Saturday, June 5, 2010

Seabad Muhammadiyah

By Andar Nubowo

Retrieved from: http://nubowo.com/?p=44 (6/05/10)

Usia Muhammadiyah, tanpa disadari, telah satu abad. Sebuah perjalanan panjang yang penuh liku sekaligus prestasi yang layak untuk diakui. Organisasi-organisasi yang lahir sebelum, semasa atau sesudah Muhammadiyah, kini, banyak yang hilang tanpa jejak. Budi Utomo, Syarikat Islam misalnya. Tapi, Muhammadiyah tetap menancapkan praktek amal shalihnya di bumi pertiwi hingga kini. Berbagai macam advokasi amal shalih dalam ranah sosial, dakwah, pendidikan dan kesehatan menjadikan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam modern terbesar di Asia tenggara, bahkan mungkin di dunia.

Prestasi luar biasa ini tidak lahir begitu saja. Tetapi, lahir akibat semangat berpikir KH. Ahmad Dahlan dan para pengikutnya dalam mengaktualisasikan dan membumikan ajaran-ajaran Islam dengan realitas faktual. Ahmad Dahlan mampu merevitalisasi —meminjam bahasa Kuntowijoyo “nalar mistis” umat Islam menuju “nalar ilmu”. Nalar rasional inilah yang, dengan baik, diwarisi generasi dan kader Muhammadiyah berikutnya.

Muhammadiyah, sejak awal, adalah gerakan tajdid, pembaharuan. KH. Ahmad Dahlan, secara cerdas, berhasil memadukan wahyu dan akal dalam memahami teks-teks primer Islam, Al-Qur’an dan Sunah Nabi. Dengan intrepretasi hermeneutisnya terhadap surat Al-Ma’un misalnya, lahirlah konsep pendidikan yang memadukan metodologi Barat-Kolonial dengan Islam. Gaya-gaya penyantunan sosial (caring society) yang diadvokasikan juga menyerap konsep diakonia, pelayanan, dalam tradisi Barat-Kristen. Maka, berdirilah rumah miskin, panti asuhan, panti jompo dan penolong kesengsaraan oemoem (PKU) yang terorganisasi secara modern. Tidak heran, bila Ahmad Dahlan lalu dituduh sebagai “Kristen alus” oleh kelompok Islam lainnya.

Advokasi dan praktik amal shalih—yang secara cermat disebut Amien Abdullah faith and action, merupakan pandangan dan praktik keagamaan yang liberal. Pandangan ini lahir dari dialektika antara teks dan konteks, konteks dan teks. Ahmad Dahlan tahu betul problem umat dan bangsa yang terbelit irasionalitas, kemiskinan dan kejumudan berpikir. Mistisisme yang membelenggu umat, kemiskinan akibat totalitas pandangan umat Islam pada konsep takdir, predestination berhasil dikikis.

Dalam praktik keseharian, Ahmad Dahlan tidak merasa risih bergaul dan berdialog dengan pemuka agama lain. Bahkan suatu waktu, Ahmad Dahlan mengajak dialog seorang pastur Seminari Magelang yang hendak membeli tanah umat Islam di Kauman Yogyakarta. Akhirnya, Ahmad Dahlam mampu meyakinkan Pastur untuk membatalkan niatnya (Adaby Darban, 2005). Sikap terbuka Ahmad Dahlan ini menjadi bukti kuat bahwa Ahmad Dahlan adalah pribadi yang menjunjung tinggi sikap damai, mau berdialog, dan mengutamakan “akal” dari pada “okol” dalam menyelesaikan setiap persoalan.

Sayang, Ahmad Dahlan, seperti yang disebut Buya Syafii Maarif, adalah man of action. Ia tidak pernah mewariskan literatur tertulis tentang pemikiran pembaruan yang dicetuskannya. Ia lebih dikenal sebagai Kiyai transformatif, karena lebih suka “bertindak” daripada “bicara”. Pada batas-batas tertentu, gambaran sosok Ahmad Dahlan yang demikian ini bisa dimaklumi. Tapi, tanpa disadari, hal ini menjadikan Ahmad Dahlan hanya dipahami sebagai sosok yang hanya mewarisi amal-usaha; sekolah, panti asuhan dan rumah sakit. Artinya, gerakan pemikiran KH. Ahmad Dahlan kurang begitu —untuk tidak mengatakan tidak sama sekali, mendapat tempat di Muhammadiyah.

Ahmad Dahlan dipahami, melalui tradisi tutur tinular, sebagai sosok kiyai saleh, memegang teguh ajaran Islam murni, tegas dalam akidah, dan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Proyek keagamaan Muhammadiyah untuk “kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah nabi” dihayati secara literal-skriptural. Akibatnya, rijiditas bahkan skripturalitas dalam berpikir dan beragama menjadi ciri paling khas warga Muhammadiyah belakangan ini. Sikap ini, tentu saja, berbuntut pada ekslusifitas beragama, bukan inklusifitas pemikiran dan praktek keagamaan seperti yang dicontohkan Ahmad Dahlan.

Tak heran, bila kini, muncul sorotan tajam dari berbagai kalangan bahwa gerakan pemikiran Muhammadiyah mengalami “jalan di tempat”. Meski tidak seekstrim yang terjadi, pimpinan dan aktivis Muhammadiyah banyak yang terperangah, kaget, resah dengan dinamika pemikiran baru, baik dari dalam Muhammadiyah sendiri atau dari luar. Isu demokrasi, gender, pluralisme, multikulturalisme, HAM, dan kemiskinan serta keadilan sosial dituduh sebagai isu Barat yang mengancam eksistensi Islam dan Muhammadiyah. Progresifitas Islam Dahlanian yang diusung aktivis dan kader muda Muhammadiyah dianggap sebagai sebuah virus yang disusupkan di tubuh Muhammadiyah.

Oleh karena itu, spirit pembaharuan Ahmad Dahlan yang coba diwarisi kembali oleh aktivis dan kader Muhammadiyah kerapkali disalahpahami dan dicurigai. Mereka dituduh “kafir” dan “murtad” dari Islam dan Muhammadiyah, karena pemikiran-pemikiran mereka yang mengangkangi “otentisitas” teks suci Islam. Dalam Muktamar Muhammadiyah ke-45 pada 3-5 Juli mendatang di Yogyakarta, liberalisme-sekularisme ini, tampaknya, masih menjadi bahan perdebatan yang hangat. Isu bahwa eksistensi Muhammadiyah dalam bahaya dan ancaman besar oleh liberalisme-sekulerisme ramai sebenarnya sudah kurang relevan dengan semangat zaman yang terus berubah.

Selain itu, bentuk penghakiman dan eksklusi ini, sejatinya, sangat jauh dari sikap dan pandangan KH. Ahmad Dahlan. Bahkan, sebaliknya, malah bertentangan dengan cita-cita Ahmad Dahlan yang mengajarkan tajdid, keterbukaan, dan menjunjung tinggi rasionalitas berpikir. Apalagi, ketika mereka lalu melakukan intellectual assasination bagi berkembangnya iklim intelektualitas dan keluwesan Muhammadiyah di kancah global yang terus berubah.

Dalam usianya yang seabad, Muhammadiyah diharapkan tetap menjadi gerbong pembaharuan Islam di tanah air dan di muka bumi ini. Refleksi pemikiran kritis (tajdid) sekaligus manifestasi iman dalam bentuk amal saleh (faith in action) diharapkan makin menajam. Bukankah Rasulullah Muhammad Saw menjanjikan adanya pembaharu (mujaddid) dalam setiap tahun sekali. Jika dulu, mujaddid adalah figur individual yang berwibawa dan mumpuni, maka di abad 21 ini sosok mujaddid adalah organisasi Islam yang dibangun berdasarkan kolektivitas tim yang berkarakter rapi dan visioner. Dan untuk itu, Muhammadiyah tetap berpotensi untuk menjadi pembaharu Islam untuk yang kedua kalinya.

Wallahu’alam bishawab

No comments:

Post a Comment