru politik Indonesia. Tipe-tipe logika situasional (baik lokal dan maupun nasional) inilah yang menentukan peran politik Muhammadiyah.”
Ringkasnya, perkembangan Muhammadiyah sebagai kelompok kepentingan dengan tujuan-tujuan keagamaan dan sosialnya (katakanlah Muhammadiyah sebagai narasi besar yang memiliki pandangan dunianya/ world view) yang nyata dan jelas ditunjukkan melalui berbagai cara bahwa ia benar-benar terlibat dalam politik, yang kadang-kadang secara langsung dan terbuka. Karena itu, Muhammadiyah benar-benar tampak memiliki peranan ketiga sebagai salah satu kekuatan politik.
Lain Khitah Lain Implementasi
Muhammadiyah memang organisasi nonpolitik, tetapi pada kenyataannya Muhammadiyah tidak bisa menghindar sama sekali dari dinamika politik yang terjadi. Pertama, sebagai gerakan reformis Islam, tentu Muhammadiyah, sebagaimana klaim aktivisnya sendiri, tidak bisa memisahkan antara Islam dan Politik, bahkan menyatakan bahwa pemisahan antara keduanya merupakan salah satu bentuk dari sekulerisme yang ditentangnya secara sangat tegas.
Kedua, sebagai gerakan Islam yang mempunyai jumlah pendukung yang sangat besar, tentu Muhammadiyah memiliki political magnitude yang sangat besar. Muhammadiyah selalu menjadi sasaran dari lobi-lobi politik yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan politik baik secara organisasional maupun secara individual. Maka siapapun yang menjadi pimpinan puncak Muhammadiyah pastilah akan menghadapi situasi semacam ini yang secara tak terhindarkan dihadapkan pada pilihan-pilihan politik yang bersifat dilematis karena sering kali mengharuskannya untuk menyatakan sikap-sikap politiknya. Apalagi dalam politik itu, di samping tentu sarat dengan kepentingan-kepentingan yang terkait dengan kekuasaan, juga tidak jarang mengandung dimensi-dimensi ideologis, nilai, atau cita-cita besar.
Dimensi ideologis, nilai-nilai atau cita-cita tertentu dalam perjuangan politik itu tentu ada yang sejalan atau setidaknya paralel dengan pandangan hidup (worldview) Muhammadiyah sebagai gerakan Islam. Jika dihadapkan pada pertimbangan-pertimbangan ini, tentunya Muhammadiyah harus memilih dan ini bukanlah soal yang sederhana. Di sana ada dilema yang tidak mudah untuk disederhanakan, bahkan kadang-kadang merupakan pilihan yang tidak mudah (no easy choice).
Ketiga, sebagai gerakan Islam yang massif yang terorganisasikan secara baik dan memiliki tradisi ketaatan pada keputusan organisasi, para pimpinan di daerah dan para anggota Muhammadiyah tidak jarang meminta keputusan PP Muhammadiyah atas beberapa persoalan politik, bahkan pada saat-saat menghadapi event-event politik penting seperti pemilihan umum. Pimpinan dan warga Muhammadiyah di akar rumput bahkan tidak jarang “memaksa” pimpinan pusat (PP) untuk mengeluarkan sebuah instruksi dalam wadah keputusan pimpinan atas pilihan-pilihan politik yang harus dilakukan dalam event-event politik tersebut.
Keempat, Muhammadiyah adalah juga organisasi kader. Sebagai organisasi kader, Muhammadiyah selama ini menyiapkan kader-kader terbaiknya dalam tiga dimensi kekaderan: kader persyarikatan, kader umat, dan kader bangsa (di lapangan professional dan lapangan politik). Nah, Muhammadiyah yang nonpolitik dan netral secara politik sangat sering menghadapi dilema ketika ada di antara kader-kadernya yang terjun dalam kompetisi politik dalam pemilu legislatif, pemilu presiden, atau pemilukada.
Sangatlah tidak bermoral dan bertanggungjawab jika Muhammadiyah sebagai organisasi kader bersikap tidak memihak kepada kader sendiri yang notabene dipersiapkannya sendiri sebagai kader terbaiknya itu. Lihat saja ketika Pilpres 2004 Muhammadiyah menghadapi situasi pelik dan dilematis semacam ini. Semua kita tahu apa yang diputuskan dan dilakukan Muhammadiyah waktu itu secara organisasional. Apakah dengan demikian Muhamamadiyah waktu itu netral secara politik? Apakah waktu itu Muhammadiyah dapat dikatakan sebagai tidak berpolitik? Demikianlah juga yang terjadi pada event-event politik lainnya di waktu dan tempat yang berbeda.
Walhasil, pimpinan Muhammadiyah di semua jajaran ternyata memiliki wewenang untuk membuat diskresi yang sering kali tidak paralel dengan rumusan-rumusan formal-organisasional dalam dokumen-dokumen resmi tersebut di atas. Mudah beretorika Muhammadiyah tidak pernah berpolitik dengan mengutip dokumen-dokumen khitah. Pada kenyataannya dokumen adalah satu hal dan pelaksanannya adalah hal yang lain. Pasalnya, pucuk pimpinanlah yang akhirnya terpaksa menentukan sikap politik. Posisi pimpinan memang sangatlah strategis, tetapi juga sekaligus dilematis. Maka menjadi pimpinan tidak segampang dan tidak sesederhana menulis khitah! Ini berlaku bagi siapapun yang menjadi pimpinan! Termasuk juga jika DR. Haedar Nashir sekalipun yang nanti menjadi Ketua Umum PP. Muhammadiyah. Lihat saja!
No comments:
Post a Comment